wajah rindu

Rabu, Februari 22, 2017


www.biaspelangi.blogspot.com

baru lima jenak
aromamu  pergi bersama angin
senyum samar meninggalkan jejak
lalu, bayangan menjelma sunyi
lantas... senyap

kemudian, waktu merayap lambat
meski ia begitu kerap
menghadirkan setiap senyummu lekat
mencipta debar desir cepat

pergilah...
jangan auraku kau bawa serta
meredupkan cahaya mata
meniti hari tak lagi sama
saat engkau tiada

inikah renjana
mematri jiwa
menenun harap
mencipta debar

bagaimana pun...
sungguh takut terlalu tinggi aku mengawang
sebab jatuhnya pasti sakit bukan kepalang
namun, kamu takkan buat demikian kan sayang?


TUGAS NICE HOME WORK #4 IIP BATCH #3 SBM

Minggu, Februari 19, 2017

a.   Mari kita lihat kembali Nice Homework #1 , apakah sampai hari ini anda tetap memilih jurusan ilmu tersebut di Universitas Kehidupan ini? Atau setelah merenung beberapa minggu ini, anda ingin mengubah jurusan ilmu yang akan dikuasai?
    Dari dua ilmu yang ingin saya pelajari dalam universitas kehidupan ini, tidak ada yang ingin saya ubah. Namun saya merasa perlu menambah jurusan ilmu yang lain yang akan saya jabarkan di poin ( d ).

b.    Mari kita lihat Nice Homework #2, sudahkah kita belajar konsisten untuk mengisi checklist harian kita? Checklist ini sebagai sarana kita untuk senantiasa terpicu “memantaskan diri” setiap saat. Latih dengan keras diri anda, agar lingkungan sekitar menjadi lunak terhadap diri kita.
   Belum sepenuhnya konsisten, tapi saya berusaha agar bisa mematuhi     checklist harian saya

c.  Baca dan renungkan kembali Nice Homework #3, apakah sudah terbayang apa kira-kira maksud Allah menciptakan kita di muka bumi ini? Kalau sudah, maka tetapkan bidang yang akan kita kuasai, sehingga peran hidup anda akan makin terlihat.
    saya masih meraba-raba, tetapi setidaknya inilah yang bisa saya tangkap dari sekian pertanda yang diberikan Allah pada saya, suami dan anak-anak saya.
   Bismillah, saya merasa Allah menganugerahi sifat saya yang supel, ramah, perhatian, suka menyenangkan orang lain, dianggap dewasa dan enak diajak ngobrol / curhat sebagai sinyal bahwa saya mungkin bisa bermanfaat dalam bidang konsultasi. Tetapi, sejujurnya saya merasa tidak pantas menjadi konsultan dalam agama atau pendidikan dan pernikahan. Sejauh ini, saya merasa lebih nyaman menyampaikan nasihat / pesan melalui tulisan. Dengan kata lain, saya bisa berdakwah melalui tulisan.
   Jadi, menurut hemat saya, bidang yang saya rasa bisa saya kuasai adalah bidang penulisan.
     Misi hidup saya: memberi manfaat ( dakwah ) melalui tulisan-tulisan saya
     Bidang          : kepenulisan
     Peran           : penulis

d.  Setelah menemukan 3 hal tersebut, susunlah ilmu-ilmu apa saja yang diperlukan untuk menjalankan misi hidup tersebut.
-        Ilmu menjadi hamba Allah yang solihah
-        Ilmu menjadi ibu yang profesional
-        Ilmu kepenulisan

e.    Tetapkan milestone untuk memandu setiap perjalanan anda menjalankan misi hidup
    saya tetapkan usia saya saat ini, 36 tahun 4 bulan sebagai Km 0 perjalanan saya.
-        Km 0-Km 1 ( tahun pertama ) = ilmu menjadi hamba Allah yang solihah
-   Km 0-Km 4 ( tahun pertama-tahun keempat ) = ilmu bunda profesional (bunda sayang, bunda cekatan, bunda produktif, bunda shaleha)
-        Km 5 - Km 6 ( tahun kelima ) = ilmu kepenulisan

f.  Koreksi kembali checklist anda di NHW#2, apakah sudah anda masukkan waktu-waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas
    Sudah J


TOPENG WARSIH

Jumat, Februari 17, 2017


Warsih mematut diri di depan cermin. Bibirnya yang merah mengulas senyum, ia puas dengan dandanannya hari ini. Meski sudah tak muda lagi, ia tetap cantik. Tak ada yang meragukan kepiawaiannya berhias dan memikat lelaki. Dengan penampilan sempurna, ia yakin akan mendulang banyak rupiah.
Sebelum beranjak, ia memeriksa lagi penampilannya. Kebaya biru, kain jarik batik cokelat muda, kerudung selendang merah jambu, sanggul dan korsase di kepala yang sebenarnya terasa berat. Tetapi, demi penampilan menarik, ia harus total.
Segera setelah yakin tak ada cela, ia menyambar tape recorder kecil lengkap dengan  mikrofon di tangan. Mengalungkan tas selempang kemudian bergegas keluar dari rumah petakannya menuju pasar.
Ia melenggang anggun, diiringi nada–nada melayu mendayu yang mengalun dari tape-nya. Dengan senyum menggoda, ia menyapa satu-dua orang yang menatap. Ia tahu, tak semua mata memandangnya dengan perasaan senang, lebih banyak yang mencibir, bahkan ada juga yang menertawakan.
Tetapi, ia acuh. Baginya semua pandangan orang tentangnya tak penting. Ia lapar, dan mengamen adalah cara terhormat untuk makan ketimbang meminta-minta tanpa usaha. Lagipula, mereka hanya iri dengan kecantikannya yang sempurna.
“Hai, Mbok Ti. Makin sehat aja...” ia menyapa tukang jamu. Kemudian, mulai menyanyi mengikuti lirik lagu dari tape-nya.
“Tuhan itu maha esa, Dia yang maha kuasa...“ suaranya parau meng-cover suara Ida Laila yang merdu. Ia tak peduli, meski suaranya tak enak didengar, yang penting ia bisa menyesuaikan nada. Setidaknya, itu membantu. Mengamen butuh mental baja. Ia harus berterimakasih pada pencipta kosmetik yang menolongnya menjadi diri yang lain, sementara dirinya yang malu tersembunyi di balik riasan tebal.
Belum selesai satu lagu, ia berpindah ke tukang nasi uduk setelah tukang jamu memberinya seceng.
“Eh, ya ampun! Gue udah bilang, cari pembantu buat bantuin elu ngelayanin pembeli. Biar gue ngga dikacangin gini...” sapanya sambil bergoyang kecil.
“Tuhan itu maha esa, Dia yang maha kuasa.“ suaranya masih menyanyikan reffrain lagu Ida Laila yang sama. Badannya meliuk pelan mengikuti irama.
Selembar seribuan diangsurkan tukang nasi tanpa meliriknya. Warsih terkekeh dan berterimakasih, kemudian berpindah ke tukang jahit.
Bang Udin si tukang permak, menyambut dengan bergoyang. Ia meraih tangan Warsih, lalu mengajaknya berjoget. Warsih tersenyum senang, melirik Bang Udin penuh arti, kemudian tertawa.
“Banyak orderan hari ini, Bang? Banyak dong saweran buat gue?’
Bang udin pura-pura tuli. Ia masih asyik berjoget.
“Suara rintihan, suara tangisan. Insan yang berdosa, hooo...”
Tapenya telah berganti lagu menjadi lagu siksa kubur. Selembar uang dua ribuan dikibas-kibaskan Bang Udin, memintanya lebih lama bejoget. Warsih melirik sebal, satu klien cukup lah satu menit, kalau perlu kurang dari itu. Uangnya sudah habis, paling tidak ia harus dapat lima puluh ribu rupiah untuk bisa bertahan hidup hari ini. Dan itu artinya masih banyak orang lagi yang harus didatanginya. Berlama-lama dengan lelaki penjahit ini akan membuang waktu.
Tetapi, klien tetaplah raja yang harus dilayaninya dengan sepenuh rasa.
Puas berjoget, lelaki paruh baya itu menyelipkan uang dua ribuan ke tangan Warsih. Warsih tersenyum senang, diakhiri dengan seringai sebal. Ia berlalu menuju tukang ayam.
“Hancur lebur tulangnya, serta hangus tubuhnya. Hancur lebur tulangnya serta hangus tubuhnya...”
Si tukang ayam makin bersemangat mengayun golok mencacah daging ayam demi mendengar lirik lagunya. Warsih terkekeh geli, selembar seceng beralih dari tukang ayam yang kotor dan bau itu.
Warsih mendekati tukang sayur. Seorang nenek dengan aneka rupa sayur yang masih segar.
“Nek, saya kasih lagu siksa kubur, biar inget masa depan ya, Nek. Udah tua, Nek, jangan dagang mulu!”
“Eh, Warsih! Kalau gue kaga jualan terus gue makan apa? “
Nenek yang masih awas menghitung kembalian dan jeli mengenali setiap pelanggannya. Padahal ia telah uzur.
“Lapaknya warisin ke cucu, Nek. ”
Nenek mengibaskan tangan. Tanpa menghiraukannya lagi, ia menyapa seorang wanita yang mendekati lapaknya. Warsih mulai berdendang sambil meliukkan tubuhnya.
Begitu seterusnya, hingga orang terakhir yang dihiburnya, seorang tukang sembako. Ia baru pulang ketika menjelang tengah hari. Melenggang tenang dengan sebungkus nasi dan sebungkus rokok.
Sambil berkipas di kontrakan yang pengap, ia menghitung sisa hasil mengamennya hari ini. Tiga puluh ribu rupiah, cukup untuk makan sampai sore nanti, juga menabung untuk membuka salon impiannya.
“Drrtt...drrtt!”
Telepon genggam Nokia-nya bergetar. Seseorang menelpon.
Warsih tak bersemangat begitu mengetahui lawan bicaranya. Adiknya di kampung, itu berarti emak ingin bicara dengannya.
“Ya, hallo...”
“Kang, ini emak mau ngomong sama kakang.”
Warsih mendengus.
“Hallo?!” Suara  emak di seberang telepon nyaring, “Hallo, Warso?”
Warso menyeringai. “Ya, Mak. Ini Warso!”




SATE

Kamis, Februari 16, 2017

Pukul sembilan malam, suamiku belum juga pulang. Perut sudah berdemo sejak pukul tujuh tadi. Tetapi, suamiku berjanji akan membawakan sate untuk lauk makan malam, jadi walau lapar dan kantuk mendera, aku setia menunggunya.
Kucoba mengusir kantuk dengan membaca, tetapi sepertinya itu malah menjadi pengantar tidur yang dalam. Aku terkantuk-kantuk, ditingkahi suara detak jam yang menggema. Ingin rasanya pergi tidur kalau tak ingat perjuangan suamiku membelikan sate, lalu membelah macetnya kota untukku.
Tetapi, di tengah hujan yang mengguyur begitu deras, ditambah angin kencang, sepertinya ia akan datang ketika malam telah larut.
Ketika jarum jam menunjuk angka sebelas, aku mendengar jejak kakinya menapak teras, kemudian ketukan di pintu. Girang, aku bergegas membukakan pintu. Benar saja, ia pulang dengan bungkusan di tangan. Meski pulang begitu larut, tetapi tak terlihat raut muka lelah dan tempias hujan di wajah dan badannya. Ia tersenyum samar, lalu menyerahkan bungkusan itu padaku. Melewatiku yang belum mawas benar akibat kantuk.
“Abang sudah makan?”
Ia mengangguk, sambil melepas jaketnya. Ia memberi isyarat tangan hendak ke kamar mandi.
“Dimana motor Abang?” tanyaku, yang dijawabnya dengan lambaian tangan tanpa melihat kepadaku. Mungkin sebaiknya aku menunda bertanya, ia sangat lelah.
Setelah menutup pintu, kuikuti jejaknya ke dapur untuk mengambil piring dan sendok, sementara ia telah masuk ke kamar mandi.
Aku telah memintanya membelikan sate kambing balibul ini sejak kantor bubar jam lima tadi. Jadi, napsu makanku menggebu ingin segera menyantap hidangan khas kota kelahiranku. Meski heran karena suamiku tak terdengar segera mandi, aku tak peduli. Janin di perutku sudah ngiler meminta tuntutannya.
Kubuka bungkusan sate yang menguarkan wangi bumbu kecap bawang. Sedap. Masih dapat kuindera hangat daging sate, seperti baru matang beberapa saat yang lalu. Uh, baguslah, masih hangat. Meski dibeli sejak sore tadi, tapi sampai jam sebelas masih hangat. Bukankah itu bagus? Atau... mengherankan?
Sebentuk rasa asing merayapi hatiku. Semilir angin yang menerobos masuk dari celah jendela terasa begitu dingin menerpa pipiku. Aku mencoba menalar.
Pertama, suamiku datang tanpa salam seperti biasanya, kedua ia tak membawa motornya, lalu dia masuk ke kamar mandi tapi tak terdengar sedang mandi. Dan sate ini, dibeli sejak jam lima lalu, tetapi masih hangat?
Sesuatu yang tidak semestinya sedang terjadi.
Aku mengelus perutku, membaca apapun yang kuingat.
Ketika takut mulai menguasai diri, suara deru motor menyentak sekaligus menenangkan, itu deru motor suamiku!
Aku berlari keluar, mendapatinya yang tergopoh mendorong motor ke garasi, dengan tubuh basah oleh hujan.
Melihatku pucat pasi, ia mengerutkan dahi.
“Bunda? Kenapa kamu?”
Aku menunjuk ke dalam rumah dengan gugup.
“Seseorang...datang sebagai dirimu. Dia di kamar mandi...”
Tanpa menunggu aba-aba, ia melesat menuju kamar mandi yang tertutup. Membuka pintu dan mendapati ruangan kecil itu kosong. Pun, nihil ketika kami mencarinya ke ruangan lain. Ia tak mungkin keluar lewat jalan lain, karena satu-satunya pintu keluar adalah pintu depan rumah. Seketika bulu kudukku meremang...
Di ruang tamu, kulihat sate itu telah menjadi daging dengan taburan belatung...



MY BIG BREAK

Rabu, Februari 15, 2017


Sejujurnya, istilah “big break” baru saya tahu sejak join grup One Day One Post. Dibanding dengan istilah writer block, istilah ini masih cukup asing, terbukti ketika mencoba googling untuk mencari lebih detail definisi big break, hasilnya nihil. Untunglah, sedikit penjelasan dari senior bisa membantu.
Big break adalah suatu kondisi hiatus yang berlangsung cukup lama, bisa dalam hitungan bulan sampai bertahun-tahun lamanya. Definisi hiatus  ( bahasa Latin ) artinya adalah gap atau celah, bisa juga diartikan sebagai break atau rehat dari aktivitas menulis. Dalam dunia blogging, hiatus bisa diartikan sebagai berhenti sejenak dari aktivitas blogging, ataupun jeda atau rehat posting.
Kalau mengacu pada definisi tersebut sih, jelas saya pernah mengalami big break. Saya sudah menulis untuk diri sendiri sejak kelas lima SD. Saya ingat betul cerita pertama yang saya tulis adalah tentang Bella si rusa yang tersesat di hutan karena tidak mematuhi perintah ibunya untuk tetap tinggal di rumah. Judulnya: Bella, Rusa yang Hilang. Cerita itu terinspirasi dari cerpen di majalah anak yang sering saya baca di waktu kecil, dan entah dorongan dari mana, saya mencoba menulis dan berhasil hingga ending. Seorang teman sekolah menjadi pembaca tulisan pertama saya.
 Kesenangan menulis gak jelas itu berlanjut hingga SMP. Saya yang mulai menyukai cerita-cerita cinta remaja dari majalah Anita Cemerlang, Gadis dll yang saya pinjam dari teman. Saya mengarang sendiri di kertas yang disobek dari buku bekas, kemudian hasilnya saya kasih teman untuk dibaca. Komentar teman waktu itu sih, katanya bagus, padahal kalau diingat-ingat, itu cerita paling ngga jelas dan paling jelek yang pernah ada, wkwkwk.
Keinginan untuk menulis ke media sebenarnya ada, hanya saja saya kebanyakan alasan karena ngga ada mesin ketik ( ya ampun tua banget ya, saya ), akhirnya draft itu hanya berpindah dari teman satu ke teman lainnya saja.  Tidak pernah menjajal persaingan di dunia nyata. Tetapi, saya puas karena bisa menyalurkan hobi, menulis untuk diri sendiri.
Ketika SMA, saya mulai menulis cerpen islami, terpengaruh oleh bacaan saya yang sudah mulai beralih ke majalah islami semacam Annida, Ummi dll. Saya masih tetap menulis untuk diri sendiri dan hanya diberikan ke teman.  
Bertahun tahun setelah itu, saya akhirnya tidak pernah menulis barang selembar pun. Iya, satu lembar pun tulisan, bahkan selembar diari. Saya sangat sibuk dengan aktivitas kuliah yang padat, ditambah organisasi. Tak lama setelah lulus, langsung menikah dan punya anak. Hampir tak pernah terlintas di benak saya bahwa saya akan menulis lagi. Tetapi, sejujurnya saya rindu menulis, sampai ketika di tahun 2011 saya katakan pada suami saya, bahwa saya akan menjadi penulis. Tetapi, itu hanya sebatas ucapan. Karena sampai di ujung tahun saya masih belum menulis apa pun.
Kerinduan pada dunia menulis, mengantarkan saya pada sebuah komunitas menulis yang saya ketahui dari postingan seorang teman. Komunitas ini membuka jalan saya untuk menulis. Komunitas tips nulis dan bisnis menjadi ajang menulis pertama saya setelah big break bertahun-tahun. Dan, berbuah manis dengan dua kali menang di kompetisi internal grup.
Saya merasa belum puas dan menantang diri lagi di komunitas menulis lain yaitu One Day One Post yang memaksa saya menulis setiap hari. Kini, saya hampir selalu menulis, meski tak rutin tetapi dalam seminggu saya masih menulis. Dari yang sepele hingga yang butuh pemikiran.
Sebenarnya, rutin menulis di komunitas pun tidak membuat saya bebas dari big break. Saya tetap mengalaminya. Hanya saja karena ada teman-teman yang selalu memotivasi, big breaknya tidak terlalu lama.
Kalau dipikir-pikir, penyebab big break saya adalah kesibukan yang sangat padat. Dan kesibukan itu hampir rutin setiap hari dari mengurus rumah tangga dan anak-anak, hingga belajar online di kelas kelas bisnis dan parenting. Sepertinya, jika kesibukan yang menjadi kendala, hanya manajemen waktu yang bisa mengatasinya. Dan itu jelas pe-er besar untuk saya, karena manajemen waktu saya masih belum berhasil dan konsisten.
Kalau begitu, supaya saya bisa bebas dari big break, saya harus mampu memanaj waktu dan aktivitas saya agar tetap punya waktu untuk menulis. Semoga, dengan semakin terampil mengatur waktu dan prioritas kegiatan, saya akan selalu menulis dan terbebas dari big break. Semoga....


WHEN HE DISSAPEARED

Selasa, Februari 14, 2017

WHEN HE DISSAPEARED
            Jika suatu hari anda mati, apa yang kira-kira yang akan diungkapkan oleh orang–orang yang mengenal anda? Apa yang akan mereka ceritakan tentang anda? Apakah karakter yang baik dan menonjol, ataukah justru yang buruk dan biasa saja seperti kebanyakan orang?

Pertanyaan mendasar ini menjadi titik tolak pentingnya personal branding dalam hidup kita. Bagaimana kita membangun citra diri kita yang spesifik, unik dan khas diri kita. Apakah kita ingin dikenal sebagai yang sangat baik, atau sangat disIplin, ramah, suka menolong dll. Lebih spesifik lagi, apakah kita dikenal sebagai ibu rumah tangga, karyawan, penulis, pebisnis atau bahkan seseorang yang tidak jelas menekuni apa?

Pertanyaan ini menggelitik saya kembali ketika suatu hari seorang senior (baca: suhu ) dalam komunitas grup Watssapp One Day One Post “menghilang”. Dimulai dari leave grup ODOP yang mencengangkan semua member ODOP, hingga status media sosialnya yang sangat aneh dan bukan khas dia banget. Segera kami semua menyadari ada sesuatu yang terjadi pada diri atau paling tidak pada handphonenya. Sebab semua perilaku anehnya itu sama sekali berbeda dengan karakternya yang kami kenal selama ini. Padahal, ajaibnya, karakter tersebut kami kenali hanya melalui dunia maya dan melalui tulisan-tulisannya yang bernas dan cerdas.

Di antara ciri khasnya adalah ia selalu menyapa dengan sapaan: “ada apa? Sudah ngopi belum?” Ketika merasa lucu dia menulis “ahahaha.” Ketika menjelaskan sesuatu bahasanya singkat, padat, namun bisa dimengerti dengan baik. Ia terkesan jujur ( apa adanya ), serius dan dewasa ( baca: bijak ) meskipun selalu mengaku usianya baru tujuh belas tahun ( hehehe). Wawasan dan referensi bacaannya luas, tulisannya cerdas bernas, tetapi ia tetap rendah hati, dan tidak terkesan menggurui ketika membagi ilmu. Ia bertanggung jawab dengan amanah yang diberikan padanya dan menepati janjinya.

Ketika ia keluar grup tanpa permisi dan tanpa alasan yang jelas, hal itu sudah pasti bertolak belakang dengan karakternya yang bertanggung jawab. Juga karakternya yang cuek, ngga mudah baper. Banyak hati yang bertanya ada apa gerangan? Namun, dari semua spekulasi tentang perilaku anehnya itu, pada akhirnya semua sepakat bahwa itu bukanlah karakternya. Artinya, ada sesuatu dengan handphonenya. Dalam hal ini, mungkin telah dibajak atau hilang dan ditemukan orang kemudian digunakan oleh penemunya. Satu pelajaran yang dipetik dari reaksi awal teman-teman segrup adalah kami semua menyukai dan menyayangi dia, dan sangat sedih jika harus kehilangan sosoknya. Ia begitu dibutuhkan, disukai, dinantikan. seperti ada perasaan nyaman bahwa dia ada bersama kami, dan begitu ia tiba-tiba pergi, kami begtu kaget dan terpukul seperti anak ayam kehilangan induk.

Ketika akhirnya agenda grup rutin tetap dilakukan minus dirinya, ada satu momen dimana kami merindukan komen sederhananya: “ahahaha.” Atau ulasannya yang singkat padat bernas. Hingga akhirnya dia berhasil ditemukan dan kembali masuk grup, terlihat dengan jelas betapa bahagianya kami menyambut dia kembali dan mengetahui bahwa dia baik-baik saja. Hanya saja, ada orang yang jahat ingin mengacaukan keadaan.

Belajar dari peristiwa itu, saya mengambil cermin besar untuk diri saya. Saya tidak tahu, apa yang akan orang–orang katakan jika saya leave grup yang selama ini saya ikuti...dan lebih dari itu ketika akhirnya saya akan leave dunia ini. Apa yang akan orang-orang katakan tentang saya?


Pertanyaan sederhana, namun butuh perenungan, tindakan yang sungguh dan konsistensi untuk menjawabnya. Saya tidak tahu, apakah saya mampu menjawabnya hingga akhir usia saya...

MAGIC WORD

Selasa, Februari 14, 2017

Mengajarkan anak untuk selalu bersikap sopan santun memang susah-susah gampang, apalagi di era sekarang. Pada masa lalu, indikator sopan santun sangat banyak hingga ke masalah nada suara pada saat bicara dengan yang lebih tua. Tetapi di masa kini, nilai -nilai kesopanan makin pudar, indikator sopan santun bergeser dan sedikit demi sedikit berkurang.

Sebagai seorang ibu, saya berusaha untuk menanamkan nilai kesopanan pada anak-anak dengan berbagai cara, baik dengan nasihat maupun dengan contoh nyata. Contohnya, jika kebetulan melintas di depan orang / kumpulan orang, jangan lupa mengucapkan permisi dengan anggukan kepala atau senyuman. Saya mencontohkannya ketika melintas dengan sepeda motor bersama anak-anak saya di depan orang-orang yang sedang duduk-duduk. Sambil mengangguk dan tersenyum saya katakan: nyuwun sewu ( B. Jawa: permisi ). Ajaib. Reaksi orang-orang tersebut ternyata di luar dugaan. Mereka tersenyum, kompak mengatakan monggo ( silakan ). Padahal mereka tidak mengenal saya. Saya katakan pada anak-anak saya, permisi adalah salah satu kata ajaib yang bisa merubah keadaan disamping kata maaf, terimakasih, dan tolong. Saya menambahkan, Insyaallah dengan sopan santun kita kepada mereka, bisa jadi hatinya yang senang karena merasa dihargai, akan melantunkan doa kebaikan untuk kita. Tetapi, bisa jadi doa keburukan lah yang kita dapatkan dari mereka, jika kita melakukan hal yang sebaliknya. Lewat saja tanpa permisi, bahkan tersenyum saja tidak.


Dengan memberi contoh semacam itu, saya yakin akan ada dampak yang lebih nyata pada perubahan sikap anak-anak saya. Meskipun lambat, tapi pasti Insyaallah. Seyogyanya, nilai sopan santun memang harus kembali dihidupkan agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang damai dan baik. Bayangkan jika setiap orang melakukannya, maka kesopanan akan menjadi budaya kita kembali setelah akhir-akhir ini memudar akibat tergerus arus budaya luar. Dimulai dari diri sendiri, lingkungan terkecil, dan dari sekarang.

Sinyal dari Allah

Sabtu, Februari 11, 2017

Apa yang saya tulis berikut ini, adalah hasil perenungan sederhana tentang diri saya, anak-anak, dan lingkungan di sekitar saya. Masih satu rangkaian dengan surat cinta untuk suami saya, berikut adalah lanjutannya. 

b. Potensi anak-anak
Hisyam: baik hati, penolong, penyayang, patuh pada perintah orang tua, suka membaca, suka bertanya, ramah, bisa menulis.
Mahira: cerdas, cepat menangkap ilmu, mandiri, tidak baperan, mudah bergaul, ambisius, kemauan kuat, bisa menulis.
Valya : belum terlihat, masih dua tahun. Sepertinya sih, mirip karakter kakak yang pertama ( Hisyam ). Wallahua’lam.

c. Potensi saya
Saya seorang yang mudah bergaul / adaptasi, suka menolong, juga ramah. Saya suka dan sedikit bisa menulis, pernah belajar kimia dan lulus dengan sangat memuaskan di universitas mungkin bisa jadi indikator bahwa saya cukup pandai, meskipun sebenarnya mungkin itu karena buah ketekunan. Pola pikir saya, kata suami sih, cerdas. Saya suka berteman, suka menyenangkan hati orang. Suka membaca jika ada waktu luang. Senang belajar apa saja yang mungkin bermanfaat meskipun tidak diamalkan seketika itu. Prinsipnya, berilmu dulu baru beramal. Dan kumpulkanlah ilmu sebanyak-banyaknya, karena kita tidak tahu kapan ilmu itu kita butuhkan.

Mengapa saya berada di keluarga ini? Ini pertanyaan yang sulit saya jawab, sekaligus tamparan keras buat diri saya, karena ternyata potensi saya tidak dikerahkan sepenuhnya demi keluarga kecil saya selama ini. Jadi, saya coba menerka apa maksud Allah dengan hadirnya saya untuk keluarga saya. Mungkin, sifat saya yang supel dan mudah bergaul bisa berguna untuk membantu Hisyam dan mengimbangi suami yang cenderung pendiam, pemalu dan sulit bergaul. Pengalaman saya sebagai juara kelas waktu sekolah dulu, mungkin berguna untuk memotivasi anak-anak saya untuk berprestasi. Kemampuan akademik saya mungkin akan berguna untuk membantu belajar anak-anak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Hisyam yang seringkali sulit. Tentu saja, seharusnya saya bisa lebih maksimal mengantarkan anak-anak menuju prestasi terabaiknya. Dan, kesukaan saya menulis akan memberi mereka contoh dan motivasi untuk menulis juga. Pribadi saya yang ramah dan senang menyenangkan orang lain seharusnya sangat dirasakan terutama oleh keluarga saya.

Pola pikir saya yang cerdas mungkin akan bersinergi dengan kepintaran suami saya. Saya bertugas menjadi yang selalu mengingatkan, mengajak berpikir lebih jauh dan menyeluruh terhadap sesuatu, agar tindak tanduk suami saya tidak keluar jalur.
Wallahu’alam

c. mengapa saya ada di lingkungan saya yang sekarang?
Sejak pindah ke rumah baru, saya masih jarang bergaul dengan tetangga di sekitar saya. Selain karena lingkungannya yang sepi, juga karena kesibukan saya mengurus rumah dan dua anak plus batita saya tanpa bantuan siapapun ( ART ). Saya tinggal berdekatan dengan ibu mertua dan kakak tertua suami saya. Setiap hujan besar dan lama, biasanya rumah dan lingkungan banjir.


Pertanyaannya, mengapa saya ditakdirkan berada disini? Mungkin Allah ingin saya dan suami lebih dekat dengan ibu dan saudara-saudara suami setelah sekian lama kami jauh karena merantau. Kami diberi kesempatan untuk berbakti pada ibu. Juga, dengan kelebihan saya yang mudah bergaul dan beradaptasi, barangkali Allah ingin saya memberi kontribusi positif terhadap lingkungan sekitar saya. Wallahua’lam. 

dibuat untuk memenuhi tugas dari IIP 
#NHW3

NOW AND FOREVER

Jumat, Februari 10, 2017

Dear ayah...
Meski merasa canggung, tapi ini harus dilakukan. Jadi, aku beranikan menulis surat ini untukmu. Walaupun, sungguh tidak semudah menulis cerpen dengan imajinasi. Semoga dirimu berkenan meluangkan waktu untuk membaca isi hati terdalamku. Ini tentang... mengapa aku mencintaimu...

Apa yang harus aku katakan? Jika selembar daun yang gugur pun adalah kehendak Tuhan, maka apalah lagi kehadiranmu dalam hidupku sejak tiga belas tahun silam. Semua karena kehendak-Nya, semua atas skenario-Nya. Sejak pertama bertemu hingga kini terpisah jarak karena tugas, telah begitu banyak peristiwa, beragam kisah, beribu rasa, dan aneka rupa kejadian kita alami bersama. Tak kupungkiri, sebagian besar indah menyenangkan. Namun, kuakui, tak selalu indah. Adakalanya diwarnai sedih, tangis, marah, emosi, kesal, juga kecewa. Tetapi, itulah hidup bukan? Alhamdulillah, seperti yang Tuhan janjikan, betapapun jutaan rasa melingkupi kita, ada satu rasa yang paling mudah kita kenali. Ketenangan. Aku damai bersamamu, engkau ( kuharap ) tenang di sisiku.

Sebagaimana diriku yang tak sempurna, begitupun dirimu. Tetapi, kebaikanmu begitu banyak sampai-sampai aku rasa begitu beruntung memiliki dirimu di sepanjang usiaku. Dirimu yang memikul tanggung jawab sebagai mujahid nafkah, selalu memastikan bahwa keluargamu tak kekurangan makan, sandang, papan. Bekerja dengan sabar dan serius hingga rela menggadaikan waktu tidur, menempuh bermil-mil jarak demi kesejahteraan hidup. Hingga, kadang rela kau makan paling akhir dengan piring bekas anak istrimu. Menahan diri untuk tidak memakan jatahmu demi kepuasan anak istri. Sungguh, aku kadang merasa, apakah aku terlalu? Apakah aku masak kurang banyak sehingga dirimu tak mau makan sebab khawatir kami kekurangan?

Dirimu yang amat besar pedulinya pada kesehatan kami, tak segan mengambilkan minum untuk langsung disodorkan pada kami, demi kesehatan ginjal-ginjal kami. Membeli minuman-makanan hanya yang bermanfaat untuk kesehatan badan. Agaknya, keseringan berinteraksi dengan dunia rumah sakit membuatmu merasa harus menjaga kami dengan sebaiknya.

Dirimu yang jenaka, suka melucu dan tergelak, tak sungkan bermain dengan anak-anak, meski kantuk lelah mendera. Bercerita apa saja dengan ekspresif, menjelaskan dengan antusias, berbagi kisah dengan semangat. Kecerdasan, keluasan wawasan, dan kuatnya daya ingat adalah kelebihan yang sangat kukagumi sejak pertama mengenalmu. Dirimu pintar, kesan pertama dan selalu tentangmu.

Engkau yang ringan tangan membantu pekerjaanku, tak malu membeli sayur mayur, tak gengsi menenteng sampah, amat suka menyapu, tak segan mengurus keperluan anak-anak.
Duh, bukankah tak semua lelaki mampu bersikap begitu? Maka, sungguh amat beruntung diriku.

Kau selalu inginkan kenyamanan, untuk siapapun, sehingga engkau membuat trik khusus agar sabuk pengaman mobil pun tak membuatku sesak napas. Atau menyusunkan bantal agar leherku tak sakit kala menyusui si kecil.

Dirimu yang sabar dan pengertian, meski kadang di pagi hari belum siap sarapan, bahkan kadang malah makan omelan. Engkau hanya diam...menunggu hingga makanan dihidangkan, atau engkau yang tergerak menyiapkan.

Engkau yang tak suka membuang makanan, memilih menghabiskan sisa makanan agar tak berakhir di tempat sampah untuk kuman-kuman. Padahal kadang, makanan itu sudah tak enak bagi sebagian besar orang. Tentu saja, meminta menu yang berbeda setiap kali makan, bukanlah kebiasaan. Engkau tak menyusahkan dalam memilih menu makanan, apa yang kuhidangkan, pasti kau makan.

Lihatlah, betapa banyak kebaikan yang kau berikan padaku dan anak-anak. Bahkan kau pun sabar menerimaku yang tak secantik gadis Jepang. Masih banyak, hanya mungkin aku tak nampak. Sungguh, aku merindukanmu ketika engkau pergi untuk sementara waktu.

Kini, ijinkan aku meminta maaf karena belum juga menjadi istri yang bisa kau banggakan, istri terbaik yang menyenangkan ketika dipandang, yang selalu patuh ketika disuruh. Ijinkan aku ucapkan terimakasih dan jazaakallah khairan katsira atas semua kebaikanmu. Dan tentu saja biarkan aku berkata dengan lantang kepada dunia bahwa: AKU MENCINTAIMU, KEMARIN, KINI, ESOK, DAN SELAMANYA, INSYAALLAH.

Hanya ini yang sanggup kuungkapkan, Allah tahu, masih banyak yang belum terucap, namun bukankah cinta itu soal rasa, bukan hanya kata?

With love


Bunda 

dibuat untuk memenuhi tugas IIP...
#NHW 3 IIP

PAK SAMIN

Selasa, Februari 07, 2017

Pak Samin. Aku dapat mengenalinya bahkan dari kejauhan. Topi lusuh hitam yang telah jadi kelabu. Tubuh legam dan berkerut merut dengan urat nadi serupa kabel bertonjolan di sepanjang lengannya. Rambut sewarna topi, juga mata hitam besarnya yang kenyang menjadi saksi peristiwa. Dari hijau kebun kakeknya yang jadi sumber pengidupannya sejak kecil, hingga datangnya buldozer yang kemudian meratakan rumah dan kebun itu dengan tanah.
Ketika ia mendekat, ia makin mudah kukenali, walau dalam gelap. Baunya yang khas. Jelas itu bukan aroma manusia kebanyakan. Ia bau sampah.
“Hei, Mat. Kapan datang?” sapanya dengan senyum samar.
“Baru aja, Pak.”
Ia melempar topi abu-abunya. Sambil berdehem, ia duduk berhadapan denganku, menumpukan tangan kanan ke lutut yang ditekuk.
“Gimana jualanmu?“
“Lumayan. Agak sepi.”
“Bawa apa itu?” Ia menunjuk keresek hitam di meja, yakin betul bahwa itu dariku.
“Cuma serabi, Pak.”
“Kalau ke sini, bawa diri aja. Lihat kamu sehat aja udah seneng. Uangnya ditabungin buat nambah modal.”
Aku meneguk ludah. Aku hanya ingin menyenangkan hatinya dengan oleh-oleh yang tak seberapa. Keuntungan jualan pernak pernik dengan gerobak dorong hanya cukup untuk menyokong hidupku sendiri. Uang sewa rumah petakan, makan, pulsa dan kebutuhan lain.
Ia melempar hawa berat dari hidungnya. Sedikit terengah dan payah. Di usia senjanya, ia masih mendorong gerobak bermuatan sampah dari komplek perumahan mewah tepat di sebelah rumah. Keringat bercucuran di dahinya yang kasar dan hitam terbakar matahari. Sang surya memanggang sempurna apapun yang menantangnya di tengah hari.
“Bapak apa kabar?” tanyaku sekedar membuka obrolan. Tentu saja, bergelut setiap hari dengan sampah tak mungkin membuatnya makin sehat. Lihatlah ia yang menua, bau, dan kotor. Ia sering limbung diserang sakit. Saat ambruk, barulah semua orang mencarinya, menyadari manfaat keberadaanya.
“Alhamdulillah...” jawabnya pendek. Ia meraih selembar potongan kardus dan mulai berkipas.
“Emak kamu masak apa?”
Aku menggeleng. Emak sibuk di dapur sejak kedatanganku.
Ia meraih sebungkus plastik dari meja kecil di sampingnya. Diambilnya empat butir obat dari bungkus yang berbeda, kemudian ditenggaknya dalam sekali minum.
Aku menunduk dalam, sambil menelan ludah yang terasa pahit.
Aku mungkin miskin, tak berpendidikan. Tapi nuraniku masih merasakan sakit melihat ironi ini. Ia telah renta dan rapuh, tetapi karena aku tak dapat diandalkan, ia bangun pagi benar dan mengunjungi tempat sampah setiap rumah, kemudian memilah-milah, lalu pulang setelah menjual sampah pilihan pada pengumpul. Ia masih hidup dari sampah, di samping tanah pekarangan bekas milik kakek yang telah berpindah ke tuan tanah.
“Minum obat hari ini, besok tempur lagi sama biang penyakit.”
Ia terkekeh, menertawakan nasib

Aku menelan takdir. Pahit.