Sabtu, Juli 29, 2017

Report Game 2 Day 10

Tak terasa sudah hari kesepuluh latihan kemandirian untuk kedua anak saya. Alhamdulillah hari ini Mahira bangun pagi, sayangya masih harus saya bangunkan. Meski sudah di hari ke sepuluh, belum ada kemajuan yang signifikan dari kemandirian Mahira dalam hal bangun pagi. Saya akan melanjutkan latihan sampai bisa konsisten.
Demikian juga untuk Valya, yang seharian memakai diapers karena saya beberapa kali ajak keluar. Saya pun masih harus melanjutkan latihan untuk Valya sampai berhasil.

Sebenarnya, malu menuliskan ini, terasa benar kesungguhan saya diuji dalam melatih anak-anak sehingga seyogyanya saya mampu menunjukkan perubahan yang berarti di setiap harinya. Bukan malah tetap tak ada perubahan atau malah mundur.
Saya sungguh malu, saya akan perbaiki lagi insyaallah.

#day10
#level2
#tantangan10hari
#kuliahbunsayiip

Jumat, Juli 28, 2017

Report Game 2 Day 9

Alhamdulillah sampailah di hari kesembilan latihan. Sudah hari kesembilan tetapi masih belum konsisten hasil latihan kemandirian dua anak saya, Mahira dan valya. Mahira tadi pagi bangun persis jam enam, tetapi kabar baiknya sudah tidak dibangunkan ias bangun sendiri. Saya harus berusaha membuat alarm tubuhnya bekerja pada pukul 05.00 sehingga pada akhirnya ia akan bisa bangun sendiri pada pukul tersebut. Untuk Valya, sehari ini saya mengalah memakaikan diapers karena saya mengajaknya ke rumah neneknya. Kuatir membuat lantai rumah najis. Setelah itu saya pun masih saja keluar masuk rumah sehingga otomatis valya tetap saya pakaikan diapers. Sepertinya harus diulang dari awal dengan tidak ada agenda keluar rumah pada saat toilet training.

#day9
#level2
#tantangan10hari
#kelasbunsayiip

Kamis, Juli 27, 2017

Report Game 2 Day 8

Hari Kamis, 27 Juli 2017 bertepatan dengan digelarnya acara training jarimatika oleh IIP Surabaya. Saya kebetulan ikut acara yang diadakan di Surabaya tersebut. Mahira sudah saya sounding agar bangun lebih pagi karena saya akan ke Surabaya pukul 08.00. Meskipun tidak tepat waktu, tetapi Alhamdulillah ia bisa bangun sendiri. Valya hari ini praktis memakai diapers terus karena diajak pergi.

#day8
#level2
#tantangan10hari
#kuliahbunsayiip

Rabu, Juli 26, 2017

  Report Game 2 Day 7 Kelas BunSay IIP

Di hari ketujuh latihan toilet training ini , akhirnya valya mulai ada kemajuan. Dia sudah bisa ditatur, tetapi sempat kecolongan sekali, ia pipis di celana. Kabar baiknya, Alhamdulillah dia sudah mulai aware bahwa ia pipis di celana dengan cara merengek seperti meminta sesuatu, ternyata bukan minta sesuatu. Dia ingin menunjukkan celananya yang basah. Setelah itu saya bersihkan sisa pipisnya. Alhamdulillah berhasil tidak pake diaper dan tidak ngompol sampai menjelang ashar. Setalah itu, saya pakaikan diapers karena sy harus menjemput anak saya yang sekolah.

Untuk Mahira, Alhamdulillah bisa bangun jam 05.30. belum sesuai target tapi insyaallah sudah ada progres yang berarti.
Insyaallah esok akan lebih baik. Semangat!!!

Selasa, Juli 25, 2017

Hari keenam latihan kemandirian, Mahira berhasil bangun pagi Alhamdulillah...
Sayangnya hari ini penuh kesibukan di luar rumah (beli barang, kirim ke ekspedisi) jadi beresiko kalau valya ngga pake diapers.

Akhirnya mengalah deh, ngga pake diapers lagi. Masyaallah masih belum berhasil juga hingga hari keenam.
Evaluasi hati sepertinya yang saya perlukan. Sejauh mana saya siap melakukan latihan kemandirian ini untuk anak-anak. Niatnya kurang kuat :(. Bismillah, iya harus berhasil di sisa waktu yang tinggal sedikit.
#day6
#game2
#tantangan10hari
#kuliahbunsayiip

Selasa, Juli 25, 2017

Report Game 2 Day 5

Hari kelima ini, 24 Juli 2017, Alhamdulillah Mahira bisa bangun pagi, segera mandi dan solat subuh. Tetapi untuk Valya, masih sulit diatur sehingga dua kali mengompol di kasur dan masih saya pakaikan diapers ketika malam, sebab menghindari najis jika pipis di celana. Sampai hari kelima masih belum berhasil dengan baik training saya terhadap keduanya.
Semangat, insyaallah esok bisa lebih baik. Saya mencoba menggunakan reward untuk Mahira jika berhasil bangun pagi selama seminggu penuh. Tidak mahal-mahal, hanya es krim kesukaannya. Semoga ini menjadi penyemangat untuknya. Aamiin

#game2
#tantangan10hari
#day5
#kelasbunsayiip

Minggu, Juli 23, 2017

Report Game 2 BunSay IIP

Hari ini, 23 Juli 2017 bertepatan dengan acara penyerahan kakak Hisyam ke pesantren. Program latihan kemandirian untuk Mahira masih bisa dilakukan, meskipun terlambat tak sesuai jadwal ia bangun.
Untuk Valya, tidak bisa dilakukan karena sejak pagi jam 06.30 kami berangkat mengantar kakak Hisyam ke Malang, sehingga otomatis Valya selalu memakai popok sepanjang hari.
Bismillah, semangat untuk esok yang lebih baik!

#level2
#day4
#tantangan10hari
#kuliahbunsayiip

Bara

Minggu, Juli 23, 2017


Telah satu purnama sejak lelaki berkulit legam itu kerap datang di kelam malam. Almanak yang biasanya kulingkari merah masih belum terjamah. Agaknya hukum Tuhan berlaku pada dua sari pati kehidupan di dalam perutku: Kun fayakun!

Bagaimana jika hal itu benar terjadi? Seorang gadis delapan belas tahun mengandung sedang janur kuning belum pernah melengkung. Hendak disembunyikan di mana rupa ibuku?

Untukku yang melarat, tak ada sekat kuat yang menjadi batas antar peraduan. Tak butuh upaya untuk masuk ke bilik yang dindingnya tak lebih kuat dari bambu. Dengan benda tajam berkilat di tangan lelaki legam itu, apa lagi yang bisa kulakukan selain menyerah?

Seharusnya, aku lebih takut menjadi kotor daripada menjadi mayat. Tetapi, begitu cepat tanpa pernah diduga dosa itu terbuat. Siapa yang akan menaruh curiga pada sosok seorang ayah, bukan?

"Kalau kau mengadu, esok kau takkan melihat matahari!" ancamnya dengan seringai paling menjijikan. Ia melucuti pakaianku dengan buas seperti singa tak makan sebulan. Lalu ia berbuat sesukanya seperti yang mungkin dilakukannya pada ibuku. Betapa menjijikan. Bahkan mandi kembang tujuh rupa di sendang paling suci takkan mampu melenyapkan noda.

Segera setelah hasratnya puas, ia berjingkat kembali ke biliknya. Mendengkur seolah tak pernah terjadi apa-apa. Meninggalkanku yang termangu dalam kepungan sesal, marah, jijik, benci dan bara kesumat.

Aku mengutuk diri semalam suntuk. Mengapa tak kutancapkan saja belati saat ia tenggelam dalam pelukan? Tidak cukup beranikah untuk menghantamkan sebongkah batu ke batok kepala yang tak lagi berisi otak? Betapa pandirnya diri!

"Awas kalau kau mengadu, akan kubunuh ibumu!" Ia bisikkan mantra di sepagi buta ketika kumembuka mata. Kilat di matanya menunjukkan seberapa serius ia dengan ancamnya. Kupandang wajah ibuku yang menua, sungguh kasihan bersuamikan lelaki sakit jiwa sepertinya.

Oh, tidak. Dia bukan ayahku. Meski darahnya mengalir di tubuhku, takkan sudi kumengaku. Tidak, sejak ia mulai menjamahku sebagaimana petani menggarap sawahnya. Dia iblis dalam wujud manusia yang harus dipanggil ayah hanya karena ia mengalirkan darah di nadiku.

Masihkah layak disebut ayah jika ia ongkang kaki sementara istrinya serabutan bekerja? Ia cuma tahu makan dan meminta segala rupa. Masihkah ia pantas dipanggil ayah jika ia sanggup berkhayal menginginkan anaknya? Masihkah ia berhak digelari ayah sedang ia berbuat keji pada darah dagingnya sendiri?

Demi tuhan, aku takkan memaafkan. Bahkan jika ia bersujud di telapak kaki. Sebut saja aku si durhaka, aku tak peduli. Telah ia rampas kehormatan, maka akan kulemparkan derita padanya. Cukup adil, bukan?

#tantangankelasfiksi4


Kupu-kupu Setelah Kepompong

Minggu, Juli 23, 2017



                              pic: Pinterest.com

"May? Kamukah ini?"
Wanita berhijab pasmina itu meneliti setiap detail wajah May dengan seksama. Wajah yang lebih cantik dengan polesan make up ringan, berhias mata bulat, hidung kecil mancung, dan bibir tipis yang terlalu istimewa untuk dilupakan. Sarah yakin ia tak salah menebak perempuan anggun di depannya.

May terpana beberapa jenak sebelum binar terbit di matanya. Senyum merekah dari bibir peachnya dan dalam sekejap tangannya mengembang, bersiap memeluk.

"Saraaah!!! Ya ampun, apa kabar? Kok bisa ketemu disini? Sama siapa?" berondongnya dengan semangat.
Sarah melepas pelukan May setelah beberapa detik berpelukan dalam girang. Senyumnya mengembang hangat.

"Aku pangling, kamu sungguh..." Sarah berkomentar agak ragu.
"Beda, begitu?!" tebak May,"ya, aku paham. May si modis-stylish-full make up sekarang berhijab syar'i, kamu pasti ingin tahu ceritanya, kan?"

Sarah terbahak. Ceplas-ceplos May tak berubah sejak mereka berkawan di SMP.
"Ceritanya panjang, kamu yakin mau dengar?"
Sarah mengangguk.
"Kalau begitu kamu harus mentraktir dua-tiga cangkir kopi plus kudapan di cafe sebelah." May menarik tangan Sarah menuju ke area food court mall.

Sarah menurut, untunglah ia ke mall sendiri tanpa anak dan suami. Ia bisa meluangkan waktu berpuluh menit lagi untuk bercengkrama dengan kawan yang sudah puluhan tahun tak bertemu. Lima tahun lalu mereka bersua lewat grup Wattsap SMP, namun setelah itu May tiba-tiba menghilang.

Sebuah meja di pojok ruangan cafe dipilih May. Mereka mulai asyik mengobrol lagi setelah sibuk memesan kopi.
"So, dari mana kita mulai ceritanya?" goda May.
Sarah tertawa, "As you wish, Dear..." jawabnya.

May menerawang, menyelami lautan kenangan paling berkesan dalam hidupnya untuk ia ceritakan.
#
"Seharusnya akulah yang jadi manajer, bukan dia!" teriak May tepat ketika kakinya menginjak ruang tamu. Teriakannya memecah kedamaian sore itu. Ia membanting pintu kamar, melempar tas, kemudian menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur. Isak kecil tertahan mengisi kekosongan ruangan 3x3 itu.

Mahdi membuka pintu perlahan. Dari gelagatnya ia tahu sang istri tengah lara. Mahdi berjingkat menuju peraduan, mencoba hadir di saat May membutuhkan dirinya.

"Kepala cabang sudah memutuskan? Ternyata bukan kamu yang diangkat jadi manajer?" tanya Mahdi hati-hati.
May bungkam, Mahdi paham. Isak wanita semampai itu makin  berat.
"Kamu pasti sangat kecewa ya, Sayang." Mahdi mengelus punggung May. Mencoba empati meski saat ini pun hatinya tak kalah kecewa. Tetapi, May butuh bahu untuk bersandar, bukan luapan keluh kesahnya saat ini. Biarlah berita kerugian ratusan juta yang tengah dialaminya ia simpan sejenak.

"Bayangkan, Mas. Aku lebih senior dan aku tak kurang dedikasi pada perusahaan. Banyak yang sudah kukorbankan untuk perusahaan, tetapi semua tak ada nilainya dibanding pesona sarjana lulusan PTN yang katanya ternama itu, anak bawang yang baru setahun berkerja!"

Mahdi mengangguk kecil.
"Aku kandidat terkuat, beberapa bulan lalu Manajer HRD pernah memintaku bersiap untuk menggantikan posisi Bu Yeni, manajer lama. Tapi faktanya, anak kemarin sore itulah yang diangkat sebagai manajer baru."

Mahdi menghela nafas. May layak kecewa setelah apa yang didedikasikannya sejak delapan tahun lalu ketika mulai merintis karir sebagai teller di bank tempatnya berkerja. Ia tak pernah berharap menduduki jabatan tertentu, bekerja penuh semangat dan pengabdian hingga digadang-gadang naik jabatan. Semua terasa lancar dan seperti seharusnya sampai datang seorang fresh graduate yang mengalahkan pamornya.

"Aku merasa dipecundangi. Aku ingin keluar dari perusahaan. Ini ngga adil!"
Mahdi menatap mata istrinya lekat. Ia tahu May hanya sedang emosional. Namun, jika benar yang dia katakan, Mahdi takkan kesulitan untuk mengajak May mengikuti rencananya ke Jakarta. Ini akan jadi momentum yang tepat untuk mereka memulai hidup baru.

"May..." panggil Mahdi pelan.
May yang masih berbalut busana kerja larut dalam isak. Berton-ton sesak ditumpahkannya lewat tangis.
"May, aku tahu ini bukan saat yang tepat. Tapi, kalau kau tak berubah pikiran, aku setuju kamu resign, kemudian kita bisa pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini dan memulai hidup baru. Bagaimana?"
Isak May terhenti. Ia bangkit, matanya menatap Mahdi tajam dengan dahi berkerut.
"Maksudmu?" selidiknya heran.
"Ayo, kita hijrah ke Jakarta!"
Mata May nanar. Meski terdengar tak masuk akal, ada sisi hati May yang setuju dengan ide konyol suaminya. Semacam ide menghilang dari peredaran bagus juga, pikir May emosional.

Tetapi itu ide yang  konyol, sebab baru sebulan lalu Mahdi menggelontorkan modal untuk mengembangkan usaha. Belum terlihat hasilnya, kini ia berkata akan pindah dan memulai usaha baru. Apa-apaan ini?!

"Tapi, kenapa? Bagaimana dengan bisnismu?" May menginterogasi.
Mahdi terdiam, ia ragu antara mengatakannya sekarang atau nanti. Tetapi, cepat atau lambat pun Mahdi harus mengabarkan kondisi usahanya yang telah bangkrut.
"May..." ucap Mahdi pelan,"...aku bangkrut!"

May ternganga. "Apa?!" pekiknya tak percaya. Bisnis keluarga yang ditangani Mahdi telah berlangsung puluhan tahun. Asam garam pengalaman usaha telah dialami Mahdi, biasanya ia dapat melewatinya dengan baik. Dan, kini dia bilang bangkrut?

Kepala May berdenyut, nyeri. Semuanya terasa tiba-tiba dan mengagetkan. Pandangan perempuan itu  kabur, lalu ia merebah pasra.
#
Seminggu berselang...

"Kalau kamu ragu, jangan kamu teruskan, May. Biar aku saja yang merantau ke Jakarta. Kamu bisa cari kerja yang lain atau surat resign itu tidak usah kamu ajukan."
May menghela napas berat. Sejujurnya, hatinya gamang. Tetapi, ia hampir tak punya pilihan. Kembali bekerja di kantor lama sama dengan membuka luka yang ingin ia sembuhkan. Apalagi dengan kondisi finansial yang makin terpuruk, bertahan di sini bisa membuatnya mati gaya. Bukan hal mudah mengubah gaya hidup kekinian menjadi sebersahaja mungkin.

Namun, ia pun sadar, hijrah ke Jakarta bukan pilihan mudah. Jakarta bukan kota yang ramah, apalagi suaminya baru akan membuka usaha di sana. Ia sadar akan resiko hidup kekurangan.

May terbiasa hidup berkecukupan, meski begitu ia tak alpa pada janji setia pada Mahdi, membersamainya dimana pun, kemana pun. Tak ia sangka, janji yang dulu terdengar mudah diucapkan, menuntut bukti justru pada saat suaminya tengah bangkrut. Rekan bisnis menipu Mahdi, membawa kabur semua modal termasuk pinjaman hutang dari bank atas nama Mahdi. Mahdi menanggung hutang besar tanpa sepeserpun uang di tangan.

"Maafkan aku, Mas. Ini tidak mudah kulalui. Tetapi, jangan kuatir, aku bukan seorang yang ingkar janji." hibur May lirih. Mahdi memeluk bahu May penuh haru. Ia tak menyangka keadaan begitu kontras sejak pertama kali menikah hingga ia tertipu rekan bisnisnya beberapa waktu yang lalu. Dari yang serba ada, kini bahkan mereka tak tahu harus menyambung hidup dengan apa. Meski May menawarkan tabungannya selama bekerja, Mahdi tak yakin sampai kapan mereka akan bertahan.

"Kau yakin tidak akan meminta bantuan Bapak? Atau saudaramu, Mas?"
Mahdi menggeleng yakin. Mahdi sudah sering merepotkan mereka. Keputusannya ekspansi bisnis sebenarnya belum matang, tetapi ia tergiur proposal kerjasama bisnis yang ditawarkan teman lamanya sehingga ia tetap meneken kontrak meskipun ayah dan saudaranya melarang. Bukan kesatria kalau tak mampu bertanggungjawab atas tindakannya.

"Kalau begitu, aku akan mendukungmu. Berjanjilah padaku, kita akan pulang dengan kebanggaan!"
Mahdi menatap mata bundar May yang sendu menahan luapan rasa. Mahdi berpikir sakit hati May pada rekan sekantornya sangat kuat sehingga ia merasa sanggup memulai hidup baru di Jakarta, padahal May tak mengenal kata kepayahan dalam hidupnya. Mahdi bergidik membayangkan bara yang membakar hati May.
"Aku janji, May. Kesusahan ini tidak akan lama, aku janji!"

May tersenyum kecut. Benaknya memutar pemandangan jalan berkelok yang terjal dengan jurang di kanan kirinya. Ia melihat dirinya di sana, tertatih di belakang sang suami. Di belakang May, tiga anak mereka yang masih kecil mengekor.

Ini tidak mudah, tapi bukan tak mungkin untuk dilakukan, tepisnya yakin. May bangkit, saatnya menyerahkan surat resign dan menantang kehidupan setelah itu.
#
Hidup seperti roller coaster yang menegangkan. Naik-turun, berbelok dengan cepat sebelum kita menyadarinya. Begitu menghentak hingga May tertegun mendapati kehidupannya kini begitu kontras dengan beberapa bulan sebelumnya. Ketika ia di puncak pencapaian, populer, eksis di dunia maya, cantik, berkelas, hidup cukup bahkan berlebih dengan suami yang melimpahinya cinta dan materi yang begitu besar. Ia semakin percaya diri dengan pekerjaan mapan di sebuah bank terkenal di negeri ini. Begitu banyak mata yang iri pada posisinya saat itu.

May tak terlalu yakin apakah mereka masih cemburu pada kepadanya saat ini. Suami tak punya pekerjaan tetap, bisnisnya hancur, bahkan kini mereka terasing di sebuah tempat yang tak diketahui siapapun. May tak lagi bekerja, ia kini hanya mengurus ketiga buah hatinya. Bertahan hidup dengan tabungan yang kian menipis. May tak lagi eksis, ia malu dan menutup diri dari teman-temannya meskipun di dunia maya.

May mengasingkan diri...
Sungguh dunia yang bukan dirinya. Ia tak seharusnya berada di sini. Hati May berontak di tengah rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga yang tak ada habisnya. Harga dirinya tercabik, koyak moyak.
Sementara Mahdi tak menyerah pada nasib. Siang malam bekerja membangun bisnis barunya di kota yang bengis. Ia tak lagi sempat berlama-lama berkumpul dengan keluarganya.

May sepi, terasing dan kosong. Di tengah kegalauan, terkadang godaan datang. Seorang nasabahnya yang kaya raya menanyakan kabar lewat SMS. Awalnya dia simpati pada musibah yang dialami May. Tetapi, tetap saja lelaki yang kerap merayunya itu ternyata punya tujuan lain. Ia menggerogoti keteguhan May pada suaminya dengan iming-iming kehidupan berlimpah materi. Lelaki itu, tak jauh beda usia dengan May, di usia kepala tiga tentu sedang panas-panasnya.

May tak memungkiri, lelaki itu begitu memikat. Sialnya tidak hanya satu, melainkan banyak. May yang tinggi semampai, dengan wajah cantik seperti keturunan Arab, ditambah keramahan yang terlatih sebagai teller bertahun - tahun cukup untuk membuat lelaki berpenyakit hati jatuh cinta padanya. Berangan memperistrinya padahal ia sudah bersuami. Bukan lelaki kalau menyerah, di saat Mahdi bangkrut mereka datang bak pahlawan, dengan misi menyelamatkan hidup sejahtera May.

May di antara kegalauan yang rumit. Mahdi yang sibuk hampir tak punya waktu untuknya, ia yang kelelahan mengurus keluarga dalam kekurangan materi, kebat kebit mengendalikan lintasan hati agar tak menyalahi sumpah setianya pada sang suami di tengah rayuan lelaki muda nan mapan.

Ia berjalan terseok sendiri. Setan tak rela ia hanya kepayahan sampai di situ saja. Ia meniupkan api dendam pada nasib dan kecewa pada takdir karirnya. Ingin May berteriak sejadinya pada dunia, ia layak untuk penghargaan yang jauh lebih baik.

May merapuh....
Ia tenggelam dalam sesal, kecewa, marah, benci, sedih dan angan-angan akan kejayaan masa silam. Ia sibuk mencari bahagia dengan hiburan dari dunia maya. Video, lagu, film, apapun.

Sampai  suatu ketika, saat berseluncur di dunia maya, lewat perantara sebuah ceramah dari Ust. Yusuf Mansur, May menemukan telaga yang membasuh kering hatinya. Menyirami jiwa yang gersang, mengobati galau dan luka dalam sanubari. Untuk pertama kalinya, May tergugu dalam sesal. Betapa ia begitu jauh dari Allah, hidup bukan dalam aturan-Nya.
#
Sejak mengikuti ceramah ustadz di chanel pribadi sang ustadz, May mulai belajar membenahi diri. Meski ia sebelumnya telah berjilbab, namun masih belum sempurna menutup lekuk tubuhnya. Pun gaya hidupnya yang gaul, mengikuti tren mode, bahkan ia bekerja dan mendapat penghasilan dari institusi riba.

May mulai menyadari kesalahannya. Ia bersungguh-sungguh mengamalkan nasihat sang ustadz dengan amalan utama seperti solat di awal waktu, Dhuha, tahajud, puasa Daud, dan sedekah. Ia menata hatinya agar tetap kukuh pada kesetiaan.

Ajaib, May menemukan damai dan ketenangan luar biasa setelah menjalani riyadhah yang dianjurkan ustadz. May merasakan kebahagian menyelimuti hati, ia tak lagi gundah dan takut akan masa depan. Ia yakin dan pasrah akan ketentuan Allah atas dirinya.

Keyakinan yang berbuah pada ikhtiar untuk membuka usaha gamis syar'i. Allah seperti memberinya jalan dan petunjuk untuk memilih usaha tersebut untuk digelutinya. May yang modis dan stylish menemukan passion di fashion muslim. Sejalan dengan hijrahnya menjadi muslimah berpenampilan tertutup nan syar'i.
#
"Jadi, sekarang aku sedang bicara dengan seorang desainer dan owner butik yang omsetnya jutaan, nih?" Sarah menggoda. May terbahak. Ia menggeleng.

"Tidak, lah. Aku baru merintis. Belum seattle, tapi alhamdulillah lancar dan berkembang terus."
"Bagaimana dengan Mahdi?"
"Oh, Alhamdulillah bisnisnya berjalan lancar. Sedikit demi sedikit bangkit."
Sarah tersenyum lega. May yang gaul, kekinian, modis stylish, populer, cantik dan kaya, kini berubah layaknya kupu-kupu setelah kepompong. Tak hanya busananya, pemikiran dan ucapannya sejuk, penuh petuah kebaikan, dan makin lurus.

"Terkadang kita harus menelan pil pahit agar sembuh dari sakit. Aku bersyukur pernah diberi pil pahit oleh Allah agar aku sembuh dari penyakit, baik hati maupun jasadku.. "
"Alhamdulillah, aku sungguh senang mendengarnya, May."
"Takdir tak pernah salah. Aku bersyukur Allah menyayangiku dengan memberi cobaan yang membuatku terangkat dari kubangan  riba. Kalau tidak hijrah ke Jakarta, aku tidak tahu apakah bisa menemukan hidayah atau malah terpuruk dalam dosa. "

Pelayan cafe membawakan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Aromanya menggelitik penciuman keduanya. May dan Sarah meneguk kopi dengan antusias.
"May, bolehkah aku menuliskan kisahmu?"
Mau tertegun beberapa jenak. "Tentu saja boleh. Tapi, tidak ada yang istimewa."
"Itu menurutmu, tapi tidak untukku yang mengenalmu sebelum ini."
May tersenyum lebar, kemudian mengangguk.

Hijrah adalah tentang berubah menuju Allah, mencari ridha-Nya, mengharap jannah-Nya.
#
Sidoarjo, Juli 2017
Ditulis untuk memenuhi tantangan bertema hijrah. Cerita ini disarikan dari kisah nyata.


Sabtu, Juli 22, 2017

Report Game 2 Day 3
Alhamdulillah, hari ketiga ini berjalan lancar. Mahira bisa dibangunkan pukul 5.30 pagi dan Valya seharian bisa lepas popok. Sayangnya, Valya masih belum mau diatur. Hanya sekali tatur yang berhasil. Walhasil masih pipis di celana beberapa kali.
Dengan persuasi terus insyaallah Mahira akan bangun pagi dan dengan latihan terus Valya akan bisa diatur insyaallah.
#game2
#day3
#tantangan10hari
#kelasbunsayiip

Kamis, Juli 20, 2017

Report Game 2 Day 2

Hari ini, ternyata tidak lebih baik dari kemarin karena saya pun belum bisa membuat Mahira bangun di waktu subuh. Begitu pun Valya yang sedang saya latih toliet training, hanya bertahan sampai Dzuhur, selepas itu Valya memakai popok lagi ( kebetulan kami pergi keluar dan tidak mungkin membawa Valya tanpa popok). Itu pun Valya masih pipis di celana karena saya terlambat mentatur.

Saya rasa, seharusnya memang tidak ada agenda pergi jika sedang toilet training. Dan untuk case Mahira, saya harus menggunakan cara lain untuk membangunkan, mungkin dengan segelas air dicipratkan supaya mudah bangun.
Semangat, semoga esok lebih baik lagi.

#day2
#level2
#tantangan10hari
#kuliahbunsayiip

Rabu, Juli 19, 2017

Report Game Level 2 IIP

BismiLlah...

Sebenarnya ini hari kesekian latihan game level 2 tentang kemandirian, dalam hal ini kemandirian pada anak kedua dan ketiga saya. Tetapi, saya terlupa untuk melaporkan via blog. Jadi, saya anggap ini latihan pertama saya dalam menanamkan kemandirian pada anak-anak.

Ada dua kemandirian yang saya ingin latih pada kedua anak saya. Pada anak kedua saya yang berusia 10 tahun, saya ingin melatih kemandirianya dalam hal bangun pagi minimal pukul 5 pagi. Sementara untuk anak ketiga saya ( 2,5 tahun) saya ingin melatih toilet training ( tutup muka karena sebenarnya sudah terlambat, hiks ).

Sebelum saya melaksanakan latihan, saya sounding dulu pada anak-anak akan apa yang saya inginkan. Pada hari pertama ini, anak kedua saya (Mahira) masih belum bisa bangun pada waktu subuh, meskipun saya sudah membangunkannya. Dia hanya terbangun sendiri sebentar kemudian tertidur lagi. Ketika pukul enam barulah ia bangun dan mandi. Dia beralasan masih ngantuk. Saya katakan padanya bahwa ngantuk harus dilawan karena itu bukan alasan. Bagaimana jika Mama beralasan mengantuk dan tidak mau bangun untuk mengurus keluarga? Atau guru tidak mengajar karena ngantuk.
Semoga  esok Mahira bisa bangun sesuai waktunya.

Pada anak ketiga saya (Valya) toilet training saya mulai setelah dia bangun dan mandi pagi. Saya lepas popok kemudian membawanya ke toilet untuk pipis, begitupun setelah sejam kemudian saya tatur kembali. Sampai setelah tidur siang, saya berhasil menerapkan latihan ini. Namun setelah bangun tidur siang, Valya tidak mau pipis karena masih belum on setelah bangun meskipun sudah saya tatur di kamar mandi. Akhirnya, karena saya pun harus keluar rumah dan ayahnya yang menangani Valya di rumah (ayahnya tidak mau ambil resiko pipis di celana), sehingga saya mengalah memakaikan valya popok lagi sampai malam menjelang tidur. Saya belum berhasil pada hari pertama ini.

Kalau boleh jujur, faktor dukungan suami dalam menerapkan latihan toilet training masih belum 100% sehingga membuat saya masih harus mengalah. Sementara pada latihan untuk Mahira, faktor kesungguhan Mahira untuk berubah masih belum kuat, saya harus memberinya motivasi agar ia sanggup melawan kantuk. Demikian report Game Level 2 saya, semoga Allah mudahkan saya untuk berlatih esok. Aamiin.

#level2
#tantangan10hari
#day1
#Kelasbunsayiip


DEADLINE

Minggu, Juli 16, 2017



                       Pic: Thinkstock
"Aargh! Setengah jam lagi!"
Rei menjambak rambut, mengetuk batok kepalanya agar sumbatan di sel-sel syaraf otaknya mencair. Sudah sejam ia berkutat dengan laptop dan catatan kecil di hadapannya, tetapi, hasilnya nihil. Monitor laptopnya masih melompong kosong.

Bunyi notifikasi handphone menyusul, meminta perhatian segera. Rei tahu pasti kalau Nai, pemimpin  redaksi, akan menghubunginya menjelang deadline berakhir tengah malam ini.

"Rei, belum ada email masuk darimu ya, Dear!" bunyi pesan masuk tersebut.
Rei melempar handphonenya ke kasur. Nai terus mengingatkan agar Rei menyelesaikan naskahnya. Dan, hal itu membuatnya pusing. Kenapa Nai tidak diam dan menunggu saja daripada terus membanjiri handphone Rei dengan pertanyaan yang sama, pikir Rei.

Rei meraih sehelai tisu, menyeka hidungnya yang dua hari ini diserang flu. Terlalu sering diseka, hidungnya memerah. Gatal dan sulit bernafas karena pilek. Mampet.
"Oh ide, pada kemana kalian, sih?" rutuknya kesal.
"Sebentar lagi jam dua belas malam, waktu pergantian hari, bahkan Cinderella pun sudah akan pulang!" keluhnya.
"Tapi, aku belum menulis apapun!"

Ia sangat sibuk melebihi jadwal protokoler presiden, mulai dari kuliah, terlibat kegiatan organisasi, bantu teman, hingga nyambi jadi freelancer tulisan seperti sekarang ini. Ia tak pernah bermasalah dengan ide kecuali malam ini, ditambah hidungnya pun turut berdemo, macet.

"Jika aku tak mengirim tulisan malam ini, tamatlah karirku sebagi freelancer!"
"Sekarang waktu terus berjalan, lalu aku harus menulis apa?" racaunya dengan wajah memelas. Matanya berair karena gatal dan mampet pada hidungnya.

Aku iba padanya, ia butuh bantuan. Ia tak boleh berakhir, ia sangat berbakat.

"Tulis saja tentang kita, Rei."
Rei terkesiap. Ia mencari-cari sumber suara yang membuatnya merinding. Bagaimana tidak, ia selalu sendiri selama ini di dalam kamar kosnya. Tetapi, ia baru saja mendengar seseorang atau sesuatu bicara. Suaraku.

"Siapa kau?!" tanyanya waspada.
"Aku, kegundahanmu , Rei!"

Rei bangkit, wajahnya menegang, tangannya bersiap memasang kuda-kuda.
"Siapapun kamu, keluar kau!"
"Apa kau yakin, Rei? Aku sangat besar dan buruk rupa."
Wajah Rei pias. Tangannya bergetar menahan takut yang menyusupi hati.

"Aku tidak percaya! Keluar sekarang juga, jangan pengecut!"

Aku benci kata pengecut! Dasar konyol, ia penakut tetapi berpura-pura berani. Maka, tak peduli apapun reaksinya nanti, kutampakkan wajah dan tubuh di depan mata Rei. Benar saja, tidak butuh waktu lama untuk membuat gadis tomboi itu lunglai dan rebah ke bumi.

Kumenyeringai, kemudian asyik mengolah huruf menjadi kalimat dan tulisan. Mengirim ke seseorang dan selesai, tugasku kelar.

Sebuah notifikasi pesan baru masuk ke handphone Rei. Dari Nai, beberapa detik yang lalu.
"Thanks Rei, artikelmu sudah kuterima! Siap untuk naskah berikutnya ya!"

Sementara, Rei masih lelap memeluk bumi.

#tantangankelasfiksi1

Mind Mapping

Jumat, Juli 14, 2017

Mengembangkan Ide dengan Mind Map

*Sebuah Ringkasan Materi 2 Kelas Fiksi Odop*

Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas mengenai trik untuk mendapatkan ide dari berbagai sumber inspirasi di sekitar kita. Langkah selanjutnya adalah bagaimana agar ide yang terpikirkan bisa direalisasikan menjadi sebuah tulisan. Langkah pertama adalah dengan membuat mind map.

Mind map atau disebut juga peta konsep berfungsi sebagai rel agar cerita yang akan dibuat tidak melenceng kemana-mana. Mind map biasanya masih berupa coretan kasar yang hanya diketahui oleh penulisnya. Isi mind map adalah ide dan pengembangan ide tersebut yang dibuat dengan cara menuliskan ide di tengah (pusat), sementara pengembangan ide dibuat menyebar radial sebagai cabangnya. Tidak harus berupa  gambar, mind map bisa juga dinyatakan seperti premis, tetapi premis yang dipanjangkan (lebih lengkap).

Karena masih berupa coretan kasar, sangat mungkin berubah pada saat menuliskannya, bisa jadi karena munculnya ide baru yang lebih menarik, misalnya. Hal tersebut sah-sah saja. Bagi penulis yang sudah piawai, mind map pertama yang dibuat seringkali malah dianggap sampah karena setelah dilakukan pengembangan ide, coretan awal tersebut malah berubah sama sekali sehingga tidak terpakai.

Setelah menyusun mind map, ekplorasilah mind map tersebut dengan cara membongkar kembali sampai dirasa mendekati final. Sampai di langkah ini, mind map tersebut bisa dikatakan siap untuk dikembangkan menjadi kerangka cerita yang lebih detail.

Kerangka cerita berisi eksplorasi ide yang lebih detail dan lengkap bahkan hingga ke penjabaran karakter dan tokoh ceritanya. Jika kerangka cerita sudah selesai dikerjakan, maka pekerjaan selanjutnya adalah mulai menuliskan cerita sesuai kerangka yang sudah dibuat.

Bagaimana? Mudah bukan? Dengan berlatih membuat mind map, lambat lain akan terbiasa dan mahir. Demikian materi kedua kelas fiksi odop yang disampaikan Uncle Achmad ikhtiar pada Rabu, 12 Juli yang lalu. Semoga bermanfaat, selamat bereksplorasi!

#kelasfiksimateri2
#odop

Selasa, Juli 11, 2017

How to Catch the Idea and Get the inspiration

*Sebuah Ringkasan Materi Kelas Fiksi Day 1*

Bagi penulis, ide dan inspirasi adalah kebutuhan pokok. Tanpa ide, tidak akan ada tulisan. Ide dan inspirasi menjadi bahan baku utama sebuah tulisan, dengan ramuan, teknik, dan bumbu-bumbu penyedap lahirlah tulisan memikat pembacanya.

Ide dan sumber inspirasi sebenarnya bertebaran sejauh kita memandang, setajam penciuman, sekuat pendengaran, dan sepeka perasaan kita terhadap sesuatu. Pendeknya, semua hal, benda, kejadian, bisa jadi sumber inspirasi. Jika diklasifikasikan, ada tiga faktor sumber inspirasi yaitu internal, eksternal, atau kombinasi keduanya.

Faktor internal berasal dari kegelisahan yang dirasakan oleh penulis terhadap suatu hal. Faktor eksternal lebih banyak lagi, contohnya kejadian sehari-hari, benda, foto, musik, film dll.

Jika sumber inspirasi begitu banyak, mengapa masih banyak yang mengeluhkan tidak menemukan ide? Hal itu disebabkan karena kurangnya kepekaan dalam menangkap ide. Salah satu tugas penulis adalah menyuarakan keadaan. Jika ia tidak peka, ia takkan menghasilkan apapun, meskipun sumber inspirasi terhampar di hadapannya.

Kalau begitu, yang perlu dilakukan adalah dengan mengasah kepekaan terhadap sekeliling kita. Mari lihat benda-benda di sekitar kita, ambillah satu contoh misal bantal. Mari kita coba asah kepekaan dengan memikirkan: bagaimana jika bantal itu adalah bantal kesayangan milik seseorang yang sebentar lagi akan pergi ke luar negeri untuk kuliah dan bantal tersebut tidak boleh dibawa serta. Bantal yang sejak kecil telah menemaninya meskipun sudah kumal, bau dan tak berbentuk itu kini harus ditinggalkan. Apa kira-kira perasaan si bantal dalam situasi tersebut? Alih alih memikirkan perasaan si pemilik bantal, kita malah memikirkan perasaan si bantal.

Nah, disini terjadi pergeseran obyek pencerita tulisan. Biasanya kita lah yang menjadi obyek pencerita tulisan, sekali-kali ubahlah menjadi benda yang menjadi obyek pencerita dalam tulisan kita. Era literatur sekarang kabarnya adalah tentang  how to live the unlive and how to kill the undeath. Jadi, buatlah cerita dimana bantallah yang bercerita, bukan kita yang bercerita.

Sumber inspirasi yang tak kalah kayanya adalah foto. Foto adalah media yang tidak dibatasi oleh kata, lirik, musik, atau gambar. Beragam interpretasi bisa muncul dari sebuah foto yang sama.

Sampai di sini, kita sudah mendapat sumber inspirasi dan ide. Lantas bagaimana cara menuliskannya? Kesulitan muncul ketika menuliskan ide tersebut. Bisa karena kendala waktu, kosakata, atau ilmu untuk menuangkan gagasan yang mandek. Untuk mengatasi hal tersebut, cobalah untuk menempatkan konflik cerita di awal agar memikat pembaca, bukan di akhir cerita seperti pada umumnya. Buatlah konflik yang berat, tidak biasa, atau yang original sehingga cerita benar-benar menarik. Jika perlu tambahkan bumbu ending twist Dimana konflik tidak jelas apakah sudah selesai atau belum.

Demikian ringkasan materi kelas fiksi yang disampaikan oleh uncle Achmad Ikhtiar dalam kelas fiksi day 1 odop (dengan penambahan seperlunya). Semoga setelah selesai kelas ini, mendapatkan ide bukan perkara sulit lagi. Selamat berimajinasi dan menghasilkan cerpen yang menjerat hati pembaca!

#Odop
#ringkasanmaterikelasfiksi1
#10Juli2017



Senin, Juli 10, 2017

Untuk Mereka Yang Pergi

                    Pic: pinterest.com

"Maaf, aku harus pergi...."
Lagi? Rasanya baru kemarin kulepas seorang adik dan dua orang sepupu. Kini, engkau pun hendak berlalu. Seorang kakak....

"Ada apa gerangan?" tanyaku.
"Tak apa, aku hanya butuh sendiri. Rumah ini terlalu sesak, berisik, dan banyak percakapan yang tak bisa kuikuti. Aku perlu ketenangan agar bisa berkarya."
"Selama ini kau berkarya dari dalam rumah ini, kau bohong! Bukan itu alasannya!" tukasku. Ia membalas dengan tatapan dalam.

"Aku hanya merasa asing. Itu saja." katanya kemudian.
Aku tertegun sekian detik lamanya. Asing?
"Untuk seorang kakak yang selalu menyapa setiap pagi dan menasehati kami dengan petuah kebaikan, asing adalah kata yang aneh..." bantahku, "kau ada di tengah kami. Ya, mungkin kau tidak terlibat obrolan seru kami, tapi jelas kau ada."

Ia tersenyum kecil.
"Aku sudah coba bertahan dengan ragam sifat dan obrolan kalian yang aneka rupa itu, tapi tetap aku semakin merasa terasing, sendiri dan...sepi."
"Apa pergi adalah solusi?"
"Bisa iya, bisa juga tidak." katamu sangsi.
"Kau mau kemana? Rumah baru kah?"
"Aku selalu ada di sekelilingmu. Jangan khawatir. Kita masih bisa bertemu, masih bisa ngobrol, dan tentu saja, aku akan selalu menunggu karyamu. Jika bukumu terbit, aku yang akan pertama kali membelinya!" ujarnya seraya menepuk bahuku.

"Jangan pergi, kumohon!" pintaku, meski sepertinya mustahil mencegahnya di saat ia sudah berkemas.
"Kudengar ayah dan ibu akan membuatkan rumah untuk anak asuh yang baru, bergembiralah! Saudara baru akan datang meramaikan keluarga kita!"
"Kau mengalihkan pembicaraan!"
Ia tertawa kecil. Lalu, mengacak rambutku gemas.
"Sudahlah, pertemuan dan perpisahan itu pasti dalam hidup. Kau harus membiasakan diri."
"Kau akan tetap menulis?" tanyaku.
"Kau bercanda! Menulis adalah hidupku."
"Kau tega!"

Ia menarik nafas panjang. Menghembuskannya perlahan.
"Aku sayang kalian, tapi, maaf, aku harus pergi!" ucapnya lirih, sambil menenteng tasnya tanpa menoleh lagi padaku.
"Maukah kau berjanji padaku?" tanyanya.
"Apa?"
"Berjanjilah kau akan tetap menulis."
"Di rumah kita atau dimana pun dirimu, tetap menulislah. Menulis dari hati, karena panggilan jiwa. Menulis dimana pun kapan pun, meski seorang diri!" sambungnya bersemangat.

Bulir bening bersusulan menyusuri pipi. Aku pernah merasa ini akan terjadi. Tapi tak pernah menyangka akan benar terjadi.
"Kakak!"
Ia melambaikan tangan kanannya, tanpa menoleh lagi.
"Aku akan merindukan kalian!" teriaknya parau.
Malam kesepian tanpa bintang. Pun hatiku.

Kuberjanji, ini akan jadi perpisahan terakhir. Takkan ada lagi selamat tinggal dan kehilangan. Bismillah, Insyallah.

CINCIN

Sabtu, Juli 08, 2017



            pic: ljbitzki.deviantart.com

"Terlambat! Aku sudah membunuhnya!" desis Meera hampir tak terdengar.
Kemudian, daun kering berguguran, seiring malam menjelang. Desau angin berbisik, yang terasa asing dalam pendengaran Neera.
#
Meera tengah membolak-balik tumpukan buku di kamarnya ketika Neera datang.
"Kau mencari apa?"
"Cincinku."
"Dimana terakhir kau menyimpannya?"
"Entahlah, tapi aku rasa di lemari gantung di depan kamar mandi," ia menoleh ke arah Neera,"apa kau melihatnya?"
Neera menggeleng pasti.

"Aku sudah mencari ke semua sudut rumah, tapi belum ketemu,"
"Termasuk ke kamarku?"
Meera berhenti. "Apa kau pikir aku menuduhmu?"
"Tidak, bukan begitu. Maksudku, kau boleh melakukannya."

Meera kembali mencari.
"Kau sudah tanya Mama?"
"Sudah, Mama pun tak tahu." jawabnya enggan, "aku rasa, hanya satu tersangka yang paling mungkin melakukanya. Mia!" lanjutnya yakin.
"Mia? Apa kamu gila? Untuk apa dia mengambil cincinmu?"
"Dia sangat suka semua benda berbentuk bulat. Lihat saja semua barang miliknya, semua bulat!"
"Itu karena Mama yang membelikan. Mia tidak pernah meminta!"
"Neera, di rumah ini hanya aku, kamu, mama dan Mia. Mia penghuni baru yang belum aku kenal dan dia bukan saudaraku. Hanya dia yang mungkin mengambil cincinku!"

"Kamu tidak punya bukti, Meera!"
"Buktinya dia selalu tertarik pada benda berbentuk bulat, semua benda miliknya bulat, apa lagi?"
"Meera, cincin itu hanya terselip di suatu tempat, aku yakin!"
"Aku sudah memeriksa semua tempat Neera, sampai hampir gila."
"Aku akan membantumu mencarinya. Aku yakin ia hanya terselip." tukas Neera menyudahi perdebatan.

"Meera. Seberapa penting cincin itu untukmu?" tanya Neera sebelum berlalu.
"Ya Tuhan, Neera! Itu cincin pertunanganku." seru Meera gusar.
"Ya, ya...Oke!"
#
Seminggu berselang, di suatu malam.
"Banyak sekali cincin yang kamu beli, Meera. Untuk apa semua ini?" tanya mama heran.
"Semuanya bagus dan aku kesulitan memilih, jadi kubeli semua," jawab Meera sambil melirik Mia yang tengah makan biskuit susu.
"Aku terlalu kecewa kehilangan cincinku, kurasa cincin-cincin ini akan menghibur."

Neera mengrenyitkan dahi, ia mengunyah snacknya lambat-lambat seolah ingin mengatakan: Oh, ya Tuhan, kau tak harus berbuat ini!
"Lima belas cincin yang menarik, bukan, Mia?"
Mia mulai mengabaikan biskuitnya,  kemudian mendekati Meera yang memainkan cincin-cincin itu sehingga bergemerincing menarik perhatian.
"Kau lihat, Neera. Mia tertarik pada cincin." bisik Meera.
Neera melirik tak mengerti.

Mia dengan antusias mengamati setiap cincin yang terhampar di meja. Matanya mengerjap, bersinar penuh gairah melihat benda bulat berkilauan itu. Dada Meera berdegup kencang. Jika Mia benar mengambil cincin pertunangannya, maka ia akan mengambil salah satu cincin di meja itu.

Neera baru menyadari maksud Meera ketika Mia tiba-tiba mengambil satu cincin yang paling bagus dan berkilau di meja.
Neera menahan nafas, ia melihat bara di mata Meera.
#
Dua hari kemudian....
"Meera! Mama bilang ia menemukan cincinmu!"
"Sungguh aneh!" Meera melompat menuju kamar ibunya. Mama berdiri di depan nakas dengan cincin di tangannya.
"Bagaimana bisa ada di sini? Kita memeriksa kamar ini bersama-sama, bukan?"
Meera membekap mulutnya. Wajahnya pias. Ketegangan tiba-tiba menghias wajahnya.
"Meera, kau seharusnya senang cincinmu kembali!" desis Neera demi melihat ekspresi Meera, alih alih senang, ia malah terlihat ketakutan.
"Kapan mama menemukannya?" tanya Neera heran.
"Ya, baru saja. Beberapa detik yang lalu sebelum kau memanggil Meera!"

Meera terhuyung. Ia berlari ke belakang rumah menuju halaman kecil yang rimbun ditumbuhi bebungaan. Sebuah gundukan merah yang masih basah terlindung di bawah perdu. Hampir tak terlihat.

"Kenapa Meera?"
Meera terlonjak kaget. Ia tak menyadari kedatangan Neera.
"Mustahil Mia yang mencuri kemudian mengembalikan cincinmu, bukan?"
Meera mengangguk.
"Kalau begitu, bukan Mia pelakunya. Omong-omong, aku belum melihat Mia sejak bangun pagi ini."
#
"Ini bencana!" pekiknya tertahan, "membunuh kucing adalah bencana!" lanjut Neera.
"Tidak mungkin, dia hanya binatang, sama seperti kecoa atau kalajengking!" sangkal Meera.

Meski menyangkal, wajahnya menegang, perasaan ngeri merayapi hatinya.
"Tidak! Kucing adalah pengecualian! Sebaiknya kau tidak kemana pun, supaya kau selamat!" bantah Neera kesal.
Meera menelan ludah. Semalam ia bermimpi Mia datang di pesta pernikahannya.

End.