Bait-Bait Hujan

Sabtu, Maret 17, 2018

Oleh: Mabruroh



Hujan adalah bait-bait kerinduan, renjana panjang akan seorang kawan. Ia sanggup menjelma berbaris puisi dan tentu saja dia dalam tiap rinainya. Karena hujan adalah dia, impian, juga doa-doa yang terpanjatkan.

Hujan masih menyimbah sejak petang, menghadirkan kenangan tentangnya yang tak pernah lekang. Seandainya dia di sini, di saat satu impian yang pernah kupinta bersamanya kala hujan telah jadi kenyataan. Buku pertamaku telah terbit, buku yang kutulis tentang kami, tentang hujan.
#

Empat tahun silam, tahun ketiga di SMA.
Saat itu, Jumat terakhir di bulan Oktober. Setelah bel pulang berdentang, hujan kedua mulai menyapa setelah enggan muncul berbulan lamanya.

"Rena! Hujan!" katanya dengan mata berbinar.
"Alhamdulillah!" balasku setengah berteriak.
"Kita keluar?" ajaknya. Aku terdiam sejenak, ragu. Tetapi, demi melihat binar matanya, aku tak sampai hati menolak.
"Baiklah!"

Kami bergandengan tangan menuju teras kelas, lalu menadah rinai hujan dengan tangan, membiarkan tempiasnya menyegarkan wajah lelah setelah berjam-jam berkutat dengan pelajaran di kelas. Jilbab kami basah, tetapi kami tak peduli. Hujan bagi kami adalah tentang berbagi cerita, tentang memanjatkan doa akan impian, juga tentang saling terikat dengan ikatan yang tak mereka mengerti.

"Kamu mau berdoa apa?" tanyanya riang. Aku memejamkan mata, memanjatkan doa dalam hati kemudian tersenyum padanya. Aku berdoa agar Allah memberimu kesembuhan, supaya bisa selalu menikmati hujan bersamaku.  Batinku.

"Apa doamu?" tanyaku. Gadis berkulit putih itu tersenyum samar.
"Aku doakan cita-citamu menjadi penulis terkabul." ujarnya.
"Amin...." Kami berseru bersamaan.
"Kamu dulu." Aku mempersilakannya bercerita lebih dulu. Ia mengangguk.
"Kemarin aku menanam kaktus yang kusimpan di samping kamar. Kuharap bisa melihatnya ketika berbunga nanti."

Aku tertegun. Seingatku, kaktus milik ibuku memakan waktu lama untuk sampai berbunga. Hujan sebelumnya, ia bercerita tentang bibit pohon yang ditanam di depan rumah. Ia tak yakin akan melihat pohon itu kelak, namun ia berkata setidaknya ia akan dikenang melalui pohon itu. Ia katakan hal itu tanpa sedih sedikit pun.

"Kaktus pilihan yang bagus. Aku juga suka kaktus," ujarku untuk menyenangkannya, "apa Mama membolehkanmu menanam kaktus? Durinya bisa melukaimu."
Dia tertawa kecil. "Sepertinya semua orang berpikir hal yang sama, mereka ingin memberikan semua yang kuminta karena takut aku pergi sebelum keinginanku terpenuhi." katanya tanpa ekspresi.

Aku hanya tersenyum. Mia yang mengidap kanker kelenjar getah bening sejak SMP kelas tiga, sudah melewati masa-masa sulit ketika ia menolak takdir. Marah, sedih, kecewa, putus asa, bahkan menggugat Tuhan pernah dia lalui. Ia beruntung memiliki ibu yang terus memberinya semangat untuk sembuh dan hidup bahagia. Mia bercerita, ibu selalu membacakanya Alquran sebagai terapi pengobatan dan sejak saat itu kondisi kejiwaan Mia berangsur membaik.

Kini, ia telah berdamai dengan diri dan penyakitnya. Ia tabah menjalani serangkaian pengobatan sambil terus bersekolah. Dari raut wajah dan ucapannya, sepertinya ia telah pasrah dengan apapun keputusan Tuhan terhadapnya.

Meskipun begitu, kukatakan padanya di suatu kesempatan, bahwa mati adalah hak prerogatif Tuhan. Tak ada yang menjamin vonis dokter selalu benar. Buktinya, eyangku yang puluhan tahun sakit kronis, malah didahului tante yang sehat bugar.

"Apa yang ingin kamu ceritakan?" tanya Mia antusias.
Wajahku muram seketika. Bayangan wajah ayah memenuhi otakku. Ia yang dengan keras berkata bahwa aku tidak boleh menulis sampai lulus dengan hasil terbaik di sekolah.
"Ayah membandingkanku dengan dua kakakku yang selalu juara kelas. Ia ingin aku seperti mereka." Aku mulai bercerita. Mia mendesah, matanya yang cekung mengirim empati padaku.
"Seberapa besar keinginanmu menjadi penulis?" tanyanya
"Sebesar keinginanku melawan ayah." jawabku sekenanya.

Mia mengarahkan pandangan ke lapangan basket di hadapan kami.
"Rena, kata Pak Guru Agama, rida Allah tergantung rida orang tua. Tidak ada yang perlu  dipertentangkan. Jika menjadi lulusan terbaik akan membuat ayah rida, maka kejarlah. Penuhi syarat yang diminta ayah agar kamu dibebaskan menulis." Mia memberi nasihat.

Aku menatapnya ragu. "Kamu bercanda, ya? Masuk sepuluh besar saja sudah untung. Mana mungkin aku bisa mengalahkan anak-anak langganan juara kelas itu?"
"Kamu tidak yakin kamu bisa?"
Aku meragu. Antara iya dan tidak. Aku memang tidak pernah juara kelas, tetapi rasanya aku tak terlalu bodoh untuk menguasai pelajaran.
"Kalau kamu sendiri ragu dengan kemampuanmu, apalagi orang lain, Rena?!" seru Mia.

Aku tercenung. Sebuah syarat yang berat. Tetapi, menulis adalah jiwaku. Tak sanggup kubayangkan hidup tanpa menulis.
"Memang benar umur manusia itu rahasia Tuhan. Jika aku yang hanya punya waktu beberapa tahun saja masih ingin mengejar impian, maka seharusnya kamu jauh lebih bersemangat karena mungkin kamu akan merasakan manisnya hasil perjuangan, sementara aku mungkin tidak." katanya dengan suara bergetar, "setelah orang tua rida, aku percaya jalan untuk menjadi penulis tidak akan sulit. " lanjutnya.

Aku menghembuskan napas berat. Mungkin Mia benar, tetapi hati kecilku tetap saja merasa ini tidak adil. Kedua kakakku tidak dimintai syarat apapun untuk menjadi yang mereka inginkan.

"Entahlah, Mia," jawabku pendek, "sementara itu, mari kita berkhayal telah menjadi penulis dan telah menjadi guru seperti mimpimu."
Mia tertawa riang. Lalu, gemuruh hujan berlomba dengan suara kami yang makin keras melambungkan bait-bait mimpi. Imajinasi tanpa batas akan menjadi pemenang di masa depan. Membayangkannya saja sudah senang, apalagi jika benar terjadi. Entah mengapa, setiap  habis hujan, aku pulang dengan semangat dan kekuatan yang lebih dari sebelumnya.

Namun, malang bagi Mia, setiap habis hujan, ia akan kembali ke kasur  dan istirahat seminggu penuh untuk memulihkan kondisinya. Mia meyakinkanku bahwa hujan tak salah, begitu pun denganku yang setia menjadi kawan ketika hujan. Pun, ia tak menyalahkan sakitnya. Ia hanya ingin menikmati hujan, yang diyakininya sebagai rahmat Allah dan waktu paling mustajab untuk berdoa.

Sebenarnya, dokter sudah melarangnya sekolah agar kondisinya tidak melemah. Tetapi, Mia bukanlah gadis biasa. Meski sering ambruk, ia nekad sekolah ketika sudah baikan. Sekolah akhirnya memberi keistimewaan seolah ingin meluluskan permintaan terakhir agar Mia tetap bahagia. Dengan bahagia, semoga Mia lebih cepat sembuh, meski tampaknya itu mustahil.
Mia bersahabat denganku sejak awal kelas tiga. Awalnya, aku terlambat datang di hari pertama sekolah dan tak  mendapat teman sebangku ketika perebutan bangku pada hari itu. Hanya ada sisa satu bangku di sebelah Mia yang kebetulan absen. Sejak saat itu, aku resmi menjadi teman baiknya.

Ternyata ia tak seseram penyakitnya. Dibalik sosok ringkih berwajah manis itu, ia menyimpan semangat hidup dan keyakinan luar biasa. Ia gadis istimewa yang dikirim Tuhan untuk membuatku sadar bahwa selalu ada harapan selama terus berusaha dan berdoa.

Tak butuh waktu lama untuk dekat dengan Mia. Apalagi hobi kami sama: menikmati hujan. Sebuah hobi yang sukses membuat kami dijuluki orang aneh.
#
Setelah Januari berlalu, hujan makin langka ditemui di bulan berikutnya. Aku tahu Mia rindu hujan, begitu pun aku. Tetapi, musim telah berganti menjadi kemarau yang panjang.
Mia tak kekurangan akal, sepulang sekolah ia akan mengajakku duduk di kolam ikan di halaman sekolah, menikmati gemericik air dan tempias yang pelit dari air mancur kolam.

Namun, itu hanya terjadi empat kali dalam empat bulan, karena sisanya Mia terbaring di rumah sakit. Ia roboh lagi, kondisinya makin memburuk mendekati vonis dokter akan batas waktunya. Semangat hidup dan mimpi Mia tak cukup kuat melawan sel ganas dalam tubuh  yang terus menggerogoti organ penting dalam tubuhnya.

Di Minggu pagi pertengahan bulan Juni, kudatang padanya membawa kabar. Aku telah menaklukkan empat mata pelajaran penentu kelulusan UN dan menjadi terbaik ketiga di sekolah kami. Meski bukan juara pertama, ayahku sangat bangga. Ia memenuhi janjinya, aku boleh menulis dan menjadi penulis.

Sayang, Mia tengah tak sadar ketika kudatang. Ia koma beberapa hari setelah anfal. Kaktusnya telah berbunga, pohonnya telah meninggi. Dan, impianku telah terwujud. Namun, dua hari kemudian ia akhirnya benar benar pergi.

Hujan seakan tahu Mia mencintainya, siang itu ia mengiringi kepergian Mia dengan derai tak biasa. Hujan turun perlahan di tengah terik mentari yang memendarkan cahaya menjadi pelangi. Seolah langit pun tahu, Mia pantas mendapat sambutan.

Aku tergugu. Pilu. Haru. Sendu.

You Might Also Like

0 komentar