SABDA MATAHARI

Sabtu, Januari 21, 2017


Ia berjalan lamban, perlahan lenyap ditelan ufuk lautan. Pendar keemasan mencipta kilau gemerlap pada air yang bergelombang. Setelah lelah memanjat langit seharian, ia mundur berpamitan. Esok aku akan kembali, kawan, katamu kemudian. Sambil bersandar di remang malam, ia mulai berbincang....

 Sebenarnya, sebagaimana bumi yang lelah itu, aku pun penat, kawan. Aku telah meniti langit sejak milyaran tahun silam. Mematuhi titah Tuhan untuk berpendar tanpa jeda, demi kelangsungan hidup para makhluknya yang seringkali alpa. Merelakan diri terbakar, demi keseimbangan alam agar terus beredar. Membagi cahaya pada bulan yang muram,  memendarkan binar agar bumi menjelma siang. Aku mengenyahkan dingin yang dibawa angin. Bahkan memanggang setiap yang terpapar telanjang.

Aku sangat penting, tanpaku hidup berakhir. Aku mendidih bergolak, membara walau panasku tak seangkara neraka. Jika aku memanggang terlalu lama, manusia mengutuk. Tetapi, mereka menghujat bila ku tiada barang sehari saja. Sungguh, manusia yang membingungkan, keluhnya.

Aku telah purba, katanya dengan tercekat. Tuhan memperjalankanku dari timur ke barat dengan perhitungan yang cermat. Kadang kala ia membentangkan tabir di hadapanku, sehingga bumi menjelma gelap meski belum tiba saat. Manusia menyebutnya: gerhana.

Sungguh menggelikan yang mereka lakukan saat aku disembunyikan tabir. Tuhan buat perkara demikian, agar mereka mengingat-Nya dan takut pada pekat kubur tempat kembali mereka. Tapi, yang kulihat, upacara ritual di mana-mana, penyambutan tak wajar merata di setiap jengkal tanah, kentong ditabuh, hingga siaran langsung penampakanku ditingkahi analisa akurat imuwan dengan penjelasan yang menjemukan.

Mereka tak ingat Tuhan, yang menyingkap tabir itu kembali setelah beberapa detik gelita kubur dipertontonkan. Mereka tak sujud tunduk kepada-Nya, kecuali sedikit saja. Aku menangis untuk itu, kawan. Namun, Tuhan begitu pemaaf. Aku masih dititahkan untuk beredar lagi menemui wajah-wajah sombong mereka.

Ingin aku teriak, keluhnya lagi. Tuhan telah ingatkan, maka, camkan! Bahkan Nabi terakhir telah tunjukkan caranya, jadikan ia teladan! Mengapa sibuk dengan penjelasan dan penyambutan yang tak kubutuhkan, dan lupa mengingat Tuhan?

Aku matahari purba, sama seperti kalian, hanyalah ciptaan. Bukan sebab kelahiran, kematian, atau bencana yang menjelang, apatah lagi tuhan. Aku memberi peringatan agar kalian bersiap demi akhir yang selamat. Sungguh, kelak di hari dimana Tuhan berfirman ”terbitlah kau dari barat!” maka itulah saat yang telah dekat. Saat itu aku akan melebur bersama kalian yang tersesat dengan cepat. Meredup nyala dengan tepat, sebab aku dengar dan aku taat.

Ia tersedu. Aku terpaku, sendu menatapmu yang pilu. Bulan yang bersolek dengan sinarmu, bertengger anggun di ufuk timur. Mengawal malam berhias bintang, termasuk diriku.

Aku, salah satu yang berkelip malam ini, menuturkan pada kalian tentang sabda sang matahari. Sebagai pengingat bahwa alam telah begitu tua dan penat. Itu artinya, kiamat sudah sangat dekat...


JANTUR ARCA KALA SENJA

Jumat, Januari 20, 2017

Dari tempatku terpasung, kulihat engkau mematung. Dari balik pintu masuk yang terkunci, engkau enggan pergi. Menatap lurus ke arahku, sorot matamu memendarkan ribuan tanya tanpa jawab. Pada arca, batu, relief, bahkan angin yang meniup jejak sejarah hari ini dan kemarin. Pendar itu bertanya: engkaukah andesit dari masa silam? Mengapa mereka memahat sedemikian rupa? Siapakah pemahat arca-arca ini? Para abdi lugu yang setia pada Sang Prabu? Atau jelmaan jantur Bandung Bondowoso yang kasmaran pada Sang Dewi?

Pagar itu, ditembus dengan selembar lima puluh ribuan, uang kertas dari jamanmu yang menggelikan. Gapura itu, bukan hanya sekat antara pemukiman dan candi, tetapi sekaligus ambang antara dunia maya dan nyata, juga batas antara digdaya masa lalu dan kepongahan masa kini.

Jangan bertanya kala baskara tengah berpendar terang. Kembalilah kala malam telah dipeluk gelita. Akan kukabarkan kisah raja dan karisma, para patih dan siasat taktik, para selir dan perseteruan hati,  para punggawa dan syakwasangka, hingga abdi dalem dengan patuh yang penuh.

Sesungguhnya, aku membenci gelap membungkus malam. Datanglah kembali agar aku tak dikurung sepi, ditawan angin, dipecundangi dedemit masa lampau yang berpesta hingga pagi.

Sesosok makhluk tak kasat mata melintas di hadapanku. Kupinta ia mengikutimu, lelaki dengan tanda lahir di tangan kiri, lelaki terakhir yang meninggalkan jejak di area candi. Bawa jiwanya kemari, aku ingin membunuh malam dengan bercengkerama hingga dini hari. Biarkan ia menembus lorong waktu, menuju jaman kejayaan silam yang memukau. Percayalah, dahaga rasa ingin tahunya akan terpuaskan, setelah mereguk air telaga kahyangan.

Aku akan bersiap, menyambutnya dengan alunan gendhing melenakan, aroma dupa dan wewangian dan sajian terbaik dari masa lalu yang memabukkan.





MUTIARA TERBENAM-part 4

Jumat, Januari 20, 2017

Sore itu sepulang kerja, di warung mie bakso sekaligus rumah milik Fadli, teman baikku dan Ana.
“Nih, Bro! Minum dulu. Biar nggak bengong aja.”
Fadli mengangsurkan segelas besar jus alpukat kepadaku.
“Kamu kenapa sih, Man? Suntuk amat!”
Jus alpukat buatan Fadli sungguh nikmat. Kukecap dengan sepenuh perasaan.
“Istriku, Fad. Sudah dua hari ini dia diamkan aku.”
Dahi Fadli berkerut.
“Ana? Kenapa dia? Tumben...”
Kuceritakan kejadian sore itu kepadanya. Fadli, teman sekosanku dulu, juga teman sekelas Ana. Ia pula yang mengenalkan Ana padaku.
“Ya ampun, Bro. Kalau istri ngambek begitu, cobalah ambil lagi hatinya. Minta maaf, kasih sesuatu yang ngga bakal dia tolak, ajak bicara dari hati ke hati...” ia menasihati.
“Boro-boro, Fad. Ia melihat ke arahku pun nggak.”
“Jadi, sampai sekarang kamu nggak tahu dia marah karena apa?”
Aku mengangkat bahu. Ucapanku sore itu terlalu menyakitkan hatinya, kurasa. Ia terlalu sakit, sehingga memilih diam dan mulai bertindak tanpa sepengetahuanku. Menitipkan kedua anak kami ke ibunya dan pergi ke kampus. Begadang demi mengumpulkan berkas-berkas dan mengetik entah apa. Aku tak cukup nyali untuk bertanya.
“Kurasa, karena aku terlalu menyakiti hatinya. “
Fadli menggeleng. “Itu hanya pemicu, Man. Kamu harus gali lagi inti masalahnya.”
“Waktu itu dia sempat bilang, katanya aku menjadikan dia seperti upik abu dan nanny, sehingga dia nggak bisa menjadi ratu apalagi cendekia.” jelasku dengan mata kosong.
Fadli melongo, ia yang telah dua tahun ini resign dan memilih wirausaha di rumah bersama istrinya, agaknya paham apa yang diinginkan Ana. Sejurus kemudian ia mengangguk-angguk seolah telah mengerti.
“Perempuan itu sering lupa, bahwa tugas dan peran dia di dalam rumah tangga setara dengan berjihad. Meskipun perannya itu tidak gemerlap oleh pujian dan penghargaan, tapi sangat besar pahalanya, sangat berarti buat keluarganya.”
Kuacungkan telunjuk ke arahnya tanda setuju akan kalimat bijaknya.
“Tapi, jangan lupa. Mereka punya potensi yang menuntut ekspresi. Ana contohnya, dia itu bintang di kampus, siapa yang nggak kenal Ana? Dengan rutinitas pekerjaan rumah tangga yang nggak ada habisnya, memang akan membuatnya lambat laun merasa tidak berguna, karena tidak ada kesempatan bagi kecerdasannya  untuk berekspresi.”
Giliran aku yang melongo.
“Ya ampun! Rahman, jangan melongo begitu. Jelek!”
Mukaku memerah. Aku mengaduk minuman yang tersisa separuh.
“Aku tahu karena sudah melihat seperti apa istriku tiap hari melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Hampir ngga ada jeda dan ending. Ironisnya, semua pekerjaan itu nggak butuh keahlian mengolah persamaan integral diferensial. Modal untuk mengerjakan semua remeh-temeh itu adalah otot dan keikhlasan...”
Dia benar. Pun mengajari anak mengeja angka, ia lebih banyak memakai kreatifitas dan kesabaran ketimbang keahlian memutar balik logika.
“Untuk seorang Ana yang cerdas dan digadang-gadang menjadi seorang pakar yang sukses, berkutat dengan rumah tangga saja pasti sangat menyiksa. Ia butuh terus belajar dan mengalirkan ilmunya. Ia sekaligus butuh pengakuan, bahkan pujian.”
“Ya, dia pernah ingin meneruskan S-2, tapi...terbentur keadaan anak-anak yang masih kecil-kecil.” kataku bergumam.
“Harusnya kamu senang dia ingin mengambil peran untuk masyarakat. Kecerdasannya akan berguna untuk orang banyak.”
“Jadi, aku harus ngapain, Fad?”
“Kamu kasih dia asisten buat ngerjain pekerjaan rumah yang bisa didelegasikan. Atau kalau belum mampu, ya bagi tugas sama dia. Supaya dia masih ada waktu dan tenaga untuk mengekspresikan potensinya. “
Aku manggut-manggut.
“Yang penting, dia nggak melalaikan kewajiban terhadap keluarga, kan?” tambahnya.
            Ucapan Fadli terdengar mudah, tapi banyak pengalaman menceritakan betapa kerasnya perjuangan suami istri jika istri memilih berkarir di luar rumah. Berjuang untuk tetap teguh menjalankan peran masing-masing dengan sebaiknya, meski terseok. Berjuang untuk saling bantu dan mendukung meski jiwa raga sudah lelah. Mengalahkan ego, menyingkirkan emosi saat dihadapkan pada konflik sebagai konsekuensi pilihan mereka.
Banyak yang tertatih, namun tak sedikit yang berhasil.
Aku mengaca, melihat ke dalam hatiku.
            “Sepertinya, aku masih belum siap jika ia harus berkarir di luar rumah. Anak-anakku masih kecil dan aku belum bisa memberinya pembantu. Berbagi tugas pun aku tak sanggup. Aku sudah lelah bekerja seharian, Fad.”
            Fadli memandangku dengan empatik. Sejurus kemudian ia mengambil selembar kertas dan bolpen di tangan.
            “Atau begini saja...”
            Ia menulis, menggambar, mencorat-coret dengan cekatan. Ia jelaskan dengan gamblang rencana yang lebih masuk akal untuk diterapkan ke keluarga kecilku. Ia meyakinkanku bahwa delapan puluh persen rencana itu akan berhasil, sebab ia yakin Ana adalah temannya yang cerdas sekaligus baik.
            Ya, kuharap begitu.

Selepas maghrib, aku pulang dengan tersenyum. Warung pempek terkenal di kota ini jadi tujuan pertamaku sebelum pulang...

MUTIARA TERBENAM part 3

Senin, Januari 16, 2017

Menjejakkan kaki kembali ke tempat paling lekat dengan diriku di masa lalu, tak urung membuat bibirku tersenyum. Ada masa ketika masih menjadi MaBa, saat masih lugu dan bodoh, mau-maunya dijajah senior berjalan jongkok sambil menyanyi potong bebek angsa. Lalu, masa ketika mulai dikenal sebagai mahasiswa cemerlang yang maniak organisasi akut sehingga membuat heran mereka yang mati-matian belajar, namun IPK-nya tak pernah jauh dari angka dua.

Kuhirup udara segar pagi di kampus yang sudah seperti rumah keduaku. Setiap orang mengenalku, memperhatikan, mengagumi, bahkan membenci dan iri. Udara bersih yang menyegarkan isi kepala yang terlalu sesak oleh anggaran belanja dan pendapatan yang tak seimbang.

Aroma ini, megah bangungan tua itu, papan pengumuman, mahasiswa yang berlarian mengejar kuliah dengan setumpuk buku di tangan, suara detak keyboard dan derit printer di ruang administrasi, semuanya bersinergi kompak menghadirkan denyut kehidupan kampus yang menggoda hati. Satu sisi diriku meronta ingin meloncat dan berbaur dengan mereka, melahap semua isi buku, mengikuti seminar, mengerjakan proyek...semua...tentang...memuaskan dahaga akan ilmu. Sayangnya, ia terpenjara dalam tubuh seorang ibu dengan dua anak balita yang bahkan lebih terlihat seperti orang yang tersesat ke kampus, padahal tujuannya ke pasar. Aku menilik rupaku. Betapa tak meyakinkan untuk disebut sebagai mahasiswa, karena wajah yang telah lebih dewasa, namun sulit ditebak sebagai dosen sebab penampilan yang tak sesuai.  

Tetapi, aku tak peduli. Kakiku mantap menjejak lantai dua kampus jurusan Matematika. Tujuanku hanya satu, kantor jurusan.
“Ana? Is that you?”
Aku menoleh ke sumber suara, seorang gadis berblazer khaki dengan mulut ternganga, menyelidiki setiap senti wajahku. Aku merasa de javu, wajahnya tak asing. Tetapi, sungguh aku lupa...
“Iya, saya Ana...” jawabku sambil berusaha mengingat.
“What a surprise...apa kabaar? Ya ampun, mukim dimana sekarang? Inggris? Jepang? Amerika?” ia menghujaniku dengan tanya.
Aku tergelak. Hatiku miris campur malu.
“I’m here right now, in front of you...” kuikuti gaya inggrisnya yang tanggung, sekedar menunjukkan bahwa aku hanyalah salah kostum, tapi otakku tidak. “ Btw...kamu...Risa kan? Risa Prabandini?”aku menebak.
“Eh? Dont you recognize me? Oo.. kamu jahat sekali. Tentu saja, aku Risa,  who else?”
Ia merentangkan kedua tangannya, memelukku hangat.
“Ya Tuhan, Ana! Bahkan tembok bangunan ini merindukan kamu kembali, tapi kamu seperti lenyap tanpa jejak. Where have you been, Ana?”
Bagaimana aku sanggup menampakkan diri? Kamu tidak tahu rasanya menjadi zero setelah dianggap hero.
“Aku? Well, seperti yang kamu lihat...”
“Okkay, let me see you...” candanya. Membuatku kikuk. Bagaimana tidak, aku bersepatu hitam dengan gamis dan jilbab warna senada yang sudah memudar. Wajah tanpa polesan dengan tas selempang yang biasa kupakai untuk menyimpan perlengkapan balitaku.

Risa, dengan dandanan stylish dan polesan make up natural yang halus, membuatnya sedap dipandang dan terlihat berkelas. Kacamata minus menambah kesan terpelajar.
Aku jengah, begitu pun Risa.
“Wait a second, setelah lima tahun menghilang dari orbit, ada banyak yang ngga aku ketahui. Ayolah, kita ke ruanganku, kita ngobrol di sana saja!”
“Ruanganmu? Kamu dosen disini?”
Risa mengangguk malu. “Aku tak enak mengakuinya. Aku tidak lebih pintar darimu, tapi, sayangnya: iya...”
“Kenapa tak enak, semua orang berhak untuk menjadi apapun. “
“Jangan begitu Ana, kami semua tahu, kamu sangat layak menjadi dosen, bahkan lebih dari itu.”

Kuekori langkahnya menyusuri lorong kampus sebelum sampai di ruangan Risa. Ruangan berukuran sedang bercat hijau muda yang sejuk oleh pendingin udara. Sebuah meja dengan laptop di atasnya, printer, serta beberapa tumpukan buku.
Aku ingat, dulu pernah bermimpi mendiami salah satu ruangan di gedung ini dengan sederet gelar di belakang namaku yang kupajang di meja kerja. Ruangan ini seharusnya jadi milikku, jika saja aku tak menikah selepas wisuda dulu. Sebersit penyesalan mendadak menyeruak.
“Kalau aku tahu kamu akan datang, aku akan menyiapkan upacara penyambutan...” ujarnya sambil duduk di kursinya. Ia tertawa geli.
“Sudahlah Risa, aku tidak seistimewa itu”
“Aih? Kau bercanda...selama lima tahun tak ada kabar tentangmu, bosan aku menjawab pertanyaan para dosen tentang kamu. “
Aku tersenyum jengah. Ia tidak berlebihan, ketua jurusan matematika bahkan telah melamarku menjadi dosen muda sejak aku menyusun skripsi.
“ Jadi, kita mulai dari mana? Kabar terakhir yang kudengar hanyalah kamu menikah setelah wisuda, selebihnya? Blank!”
“Kerja di mana? Atau jangan-jangan sedang S-3 di Jerman mungkin?” lanjutnya dengan bernapsu. Mejadi orang yang pertama mengetahui kabar tentangku akan membuat ia tenar dalam semalam. Ia mungkin akan segera menyebar broadcast di grup media sosial tentang kebangkitanku dari kubur.

Aku tertawa pahit. Betapa ekspektasi mereka akanku melambungkan kepercayaan diri sehingga aku lupa bahwa aku bukanlah siapa-siapa di hadapan wanita ini. Aku  merasakan ironi ketika harus mengatakan ini:
“Ya, benar aku menikah selepas wisuda, tetapi aku tidak bekerja, tidak juga meneruskan studi S-2 apalagi S-3.” jelasku yang langsung membuatnya terdiam tak percaya.
“Jadi?”
“Aku di rumah saja dengan dua anak yang masih kecil-kecil.”
Ia menutup mulutnya yang sedari tadi melongo.
“Kenapa? What’s wrong with you, Ana? Suamimu melarangmu berkarir? Atau kamu yang memilih jalan itu?”
“Lebih tepatnya, keadaan yang membuatku mengambil jalan itu”
Risa mengangguk-angguk. Mungkin ia mencoba berusaha menerka sebab takdirku yang sedemikian jauh panggang dari api.
“Jadi, sekarang kamu akan kembali, begitu? Kamu kesini bukan untuk menemuiku pastinya, kan? Atau sekedar nostalgia masa lalu?”

Aku tersenyum simpul. Risa menebak dengan baik.
“Jika kamu punya info beasiswa penuh di mana pun itu, aku akan senang hati dan berterimakasih padamu.”
“Anaa! “ ia memekik dan menghambur memelukku..”Of course dear, oh my God aku senang sekali, tentu saja banyak info yang sesuai untukmu. Sekarang biar kuucapkan dulu: welcome to the jungle my dear Anaaa!”
Aku gelagapan dipeluk wanita bongsor sebesar dia. Sambil terkekeh ia melepas pelukanya, lalu dengan bersemangat ia membuka laptopnya.


Aku merasa, tiba-tiba yang kulihat hanya terang. Selamat datang, Riana Maheswari di dunia bertabur logika dan formula...Lagi. 

MUTIARA TERBENAM-part 2

Minggu, Januari 15, 2017

Porak poranda. Itulah kesimpulan pertama saat kuinjakkan kaki senja itu di rumah yang di pintunya tertulis kata: Rumahku Surgaku. Seperti baru saja gempa mengguncang seisi rumah kemudian berhenti seketika, sehingga semua benda yang tak kokoh berpijak berpindah tempat sampai menemukan pijakan baru.
Ada gelas berlepotan susu coklat di atas sofa, juga piring bekas makan anak-anak. Kain gendongan Attar, anak balitaku, tergeletak di lantai, sepertinya telah basah oleh entah air apa. Mainan berserakan memenuhi lantai dengan bentuk dan aneka warna yang menyakiti mata. Bungkusan makanan yang belum sempat dibuka teronggok begitu saja di meja tamu. Kedua anakku berkejaran sambil melempar mainan di tangan. Dan, di sofa terlampir baju yang sudah dipakai menambah kumuh ruang tamu. Aku rasa penampakan ruang-ruang berikutnya tak akan jauh berbeda.
Sambil tertegun aku mencari sosok istriku. Nihil. Suaranya bahkan tak kudengar.
Aku menahan napas, mencoba menenangkan diri. Perutku sangat lapar dan mata begitu berat. Dan, melihat semua kekacaaun ini mendadak sakit kepala menyerang. Berdenyut-denyut mengaburkan konsentrasi dan kewarasan berpikir.
Tanpa memedulikan kerusuhan disekitarku, aku memusatkan pikiran menuju buruan pertama. Mungkin emosiku akan lenyap jika kenyang. Meja makan! Aku bergegas menuju dapur dan berharap menemukan sesuatu untuk dimakan.
“Mas Rahman?!”
Aku menemukan istriku muncul dari balik pintu kamar mandi. Ia terlihat kaget mendapatiku pulang. Rupanya ia habis mandi sehingga aku tak menemukan dirinya yang harus bertanggung jawab atas kekacauan menjelang Maghrib ini.
“Ana, aku lapar!” kataku sambil mencari dengan mata beringas. Ana tertegun. Sejurus kemudian ia lari menuju ruang tamu, mengambil sesuatu dari sana. Bungkusan makanan yang tadi kulihat.
“Maaf mas, aku nggak masak hari ini. Tadi pagi ada temanku datang dan baru pulang setelah dhuhur. Siang hari aku jemput Nera dan membeli makanan. Setelah itu sibuk dengan pekerjaan sampai sore ini....”
Ia mengakhiri penjelasannya dengan helaan napas lega. Lalu, matanya menatap dengan memohon pengertian. Aku hanya lapar, apa yang baru saja dia katakan tidak sedikit pun memperbaiki keadaan.
“Kamu sudah merapikan rumah sejak dhuhur, tapi aku tidak melihat hasilnya saat ini.”
Aku mulai membuka bungkusan makanan yang dia berikan. Mengambil posisi duduk dan mulai menyendok gado-gado yang...lebih terasa seperti yoghurt rasa kacang.
“Ana...makanan ini sudah basi.”
Kusorongkan begitu saja makanan yang seharusnya menjadi pereda emosiku. Kali ini separuh badanku telah membara.
Ana, bahkan belum menyisir rambutnya usai mandi. Dan anak-anak masih berlarian tak tentu arah, dengan jerit dan teriak memekakkan telinga, seolah kedatanganku tak memberi arti apapun untuk mereka.
“Kalau kamu tidak sanggup mengurus anak dan rumah tangga, kenapa kamu ngga bilang, Ana?”
Perempuan itu menunduk dalam diam. Jujur, aku tak tega melihatnya terlihat seperti pesakitan. Tapi, situasi ini benar-benar uncontrolled, aku tak bisa memikirkan hal lain selain meminta tanggungjawabnya.
“Kalau aku tak sanggup mengurus rumah dan anak-anak, lalu kamu mau apa?” ia menjawab dengan suara yang mulai terbata
“Aku lapar Ana, tapi bahkan makanan yang kamu sediakan tak bisa kumakan. Lalu, rumah yang seperti kapal pecah ini, tak mungkin aku biarkan. Padahal aku sudah lelah dan hanya ingin istirahat!”
“Mas!” ia berteriak dengan terisak.
“Ka-mu ngga tahu apa yang terjadi selama seharian ini, yang aku alami jauh lebih banyak dan menguras emosi dan tenaga. Ka-mu TIDAK TAHU APAPUN TENTANG YANG AKU ALAMI HARI INI!”
Ia meledak seperti sebongkah soda api yang dilempar ke dalam air. Sepertinya, aku telah memantik bara yang sedari tadi disiramnya dengan kesabaran. Ia mungkin telah menahan emosi sejak sebelum aku memancingnya, sebab aku tahu pada dasarnya ia seorang yang amat cekatan dan terampil.
“Aku mungkin salah atas semua kekacauan ini, tapi kamu juga ikut andil. Kamu menjadikan aku sekedar upik abu dan nanny, sehingga aku tidak bisa menjadi ratu apalagi seorang cendekia di rumah ini!”
Suaranya bergetar, dengan telunjuk teracung dan mata menyala, ia menjelma menjadi Riana Maheswari yang pernah menuntut keadilan dalam demo mahasiswa lima tahun silam.
Aku tertegun. Tapi, emosi, lapar, dan lelah terlalu menguasai diriku sehingga reflekku tak berfungsi ketika wanita yang kusayangi itu tiba-tiba melesat bak angin menuju kamarnya dan...
“BRAKK!’
Ia membanting pintu. Lalu, hanya isak yang terdengar dari balik pintu kayu tua itu. Aku mengambil napas panjang. Sepertinya ini akan berlangsung lama, sebaiknya aku keluar untuk makan dan mengajak kedua anakku serta.
Setelah itu, baru kupikirkan menangani Maheswariku yang murka.
Benar saja, hingga aku kembali lagi seusai makan, perempuan yang dikuasai marah itu masih mengurung diri. Dan aku setia menunggunya di balik pintu, mencoba mengetuk hatinya yang beku....

Sungguh, jauh di dasar hati, aku merasa menjadi pecundang, karena menumpahkan air mata seorang wanita berhati lembut sepertinya...

TALI POCONG JUM'AT KLIWON

Kamis, Januari 12, 2017

Urban Legend
TALI POCONG JUMAT KLIWON

Sebenarnya saya ingin cerita tentang legenda ular Gringsing di perbukitan Clirit, Kalibakung, Kec.Balapulang, Kab. Tegal yang konon kerap menyebabkan jalan yang melintasi perbukitan tersebut terbelah. Jalan itu terbelah jika si ular melintas untuk menemui istrinya, namun karena kutukan di masa lalu, ia selalu disambar petir dan akhirnya menyebabkan jalan terbelah.
 Sayangnya, karena saya ngga sempat pulang untuk memastikan kisah sebenarnya dari para tetua di kampung saya, maka saya akan ganti dengan kisah tali pocong jenazah yang meninggal di hari Jumat Kliwon, masih dari kampung saya di Kab. Tegal. Kisah ini dikenal terutama di Desa Bojong, Kec. Bojong, Kab. Tegal.
Cerita ini sudah saya dengar pertama kali ketika masih kecil, tepatnya ketika suatu hari ada seorang lelaki tua di kampung saya yang meninggal tepat di hari Jum’at Kliwon. Waktu itu, jenazah sang kakek dikuburkan pada hari itu juga. Yang menarik, ketika malam datang, makam si kakek diterangi satu lampu yang cukup terang dengan seorang penjaga makam yang menunggui makam tersebut hingga empat puluh hari lamanya. Biasanya, penjaga makam tersebut merupakan orang yang disewa khusus, sebab pada hari biasa, makam tidak dijaga oleh juru kunci sekalipun.
Mengapa makam si kakek harus ditunggui orang khusus selama empat puluh malam lamanya? Konon, tali pocong jenazah yang meninggal di hari Jum’at memiliki keistimewaan bagi para penganut ilmu hitam untuk meningkatkan kesaktiannya. Jika seseorang berhasil mendapatkan tali pocong jenazah tersebut maka ia akan mendapatkan kesaktian lebih. Tentu saja, karena mendapatkan tali pocong itu tidak akan mudah. Sebab, kabarnya sang mayat akan berjuang untuk mempertahankan miliknya. Jadi, bisa dipastikan si pencuri nekad itu akan bertarung dengan si mayat memperebutkan tali pocong. Jika dia kalah, resikonya dia ikut bersama si mayat ke alam baka. Jika menang, dia akan mendapatkan kesaktian yang lebih mumpuni dibanding sebelumnya dan meninggalkan makam yang berantakan.
Sampai hari ini pun, jika ada yang meninggal di hari Jum’at kliwon, maka dipastikan makam itu akan dijaga dan diterangi lampu untuk menghindari pencurian tali pocong.
Ada satu kisah dari salah satu paman tentang tali pocong ini. Suatu hari, pamanku duduk-duduk kumpul dengan teman-temannya yang berjumlah empat orang di salah satu rumah. Ketika malam makin larut, mereka memutuskan untuk menginap saja daripada pulang, karena suasana kampung begitu sepi mencekam, ditambah penerangan jalan yang kurang memadai. Apalagi, mengetuk pintu rumah pun belum tentu dibukakan.
Singkat cerita, mereka menginap dan tidur di satu dipan besar bersama-sama. Ketika tengah malam mereka telah terlelap, salah seorang dari mereka (si A) terbangun karena merasa ada yang mencolek dirinya. Ia menyangka teman yang iseng sengaja mengerjainya, maka dia bangunkan teman (sebut saja B) yang dia curigai itu dan bertanya: “Kamu ngapain nyolek-nyolek aku?”
Si B yang masih dikuasai kantuk menjawab: “Enak aja, siapa yang nyolek. Kurang kerjaan!”
Si A dan B kembali tidur. Kali ini giliran si B dicolek. Si B bangun dan menyangka si A membalas mengerjai dirinya.
“Kamu nyolek aku ya?” tanya si B
Si A menggeleng dengan malas.
Di saat si B kebingungan, dia melihat sesosok mayat hidup alias pocong di pinggir dipan, tepat di samping mereka yang tengah terlelap. Sosok itu, dengan penuh kemenangan menyunggingkan senyum menyeringai. Sontak si B melompat ke tengah teman-temannya. Saking kerasnya hingga semua terbangun dan melihat makhluk itu bersamaan. Spontan mereka berloncatan mencari perlindungan ke badan teman yang lain sehingga saling menindih. Hingga pagi menjelang mereka masih dalam keadaan saling tindih ketakutan. Usut punya usut, ternyata si empunya rumah menyimpan tali pocong di sandaran dipan tempat mereka tidur sengaja untuk mengerjai mereka :D
Begitulah cerita urban legend dari kampung saya, nun jauh di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah. Selamat malam Jum’at semua J



MUTIARA TERBENAM

Kamis, Januari 12, 2017


“Ana! Buka pintunya! Please!”
Aku bergeming. Tetes air mata berlarian menuruni lembah pipi yang sudah basah sejak setengah jam lalu. Rahangku terasa sakit akibat menahan ledakan raungan tangis. Entah sudah berapa lembar tisu kuhabiskan untuk menyeka lendir menyebalkan yang terus mengucur seiring tangisku.
“Ana, jangan begini. Tolonglah!”
Bujukannya hanya membuat aku semakin ingin lari darinya. Ia, lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku. Karena dia lah air mata ini tumpah. Dan menemuinya di saat hatiku belum membaik hanya akan memicu pertengkaran berikutnya.
“Ana!”
Kuambil bantal dan membenamkan kepala di bawahnya, berharap bisa membawaku ke luar dunia dan mendapat sedikit suasana baru. Tetapi, hanya sesak dan pengap yang kurasa. Ah, andai saja rumah ini berjendela, pasti aku sudah kabur sejak pertama kurasakan kecewa padanya. Satu-satunya pintu keluar dari rumah ini hanya pintu depan, karena semua rumah di komplek ini berdempetan. Benar-benar tidak masuk akal, membangun rumah tanpa jendela samping. Atas nama efisiensi dan mengeruk kentungan besar, desain rumah dibuat seragam berdempetan tanpa jendela. Tapi gilanya, harganya melambung bikin mulut menganga.
Aku menjitak kepala sendiri, untuk apa aku memikirkan pengembang rumah tak tahu kaidah kesehatan itu. Satu-satunya yang harus kupikirkan adalah pergi dari rumah dan menyusun langkah baru, menjadi Ana yang baru. Tanpa embel-embel Rahman, nama suamiku.
Riana Maheswari, penyandang gelar mahasiswa terbaik di Jurusan Matematika, lulus Cum Laude dan ditunggu para dosen untuk menjadi partner mereka mengajar ilmu paling ditakuti seantero bumi, akan kembali menjadi dirinya sendiri. Keluar dari tempurung kecil gelap nan lembab menuju dunia cerlang penuh harapan dan peluang menjadi bintang. Mendapat lamaran beasiswa dari universitas ternama di dalam negeri, dan jelas masuk kriteria lolos universitas luar negeri.Tenggelam dalam lautan buku dan ilmu, mengelana samudera penelitian dan mendobrak batas-batas rasa ingin tahu,  berbincang dengan teman sejawat dalam diskusi dengan taburan diksi ilmiah terpilih yang ekslusif. Menjadi pembicara di seminar-seminar pemberdayaan perempuan tetang pentingnya menjadi terdidik dan berprestasi. Mengoleksi piagam penghargaan dan medali kehormatan karena dedikasi dan prestasi mumpuni di bidang ilmu pengetahuan yang makin tak tersaingi.
Riana tersenyum mengembang, diiringi gemuruh tepuk tangan ia berjalan dengan anggun menuju kursinya, setelah satu jam berpidato di depan para punggawa kerajaan almamaternya. Setiap mata yang menatap menyiratkan kekaguman sekaligus iri atas cerlang isi benaknya.  
“Ana!”
Panggung khayalan tentang seorang Riana Maheswari meredup dan lenyap seketika. Aku mengutuk ketukan di pintu kayu tua itu, ia membawa terbang semua angan tentang diriku yang baru, diri yang lama terkubur bersama tumpukan baju, piring, gelas kotor dan sederet pekerjaan rumah tanpa jeda.
Aku benci dia, yang bahkan tak membiarkanku sedetik saja untuk bermimpi. Tidak ada cara lain, nasib harus diubah dengan tanganku sendiri. Aku mampu dan berhak untuk itu. Tiada seorang pun boleh merampas impianku, termasuk dia yang tak henti mengetuk pintu....



LIMA MENIT SAJA

Selasa, Januari 10, 2017

Lima menit saja

Tenggelam dalam kesibukan sehari-hari seringkali membuat kita, kaum perempuan, abai terhadap penampilan wajah dan badan. Padahal, untuk merawat wajah misalnya, sebenarnya bisa dilakukan dalam waktu lima menit saja, di sela-sela kesibukan.  
Kadang kita mikir, nanti aja lah pas sudah sempat dan ada waktu luang. Kenyataannya hampir sulit menemukan me time khusus untuk merawat wajah, apalagi badan. Maka, perawatan lima menit di sela setiap aktivitas kita adalah solusi agar tetap bisa menjaga penampilan kulit. Lima menit yang konsisten lebih baik dibanding berjam-jam tapi hanya sekali sebulan.
Lima menit setelah bangun tidur bisa digunakan untuk mengoleskan pembersih dan penyegar ke wajah yang berguna untuk membersihkan wajah secara menyeluruh dari sisa krim atau minyak selama tidur. Langkah ini membuat wajah siap menerima krim apapun sebelum beraktifitas
Lima menit sebelum menyiapkan perlengkapan untuk aktivitas hari itu, atau menyiapkan kebutuhan keluarga di pagi hari, bisa digunakan untuk mengoleskan krim pelembap dan bedak serta lipstik tipis sekedar untuk menyegarkan penampilan. Atau kalau suka memakai minyak-minyakan, oleskan minyak zaitun, VCO atau minyak lain. Pelembap penting untuk menjaga elastistas kulit agar tidak cepat kendur karena kering. Begitu pun minyak-minyakan, selain untuk melembapkan, juga berfungsi ganda untuk menghambat penuaan dini.
Lima menit sebelum tidur bisa dimanfaatkan untuk mengoleskan krim malam untuk membantu kulit meregenerasi dirinya, agar di pagi hari kulit baru terlahir dengan penampilan yang lebih baik.
Nah, simpel sekali bukan? Jika konsisten dilakukan tiap hari, maka perawatan lima menit itu akan membuahkan hasil. Ia membantu memperpanjang keremajaan kulit hingga beberapa tahun ke depan. Terlihat lebih muda, segar, dan paling tidak usia kulit seusia dengan umurnya.
Nah, siapa bilang mau cantik terawat harus menghabiskan berjam-jam waktu di salon? Di rumah sendiri juga bisa, dan cuma butuh waktu lima menit saja. Ayolah dicoba!