TENTANG BAHAGIA

Rabu, April 26, 2017



“Kukira kita takkan bertemu lagi.”
Lelaki berwajah tirus itu membuang napas dengan keras, mungkin ia ingin agar aku menyelami palung hatinya dan menemukan jawaban atas kedatangannya yang tiba-tiba. Sore itu mentari merestui pertemuan beraroma rindu kami dengan hangat yang bersahabat.
“Mana mungkin. Kau tahu aku selalu merindukanmu.” tukasnya.
Kucari makna pada matanya yang teduh. Aku merasa ia mengirim tatap yang terresonansi dari getar dawai hatinya. Aku jengah dan berganti arah. Sungguh ia lebih berani daripada diriku yang pengecut mengakui bahwa renjana telah meraja usai pertengkaran terakhir dua minggu yang lalu.

Aku teringat saat itu, ketika tawa meriah pecah diantara tumpah ruah manusia. Bukan dari banyak orang, hanya aku dan dia. Aku mengenang kala itu, ketika setiap debar terkirim lewat binar pandang, ketika setiap kisah sedih masa lalu menjadi tawa yang menggelikan. Lalu, berdua kita tersesat dalam rimba kenangan akan mereka yang meninggalkan. Sungguh jenak-jenak yang mendekatkan kita dari detik ke menit, jam, hari, lalu bulan.
Kami sama, hingga saat itu. Sama-sama disiksa kesendirian, terhinakan, terluka dan dendam. Kami berdua sejalan, sama-sama mencari sandaran dan penghiburan. Kami tak pernah berbeda haluan, bahkan ia sepakat dengan apa yang akan kita makan dan film apa yang akan kita saksikan. Hingga entah karena dorongan apa ketika ia tergerak untuk mengatakan sebuah permohonan.

            Saat itu, seharusnya menjadi momen terindah untuk sepasang kekasih. Benar, bukan? Bukankah setiap perempuan selalu menunggu ungkapan “maukah kau menikah denganku?” Sebuah kalimat ajaib penanda awal kejelasan status hubungan. Apakah bagiku itu awal atau justru akhir? Aku bahkan tak dapat menerka.
            Aku tercekat beberapa jenak lamanya kala itu. Aku tahu saat itu mungkin akan tiba, tetapi rupanya aku tak siap harus menjawab apa.
“Rose...?!” tanyanya mengenyahkan senyap.
            Aku tergagap. Ray menunggu dengan penuh cemas di seberang meja. Ia mungkin merasa menyesal, namun juga lega.
“Kenapa kau ingin menikahiku?” alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya.
“Kenapa?,” ia mengerutkan dahi, “itu pertanyaan janggal. Kau tahu aku mencintaimu. Apa kau tak senang?”
“Bukan begitu, aku hanya merasa, mungkin kau butuh waktu lagi untuk berpikir.”
“Aku sudah memikirkannya, Rose. Kau dan aku sebebas merpati, kita saling cinta, apalagi?”
“Aku belum resmi bercerai, Ray.” kataku lirih.
            Ray mendesah berat. “Kau merasa ini terlalu cepat? Ayolah, Rose. Aku tidak mengenalmu kemarin sore.”
            Ray benar, beberapa tahun bekerja sama dalam tim cukup untuk mengenali sisi paling jujur dari diri kami. Kadang kala, kita menjadi orang lain  yang tanpa cela ketika bersama sebagai kekasih bukan?
            Aku menekuri lantai. Aku sungguh tak tahu harus berkata apa.
“Aku masih terikat, Ray. Paling tidak hingga sidang terakhir Agustus nanti.”
“Aku tahu, tapi secara agama dia sudah talak, Rose. Itu artinya kamu sudah bukan istrinya lagi.”
“Itu benar, tetapi orang tak tahu apa-apa akan hal itu. Jika aku menikah sebelum resmi bercerai, mereka hanya akan berprasangka buruk.” kilahku.
“Peduli apa dengan kata orang, Rose. Tuhan Maha tahu, lagipula ini hidup kita.”
“Ray” aku mencoba berkata setenang mungkin, “apa ada yg salah dengan pemahamanku? Apa kita berbeda pendapat akan hal ini?”
Ia hanya menjawab dengan tatapan lurus menelanjangi wajahku.
“Aku menginginkan pernikahan yang sempurna, apa aku berlebihan? Pernikahan yang dihadiri kawan, saudara, kerabat, bahkan anak-anak ikut bahagia bersama kita...” lanjutku.
“Rose, kenapa kita tidak jalani sambil menyempurnakan diri? Tak ada yang akan bernyali untuk menikah jika menunggu sempurna. Lagipula, aku tak bisa terus menunggumu.”
“Hanya tiga bulan lagi Ray, sabarlah!”
“Tiga bulan, Rose? Kamu pikir mudah berdekatan denganmu setiap hari, tapi tak bisa menyentuhmu?”

Aku menunduk makin dalam.
“Ray, aku paham, tapi pernikahan bukan sekedar legalitas hubungan seksual, ada idealisme dan harapan yang ingin kubangun, Ray. Aku yakin kamu pun inginkan hal yang sama.”
Kami terdiam. Angin mengisi kekosongan dengan tiupan pada dedaunan, gemerisik. Aku tahu, ini sebuah ironi. Aku telah gagal dua kali dan masih sanggup bermimpi akan pernikahan ideal?
“Rose, untuk dua orang yang pernah gagal, kita akan belajar dari pengalaman. Pernikahan yang lalu bagi kita bak mimpi buruk, kau tahu bahkan cita-cita mulia tidak cukup untuk mempertahankan rumah tangga. Kita punya pegalaman berharga dan cukup bagi kita untuk melangkah dengan hati-hati.”
“Kata-katamu itu tidak sinkron. Ray. Kau belajar dari pengalaman, tetapi menolak melakukan yang seharusnya dilakukan agar pengalaman itu tak terulang.” potongku.
“Rose, aku hanya...sangat menginginkan dirimu...”
“Kalau kau ingin menikah karena takut berzina, menikahlah dengan wanita baik yang mana saja, Ray, tidak harus aku.”
“Rose!” bentaknya, “Kau tidak mengerti. Ini bukan tentang ‘wanita’. Ini tentang kau.”
“Maafkan aku, Ray. Aku hanya...”
“Kamu tak yakin dengan perasaanmu sendiri, bukan?”

Lidahku kelu. Ingin kusanggah, tetapi rasanya ia benar juga. Dia dan Andy, dua bayang lelaki yang selalu menghantuiku setiap saat. Mereka membuatku bingung pada siapakah sebenarnya hatiku terpaut. Tak kupungkiri, meski Andy begitu menyakitkan hati, tetapi ia ayah dari anakku. Setidaknya masih ada sisa cinta untuknya.
“Beriku waktu. Ray.” kataku kemudian. Ray menghela napas panjang.
“Kuharap aku tidak membuang masa, Rose.”
Ray, matanya lekat memeriksa setiap gerak gerikku. Tentu saja, meski sudah menduga akan mendapat jawaban seperti itu, ia layak berharap bahwa lamaranya akan dijawab iya dengan senyum dan binar di mataku.
Aku tidak tahu, harus senang atau sedih dengan lamarannya itu. Sebab, sejak itu semua terasa tak sama lagi.
Ray yang kecewa dengan reaksiku, menjaga jarak denganku. Tak ada lagi ajakan berburu kuliner selepas penat kerja, tak ada lagi sapaan perhatian di telepon setiap pagi ketika kumembuka mata. Ia mungkin sedang menyesal mengapa terlalu dini melamarku dan bukan gadis usia dua puluhan yang jauh lebih menarik. Entahlah.
Aku mengambil masa untuk bertanya pada diri, apa sebenarnya yang kuinginkan. Benarkah aku mencintainya? Mungkinkah ia hanya pelarian ketika tak kutemukan cinta dan bahagia dari suami yang meninggalkanku?
Semakin kubertanya, semakin kumerasa bimbang. Yang pasti rindu merayapi hati ketka hari menjelma minggu. Renjana...
#
Dan, di sore itu kami menyerah. Membiarkan ditertawakan benda-benda di ruangan yang sama seperti saat kami berpisah kemarin. Jam dinding, kursi, meja, lantai, lampu gantung. Di hadapan cinta, manusia sering kehilangan akal sehat dan malu, bukan?
“Apa kabarmu, Rose?’
“Aku baik. Bagaimana denganmu?”
“Aku tak baik. Berhari-hari memikirkan apakah aku telah melakukan kesalahan.”
Aku menggeleng. “Kamu tidak salah, Ray. Hanya waktu yang belum tepat, kurasa.”

Hening. Suasana cafe yang tak terlalu ramai membuat kami kikuk.
“Apa kau memikirkan hal yang sama denganku?’
“Apa?” tanyaku sambil mencuri pandang.
“Kita sama-sama suka dan cocok satu sama lain, tetapi apa kau sadar siapa yang mendekatkan kita?”
“Yah, mereka yang membuat kita saling membutuhkan.”

Tentu saja, Andy mantan suamiku dan Winda mantan istrinya. Keduanya penggores luka di batin kami dengan kisah yang berbeda. Andy dengan perempuan selingkuhannya dan Winda dengan keangkuhan karirnya.
“Meski begitu, saat ini, kau yang dihatiku, Rose. Aku berani bersumpah.” Ia seperti menemukan kesalahan kata-katanya.
“Aku tahu.” hiburku.
“Kamu tahu...lalu bagaimana denganku? Agaknya kau mulai ragu, apakah kau mencintaiku sebagai Ray atau sebagai pelampiasan dendam akan suamimu?’

“Ray,” sergahku cepat, “bisakah kita tak merusak suasana ini? Aku merindukanmu, aku tak peduli karena apa. Apakah karena cinta padamu atau karena aku butuh seseorang pengganti suamiku. Aku hanya rindu dan rindu itu hilang ketika bertemu dirimu...”
Senyum Ray mengembang. Ia mengangguk pelan. Menatapku yang jengah.
“Pernikahan yang sempurna pasti membahagiakan. Tapi, sementara menunggu, ada banyak hal yang bisa kita namai bahagia bukan?” tanyanya retoris.
“Definisimu akan bahagia sangat sulit, Rose, tapi bisakan kita katakan bahagia itu adalah duduk bersamamu sambil minum kopi hangat di sore yang cerah sambil menertwakan film komedi terakhir yang kita tonton?”
“Diterima.” jawabku sambil tersenyum.

“Suatu saat cinta akan menemukan takdirnya. Jadi, aku takkan memaksa, Rose. Hanya bisa berharap semoga akulah nama yang kau sebut dalam definisi bahagiamu.”
Aku tersenyum lega. Ray membalas dengan tatapan dalam yang menyejukkan sekaligus sakit. Pasti tak mudah baginya menerima situasi ini.
“Ray, aku berhak bahagia, kan?”
“Tentu saja, Rose.”
Aku tak tahu bahagia definisi mana yang sedang kami rasa saat ini. Yang pasti, kami menikmati kebersamaan ini, entah sampai kapan. Mungkin hingga cinta menemukan takdirnya sendiri.








Rupa Renjana

Rabu, April 19, 2017

Langit mendung sejak petang, awan berkerumun hingga malam. Angkasa meriah oleh guntur marah. Kilat berkelebat membabat pekat.

Hatiku berdesir menyaksikan isyarat alam. Duhai Tuhan sekalian alam, gerangan inikah pertanda? Adakah bunda disana baik saja? Atau telah menyerah dalam lara?

Kutanya padanya, sang belahan jiwa, bolehkah pulang menemui ibunda. Dia katakan, jangan. Anak kita sakit, jarak terlalu jauh untuk ditempuh.

Hatiku gamang bimbang di antara dua pilihan. Mengejar masa bersama bunda atau di sini dengan buah hati.

Kusampaikan galau hati padanya, bagaimana jika usia bunda tak lama lagi. Dia berkata, bantulah ia dengan harapan terbaik, doa akan melesat cepat menuju ilahi.

Aku tertunduk kelu. Naluri berkata kuharus datang menemui bunda. Tetapi, jiwa taat pada sabda Tuhan. Patuh penuh pada titahNya, ridha istri ada pada ridha suami.

Dalam resah, aku mendesah pasrah, melantun doa terbaik untuk keselamatan bunda nun jauh di pandangan. Beriku kesempatan, beriku peluang, bersua bunda sayang, aku akan pulang....
.
Tanah merah basah, kamboja rapuh meluruh. Sepuluh jam rentang waktu antara kita, bunda. Tak dapat dibujuk maju apatah lagi mundur.

Aku pulang, bunda. Di sinilah aku, di atas tanah merah basah. Menatap pusara dengan mata sembab lembab.

Di tengah kalut, setan berebut menghasut. Seandainya kau pulang kemarin, tentu masih berjumpa bunda, ujarnya. Jika saja ikut kata nurani, kau takkan menyesal ia telah pergi. Seandainya dan seandainya....

Makam lengang, batin berperang. Bunda, engkau mungkin tengah memandang.

Untuk apa kau pulang. Bunda hanya bisa kau kenang sekarang, lagi setan mencibir. Rimbun dedaun gemerisik menyindir.

Ku terdiam bungkam. Lidah tercekat, kelu kaku. Gemuruh tanya kenapa dan kenapa dalam benak menuai anak sungai, menyimbah wajah. Aku berkelahi melawan nurani sendiri.

Lelakiku memandang sayang, menguatkan dalam genggam tangan. Tiada seorangpun menginginkan demikian, sayang, tidak juga aku. Aku meridhaimu sebab menurut padaku. Ridha Allah atasmu. Bunda tenang, senang beranakkan dirimu.
Kutergugu pilu. Duhai berat niat rasanya ujian.

Semilir angin menerbangkan sesal jengkal demi jengkal. Kuhanya sanggup meminta dalam diam: ampuni aku, bunda. Sebab kupatuh pada titahnya, lantas terlambat mengejar sisa masa. Maafkan aku bunda, lihatlah aku yang mungkin kan terkepung sesal sepanjang titian usia.

Kita akan selalu bersua, bunda. Di ruang rindu, dengan hamparan doa, dalam bangunan cinta. Kan kutepis sesak dengan doa terapal setiap jenak. Kan kupinta jannah untuk kita berjumpa kelak.

Bunda, tak terbilang rindu dan sayang untukmu. Inilah rupa renjana untukmu, bunda.

Just Do It

Selasa, April 18, 2017

Kadang kita berpikir akan melakukan hal besar untuk mewujudkan mimpi. Punya bisnis agar bebas finansal dan waktu. Jadi manajer agar tak disuruh-suruh atasan. Segera lulus, cari kerja yang bagus, kemudian meminang anaknya Pak Agus #eaaa.

Kadang kita berpikir terlalu lama ketika akan memulai sesuatu. Terus berpikir sampai lupa esensi dari membuat mimpi itu nyata adalah dengan berbuat.

Berpikir akan hal besar yang akan kita lakukan itu bagus, tetapi melakukan apa yang telah dipikirkan itu lebih penting dari ide itu sendiri.

Berbuatlah sekecil apapun yang kamu bisa menuju mimpi, segera setelah kamu mengambil waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan. Tidak berbuat membuat kita tidak kemana-mana, tak menuju manapun dan tak menjadi siapapun.

Maka, langkah sekecil apapun selama itu menuju tujuan adalah hal besar, tetapi pikiran dan ide yang hebat selama masih di dalam benak, itu cuma angan an sich.

Jangan remehkan hal kecil. Satu kayuhan sepeda itu kecil, tetapi jika dilakukan berulang, akan sampai pada tujuan. Satu paragraf itu kecil, namun jika diteruskan akan jadi buku. Bahkan satu action menawarkan jualan, itu hal kecil, namun bila rutin melakukannya, akan menjadikanmu seorang master penjualan.

Lakukan saja, maka akan terbuka jalan lain. Tak peduli besar atau kecil, sebab yang besar awalnya dari yang kecil.

Saya telah melakukannya, ketika saya buntu ide, saya paksa menulis. Tulisan ini adalah action kecil saya menuju mimpi saya menjadi penulis, meskipun awalnya saya tak tahu akan menulis apa. Tetapi, tetap saya lakukan, dan tadaa...jadilah tulisan ini.
Kalau kamu, apa action-mu hari ini? ;)

Suncare buat Sun Lover

Jumat, April 14, 2017


Sudah hampir tiga tahun ini saya tinggal di Sidoarjo. Kota yang terkenal dengan oleh-oleh khasnya, kue lumpur. Ndilalah, kota ini juga terkenal karena semburan lumpur panas Lapindo yang sempat hangat diperbincangkan beberapa waktu lalu.

Sidoarjo berada diketinggian 3-10 mdpl, sehingga bisa dibayangkan betapa panas udara kota ini di siang hari. Ditambah terik matahari yang menyengat, membuat siapa pun enggan berada di luar rumah kalau tidak karena keperluan mendesak.

Mandi matahari, barangkali itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan siang di Sidoarjo. Tak heran jika di sini jamak dijumpai pemotor yang melindungi dirinya dengan aksesoris lengkap, mulai dari kaos kaki, sarung tangan, hingga jaket dan masker. Awalnya saya agak heran dengan penampilan all out para pemotor terutama ibu-ibu yang sampai memakai kaus kaki. Hawa disini sangat panas, jika harus berjaket dan menutup seluruh tubuh, bisa makin gerah.

Tapi, dasar bandel, alih-alih mengikuti kebiasaan orang sini, saya malah cuek hanya berhelm dan kaos kaki tanpa atribut lainnya. Pikir saya, toh saya keluar sebelum jam 9 pagi, jadi masih aman.
Seiring berjalannya waktu, mulailah tampak perubahan pada tangan saya. Ia tampak menghitam di bagian pergelangan karena selalu terpapar matahari. Tidak hanya itu, kerut halus pun mulai menghiasi.
.
Nasib muka saya pun tak jauh beda. Mulai muncul flek dan kerutan yang mangganggu. Padahal sebelumnya tidak ada masalah berarti meskipun terkadang terkena matahari. Untunglah, karena tertutup helm, wajah saya tidak terlalu belang.

Pada akhirnya saya menyadari kebodohan saya. Inilah akibat mengabaikan perlindungan diri dari matahari. Sinar matahari tak hanya menyebabkan hitam, namun sinar UV A dan B-nya juga dapat menyebabkan penuaan dini, kulit terbakar dan jika terpapar terus dalam waktu lama, dapat beresiko kanker kulit.
.

Uh, baiklah, belum terlambat untuk bertobat #tsaah. Maka, segera saya pasang pelindung tangan di motor saya, membeli masker untuk wajah dan tentu saja, sunblock favorit yang dulu pernah saya pakai. Waktu dulu masih sering pakai sunblock ini, kulit terbebas dari masalah meski tanpa masker dan sarung tangan ketika terpapar matahari.
.
Setelah tiga tahun mengandalkan sunblock bawaan dari krim pelembab, kini saatnya memakai lagi sunblock secara khusus agar kulit terlindung maksimal.
.
Dari sekian merek sunblock, saya paling cocok dengan Suncare dari Ristra. Selain kandungan SPF-nya 17, teksturnya lembut dan nggak lengket ketika dioleskan ke kulit. Mudah diserap kulit dan wanginya nggak menyengat. Dilengkapi dengan pelembab, jadi nggak bikin kering dan yang paling penting, pH balanced, cocok untuk kulit. Saya pernah coba ganti dengan sunblock lain yang lebih mahal, malah terasa berminyak dan lengket. Kulit terasa panas dan perih.
.
Buat anda yang suka beraktivitas di luar ruangan, saya sarankan untuk melengkapi perlindungan kulit dengan sunblock ini. Kualitasnya bagus, tapi cukup terjangkau dengan bandrol 45 ribu rupiah untuk kemasan 40 ml. Insyaallah kulit terhindar dari hitam dan masalah lain.

Sekian review sunblock Suncare Ristranya, selamat berburu. Semoga bermanfaat.

Untukmu, Nek

Rabu, April 12, 2017



Nek....
Bagaimana kabarmu hari ini?
Yang kudengar, bahkan seteguk air pun sulit masuk kerongkongan
Pasti haus ya, Nek?

Apalagi lapar, sudah tak lagi terasa...
Sarapan terakhirmu hanya sesendok bubur yang tak lama kemudian, keluar
Itu pun terjadi tiga hari yang lalu

Nek, padahal di sini aku menyantap apa saja yang kuingin
Minum tanpa henti
Tapi, sering alpa mengucap terimakasih pada ilahi

Nek....jantungmu masih berdenyut
Sementara tak sesuap pun makanan masuk ke lambung
Ia mencuri energi dari cadangan lemak tubuh
Itu membuatmu semakin kurus tergerus

Nek....
Sungguh durhaka jika mendoakan Engkau segera dipanggil-Nya
Lagipula, maut takkan bisa dipinta maju atau mundur barang sedetik saja

Namun, ku tak sampai hati melihatmu dalam derita berkepanjangan
seolah hidup segan, mati enggan

Nek, dalam kesadaran yang makin berkurang
Semoga engkau tetap awas dalam mengingat Tuhan
Tetap yakin lahir batin akan Laa ilaha illaLlah

Semoga sakitmu menggugurkan dosa
Semoga Allah ringankan nestapa
Smoga Allah tetapkan dirimu dalam iman islam
Hingga ujung usia

Kelak jika Allah memanggilmu Semoga Engkau dalam keadaan yang baik, di hari yang baik, dalam waktu dan tempat yang baik

Nek....
Sesungguhnya terdapat pelajaran berharga darimu
Akan arti syukur
Akan arti sehat
Akan wujud bakti orang tua
Akan ni'mat waktu luang yang sering tersiakan
Akan doa meminta husnul khatimah

Terimakasih Nek, atas semua sayang dan kebaikan serta pelajaran berharga

Nek...aku sayang padamu
Doaku tak putus untukmu

Jika setelah ini Nenek sembuh
Semoga Engkau sehat
dengan sempurna
Jika pun akan tiada
Semoga Engkau pergi dengan tenang dalam akhir yang ahsan

Nenek...dengan air mata menggenang
Aku mengenang....

Si Nona Sombong

Selasa, April 11, 2017



“Dimana aku?”
Gadis itu bergegas bangun dari tidurnya yang tak berwaktu. Ia menoleh ke kanan-kiri dengan tatapan takut, heran, dan merasa asing.
“Hei, kau sudah bangun, Nona. Hari masih malam. Tidurlah lagi!”
“Siapa kau?” ia terhuyung mundur melihatku.
“Apa kau benar-benar ingin tahu?” tanyaku sambil menguap.
“Kenapa aku bisa ada disini?” tanyanya kepada diri sendiri, bukan padaku.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu...”

Ia menoleh dengan tatapan tak bersahabat. Jelas sekali sebenarnya ia tak ingin bicara denganku.
“Mau kemana kita?” rupanya ia menyadari tengah berada di sebuah kendaraan yang terus begerak.
“Ke tempat yang jauh, kamu mungkin akan bertemu kawan lama atau saudaramu disana nanti.”
“Jangan bercanda, mau kemana sebenarnya kita? Tempat apa ini? Ih, menjijikan!” ia mengibaskan tangan, mengusir bau menusuk dengan mendengus-dengus.
“Sst, diamlah! Kau bisa membangunkan mereka, teman seperjalanan yang paling tidak ingin kau temui sepanjang hidupmu!”

“Apa maksudmu?” tanyanya gusar.
“Kau tidak bisa lihat? Bagaimana rupa mereka? Bau dan wajah yang mengerikan! Jumlah mereka sangat banyak. Apa kau tidak takut? Mereka bisa melakukan apa saja terhadapmu.”
“Mereka tidak akan berbuat apapun padaku, karena aku akan segera pergi. Dimana pintu keluarnya?” ia bangkit dan mulai meraba dalam remang, mencari pintu.

“Lihat sekelilingmu, Nona. Ruangan ini sangat besar, pintu di hadapanmu pun sangat tinggi dibandingkan dengan dirimu. Kamu tidak  akan sanggup melewatinya.”
“Aku akan berusaha karena aku tidak seharusnya berada di sini. Aku seharusnya di rumahku yang nyaman.”
“Sombong sekali, memangnya kau ini siapa?”
“Kau tidak tahu siapa aku? Lihat penampilanku. Wajahku. Bahkan aku punya nama yang bagus. Tidak sepertimu, tak bernama, ah ya mungkin kau punya nama, tapi sangat jelek.”

“Nona, kau tak sadar dimana kau sekarang? Kau tidak ada bedanya dengan kami dan akan berakhir di tempat yang sama. Berdoalah untuk keajaiban akan ada yang menyelamatkanmu dari neraka ini!”
“Pasti akan ada yang menyelamatkanku. Sebab aku punya kelas, aku istimewa!”
“Kau sama sepertiku!” sergahku.
“Tentu saja tidak, makhluk bau! Aku lahir dengan dibantu dokter Amerika di tempat yang belum pernah kamu lihat. Bahkan namaku sangat sulit untuk dieja. Kau tahu, aku sudah jadi idola sejak lahir, aku dipuja, aku disanjung, disayang, ditempatkan di tempat terbaik dan layak!"

“Kau! Beraninya menghina! Bahkan di situasi seperti ini pun masih sanggup arogan. Jangan lupa, aku masih jauh lebih baik darimu. Kau memang kuat, tetapi merusak!” aku mulai kehilangan kesabaran. Ia memang cantik tapi sungguh ia tak ada bedanya dengan makhluk lain di sekelilingku.
“Aku kuat karena diciptakan istimewa!”
“Istimewa? Kau, kita, adalah perusak!”
“Perusak apa? Aku dan saudara-saudaraku tidak akan pernah dibuang, jadi kami tidak akan merusak. Kalau kau? Kau lemah dan tak berharga, tapi jumlahmu triliunan dan itu cukup untuk membuat bumi ini tenggelam perlahan, membuat bumi sakit. Kalau aku? Seseorang akan menemukan dan membuatku berguna, aku takkan pernah berakhir di tempat sampah sepertimu!”
“Kau sudah di tempat sampah sekarang, Nona! Dan kita sedang menuju tempat pembuangan akhir, neraka yang sesungguhnya!” ledekku sambil mencibir.
“Jangan lupa, Nona, kita satu spesies, kau dan aku sama-sama penyumbang enam puluh persen sampah lautan, penyebab banjir di daratan dan kematian hewan laut yang tak sengaja menelan kita.” lanjutku.

“Diam kamu, Keresek! Kamu menyebalkan!” ujarnya sambil berusaha memanjat pintu bak truk. Aku terkekeh, sudah banyak yang mencoba lari dari tempat ini, terutama yang merasa dipecundangi tuannya setelah sebelumnya dipuja bak kekasih. Sepatu berlogo Nike itu contohnya, ia kini terduduk pasrah menerima nasib bahwa kini ia bukan apa-apa untuk tuannya. Ia tak lebih hanyalah sampah, hanya karena telah lecet tergores di badannya.
“Terimalah takdirmu Nona Tupiware yang cantik.”

Truk bergoyang-goyang, berderak saat melewati jalanan berlubang menuju gunung sampah Bantar Gebang. Satu persatu penghuni bak terbangun karena pertengkaran mereka. Mie yang telah mengembang keterlaluan, apel busuk, kardus basah, diaper pesing, kasur kumal, cabe, ulat, botol minum, jarum suntik, pembalut, koran, catatan belanja nyonya, draft skripsi yang ditolak dosen, dan tentu saja belatung dan lalat. Jangan lupa, aku dan nona yang cantik itu, jumlahnya jutaan, siap membendung air, menyebabkan air menggenang dan banjir. 

Welcome to the hell, Nona yang sombong.

CINTA SEJATI

Jumat, April 07, 2017






Ia duduk dengan wajah mendung. Ada sisa air mata yang telah kering, juga isak tertahan. Hampir selalu seperti ini setiap senja, ketika tubuh tengah menuntut hak untuk istirahat.
            Kutarik napas panjang, bersiap akan memutar ceramah yang sama seperti kemarin dari mulutku. Dia kekasihku, takkan mungkin aku berangkat tidur dalam lautan kemarahannya. 
“Maafkan aku, Sayang...” bujukku mencoba meluluhkan hatinya.
“Aku bosan mendengarmu meminta maaf.” tukasnya kasar.
“Lantas, aku harus gimana?” kucoba merendahkan suara.
“Berhenti memukuliku!” teriaknya dengan suara serak.
            Aku terdiam beberapa jenak. Selalu hal itu yang dia persoalkan. Aku sangat menyayanginya, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak memukulinya. Padahal, ia tak melakukan kesalahan. Justru, kesakitannya begitu menggairahkan. Aku pun tak tahu mengapa cinta bisa berwujud sedemikian membingungkan.
“Aku sayang...aku cinta padamu, kamu harus tahu itu...”
“Mana yang harus aku percaya, ucapan atau perbuatanmu?”
            Aku tercenung. Dia tak salah, tetapi sungguh sulit mengendalikan tanganku dari perbuatan bodoh padanya. Padahal, ia telah ratusan kali memohon agar aku menghentikan kekerasan.
“Maafkan aku, Sayang. Aku mungkin kejam padamu, tapi kamu jangan lupa, aku tetap bersamamu di tengah godaan yang lain, aku membawamu mengenal dunia luar. Jika aku tak mengajakmu keluar, kau sudah mati karena bosan di ruangan ini.”
Kekasihku tak bisa apa-apa tanpaku. Dia tak punya kaki, tak bertangan sejak lahir. Hidup denganku yang mau menerima ia apa adanya adalah anugerah untuknya. Meskipun, tentu saja aku tidak sedang membenarkan perbuatanku.
“Apakah aku  harus membalas budi dengan pukulan di wajahku setiap hari?”
“Sayang...” kuelus punggungnya yang licin bersinar,” justru aku berbuat sangat adil padamu, menempatkanmu pada kodratmu. Sebab, jika tidak, kamu bukan siapa-siapa. Tanpaku kamu tak berguna.”
“Sungguh malang nasibku, aku dipukuli setiap hari oleh orang yang kusayang dan aku harus menerima itu sebagai kodrat. Cinta macam apa ini, Kang?”
“Kamu pikir aku senang melakukannya?”
“Tentu saja! Kamu menyanyi, bahkan menari saat memukulku, kamu menikmati setiap kesakitan yang kuderita!”
Air matanya mengalir lagi. Aku berusaha tetap tenang dan berpikir jernih. Ia kekasihku, sudah seharusnya aku mendengarkan dengan empati.
“Aku sudah tak tahan lagi, carilah yang lain yang bisa kau sakiti sesukamu. Biarkan aku pergi dan istirahat dengan tenang. Aku sudah lelah....”
“Jangan katakan itu, aku tak mungkin hidup tanpamu.” pintaku memelas. Aku memang kejam, tapi sungguh aku takkan sanggup tanpanya. Ia telah bersama dan mengisi hariku selama puluhan tahun.
“Kau hanya merayu supaya aku tak pergi.” tukasnya cepat.
“Aku berkata sebenarnya. Aku takkan bisa berganti kekasih sebab aku tak pandai memainkan mereka sebagaimana aku piawai memainkanmu. Kamu kekasihku, Ndang, sekarang dan selamanya.”
Aku memeluknya, membenamkanya dalam dalam gemuruh rasa di dada. Ia menangis semakin keras.
“Tanpa kupukul, kau hanya selembar kulit bundar yang dipaku pada sebuah tabung. Tapi bila kumainkan dirimu, kau menjadi sesuatu yang mampu mengubah perasaan manusia. Yang sedih menjadi ceria, yang gembira semakin bersemangat. Kamu begitu berguna, Ndang...”
Kuseka air mata di pipinya, sebentuk senyum terbit meski samar.
“Jadi, besok kita kan mengamen lagi?”
Ia mengangguk lemah. Kuciumi ia dengan rasa yang campur aduk. Cinta adalah tentang menempatkan kekasih pada fungsinya, sesuai kodratnya, meski itu menyakitkan. Bukankah begitu?

NISBI

Kamis, April 06, 2017



www.pinterest.com


“Papa!”
“Ya, Karen. Ada apa?”
“Papa dimana?”
“Papa masih di bandara, nunggu terbang”
“Papa! Mama....”
“Kenapa Mama?”
“Mama...pingsan, ngga bergerak!”
“Pingsan? Kenapa bisa?”
“Ngga tahu, tiba-tiba Mama jatuh dan pingsan....”
“Karen, cepat hubungi tetangga! Minta bantuan, bawa mama ke dokter!”
“Papa, sekarang sudah malam, tetangga sudah pada tidur.”
“Tidak, Karen. Ketuk saja pintunya dan minta tolong. Cepat!”
“Papa, kapan Papa akan sampai?”
“Sebentar lagi pesawat Papa terbang, Papa akan sampai dalam dua jam.”
“Papa....”
“Apa?”
“Cepat pulang, aku takut....”
“Karen, cepat cari pertolongan!”
“Papa....aku butuh papa sekarang....”
“Karen, cepat hubungi tetangga! Sekarang!”
“Cepat pulang, Papa...”
“Papa segera datang, tenanglah! Jaga Mama dan adik-adik, ya?”

Tiba-tiba waktu menjelma sifat aslinya, sedemikian nisbi. Masa berputar cepat ketika sedang bekerja, terasa kurang karena banyaknya pekerjaan tak sebanding dengan waktu yang dipunya, tahu-tahu sudah sore. Kemudian ia melambat ketika terjebak macet menuju bandara dan semakin menyiput ketika dikepung bosan dalam penantian jadwal terbang. 

Lelaki itu membunuh jenuh dengan menekuri surat kabar, ponsel, buku. Sementara, saat ia hampir mati kebosanan, tubuh istrinya mungkin tengah digerogoti lelah atau sakit yang belum terdefinisi hingga akhirnya menyerah dalam ketidaksadaran. Ia menganggur menunggu pesawat sementara istrinya tengah menuju anfal. Seandainya ia dapat mempercepat laju waktu dan segera berada di tengah keluarganya. Seandainya bahkan ia tak perlu berpisah dengan mereka.

Lelaki itu dicekam cemas dan takut, bagaimana jika waktu yang dimiliki istrinya ternyata tak lebih dari hitungan detik saja? Bagaimana ia akan berpacu mengejar sisa waktu?
            Sungguh, rupanya ia begitu tak berdaya di hadapan waktu. Sayangnya, ribuan andai takkan berguna.