Tentang Merasa Kehilangan
Senin, Maret 13, 2017
Perempuan paruh baya itu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang
seluruh jendelanya tertutup rapat. Ia masih mengenakan jilbab dan baju gamis
seperti hendak keluar rumah. Wajahya datar, ia tampak memikirkan sesuatu yang
serius.
Aku mengetuk pintu yang tembus pandang, tersenyum padanya yang mendekat.
“Apa, Dek?”
“Saya bawakan
kembang tahu.” jawabku seraya tersenyum.
Air mukanya tak berubah.
“Ngga usah, Dek.
Ngga usah...” ia menolak.
“Loh, kenapa?”
“Aku lagi chaos,
ngga usah....” ia terus mendekat ke arahku yang berdiri di depannya, sehingga mau tidak mau aku mundur menjauhinya.
Setelah sampai di pintu tempat aku masuk tadi, ia segera meraih gagang pintu dan
menutupnya kembali.
“Maaf ya, Dek.”
ujarnya.
“Oh, baik, Mbak.
Nggak apa-apa....”
Aku berniat pergi, namun sebelum itu kuletakkan kembang tahu di meja
dapur. Rupanya, ia melihat hal itu. Ia langsung menolak lagi dari balik pintu.
“Ngga usah, Ngga
usah!”
Tak ingin menambah keruh suasana, aku pun akhirnya pergi. Menemukan suaminya
di garasi, aku berkata: “Maaf Mas, aku tadi nengokin Mbak. Tapi, sepertinya Mbak
kurang suka saya temani.”
Ia tersenyum, meminta pengertian. ”Maafkan Mbak ya, Dek. Yang sabar....”
Aku hanya mengangguk..”Tidak apa-apa, saya mengerti kok, Mas.”
Kemudian dia berpamitan untuk pergi bekerja, meninggalkan istrinya yang
sakit dan bertingkah tidak seperti biasanya di rumah sendirian.
Sebenarnya, aku ingin bersamanya, sekedar menemani kesendiriannya. Aku khawatir
ia akan bertindak yang membahayakan diri. Sebab, dua minggu sebelumnya, ia
menyiram kaki dengan air mendidih, kemudian meninumnya pula. Pernah juga pergi
keluar rumah dengan setas penuh bawaan yang mau dibagikan ke orang-orang yang
telah dipilihnya. Padahal, jaraknya cukup jauh, sementara ia berjalan kaki.
Pernah, ketika memboncengnya, ia menyuruhku berputar balik sampai empat
kali. Ketika kutanya alasannya, ia menjawab bahwa memang harus putar balik
empat kali. Tidak boleh kurang atau lebih.
Ya Allah, melihatnya seperti itu, padahal ia seorang yang solihah yang
tak pernah absen berdzikir, mengaji, solat wajib dan sunnah, puasa, membuatku
sedih. Ia seorang yang sangat cerdas, bahkan waktu kuliah IPK-nya nyaris summa
cum laude ( 3,9 ). Ia begitu jauh, setelah selama ini dekat. Sakit yang mendera
sistem syarafnya membuat ia kehilangan kontrol atas dirinya. Tak mampu membedakan
yang nyata dengan halusinasi. Bahkan, terkesan apa yang dilakukannya seperti
menuruti perintah dari sesuatu yang tak kasat mata.
Entah apa saja yang telah dialaminya, yang jelas, dari kacamataku sebagai
orang di luar dirinya, mungkin ia berpikir terlalu berat, sementara ia “sendiri”
dan tidak menemukan orang yang tepat untuk bicara, menumpahkan isi hati atau
bertukar pikiran. Sehingga, ia tak sanggup lagi menanggung beban dan akhirnya
sakit.
Dalam keprihatinanku, aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya. Semoga
Allah selalu menjaganya dari mara bahaya, memberinya kesehatan serta kesembuhan
yang sempurna. Semoga ia kembali menjadi dirinya yang penuh senyum, ramah, dan
baik hati pada siapapun. Aamiin ya Allah....
6 komentar
Allahu...syafahaLlah
BalasHapusaamiin ya allah :(
HapusKisah nyata?
BalasHapusTerkena alzaimer atau psizoprenia?
Semoga segera disembuhkan
nyata kang...saya belum tau pastinya, yang jelas sakitnya mengganggu pengiriman impuls syarafnya :)
HapusYa Alloh, sedih banget bayanginnya
BalasHapusSyafakillah ... Mbak nyaa
BalasHapus