Ia
berjalan lamban, perlahan lenyap ditelan ufuk lautan. Pendar keemasan mencipta
kilau gemerlap pada air yang bergelombang. Setelah lelah memanjat langit
seharian, ia mundur berpamitan. Esok aku akan kembali, kawan, katamu kemudian.
Sambil bersandar di remang malam, ia mulai berbincang....
Sebenarnya, sebagaimana bumi yang lelah itu,
aku pun penat, kawan. Aku telah meniti langit sejak milyaran tahun silam.
Mematuhi titah Tuhan untuk berpendar tanpa jeda, demi kelangsungan hidup para makhluknya
yang seringkali alpa. Merelakan diri terbakar, demi keseimbangan alam agar
terus beredar. Membagi cahaya pada bulan yang muram, memendarkan binar agar bumi menjelma siang.
Aku mengenyahkan dingin yang dibawa angin. Bahkan memanggang setiap yang
terpapar telanjang.
Aku
sangat penting, tanpaku hidup berakhir. Aku mendidih bergolak, membara walau
panasku tak seangkara neraka. Jika aku memanggang terlalu lama, manusia
mengutuk. Tetapi, mereka menghujat bila ku tiada barang sehari saja. Sungguh,
manusia yang membingungkan, keluhnya.
Aku
telah purba, katanya dengan tercekat. Tuhan memperjalankanku dari timur ke barat
dengan perhitungan yang cermat. Kadang kala ia membentangkan tabir di
hadapanku, sehingga bumi menjelma gelap meski belum tiba saat. Manusia
menyebutnya: gerhana.
Sungguh
menggelikan yang mereka lakukan saat aku disembunyikan tabir. Tuhan buat
perkara demikian, agar mereka mengingat-Nya dan takut pada pekat kubur tempat
kembali mereka. Tapi, yang kulihat, upacara ritual di mana-mana, penyambutan
tak wajar merata di setiap jengkal tanah, kentong ditabuh, hingga siaran
langsung penampakanku ditingkahi analisa akurat imuwan dengan penjelasan yang
menjemukan.
Mereka
tak ingat Tuhan, yang menyingkap tabir itu kembali setelah beberapa detik
gelita kubur dipertontonkan. Mereka tak sujud tunduk kepada-Nya, kecuali
sedikit saja. Aku menangis untuk itu, kawan. Namun, Tuhan begitu pemaaf. Aku
masih dititahkan untuk beredar lagi menemui wajah-wajah sombong mereka.
Ingin
aku teriak, keluhnya lagi. Tuhan telah ingatkan, maka, camkan! Bahkan Nabi
terakhir telah tunjukkan caranya, jadikan ia teladan! Mengapa sibuk dengan
penjelasan dan penyambutan yang tak kubutuhkan, dan lupa mengingat Tuhan?
Aku
matahari purba, sama seperti kalian, hanyalah ciptaan. Bukan sebab kelahiran,
kematian, atau bencana yang menjelang, apatah lagi tuhan. Aku memberi
peringatan agar kalian bersiap demi akhir yang selamat. Sungguh, kelak di hari
dimana Tuhan berfirman ”terbitlah kau dari barat!” maka itulah saat yang telah
dekat. Saat itu aku akan melebur bersama kalian yang tersesat dengan cepat.
Meredup nyala dengan tepat, sebab aku dengar dan aku taat.
Ia tersedu. Aku terpaku, sendu menatapmu yang pilu. Bulan yang bersolek dengan
sinarmu, bertengger anggun di ufuk timur. Mengawal malam berhias bintang, termasuk
diriku.
Aku,
salah satu yang berkelip malam ini, menuturkan pada kalian tentang sabda sang
matahari. Sebagai pengingat bahwa alam telah begitu tua dan penat. Itu artinya,
kiamat sudah sangat dekat...