Hingga hari ketiga, Rahma harus bersyukur karena
pendengaran lelaki itu yang semakin berkurang, ia tak mendengar pembicaraan Rahma
dan Ibu selama ia di rumah. Rahma tahu betul ia harus menjaga diri agar tak
berisik, Ibu tahu ia harus pandai memanfaatkan setiap momen agar ayah tak
menaruh curiga.
Kalau ibu tak memaksanya
berpamitan, tentu Rahma tak akan menginjakkan kaki ke kamar yang bau obat itu. Ia
dipanggil pulang karena lelaki itu, maka ia harus meneguhkan diri untuk bertemu
dengannya meski batinnya berontak. Akan lebih baik jika ayah tak tahu bahwa ia
telah bersamanya selama tiga hari ini.
Tetapi,
tak urung Rahma mengekori ibu dengan wajah datar.
“Ayah, lihat siapa yang
datang...”
Datang? Mungin lebih tepatnya
yang akan pergi. Ibu mengguncang bahu ayah untuk memfokuskan perhatiannya.
Lelaki yang terbaring lemah
itu menoleh dengan susah payah. Matanya seketika berhenti berkedip ketika
melihat sosok yang begitu dirindukannya berdiri tepat di depan mata.
“Rahma?! Anakku...”
Rahma mendekat dengan ragu, ia
hembuskan napas dengan berat. Meski ia amat marah tetapi ia harus melakukannya.
Maka, ia ambil tangan lelaki yang terbaring lemah itu, kemudian menciumnya. Ia
bermaksud berpamitan.
Lelaki itu cukup tahu, betapa putrinya masih menyimpan bara di dada.
Maka ia tak berharap lebih dari sekedar kedatangannya. Hanya saja, ia akan
pastikan bahawa dirinya harus meminta maaf. Dalam hati ia mengutuk kaki yang
tak mampu bergerak sehingga tak kuasa berlari memeluk putrinya. Rambutmya telah
menjadi abu-abu, kepongahan tak tampak lagi pada wajah tirus dan keriputnya. Rahma
meneguk ludah. Sejujurnya, ia merasa iba.
“Rahma...maafkan ayah....”
ujarnya tanpa melepaskan tangan Rahma. Air matanya menitik.
“Ayah hanya ingin dimaafkan,
tidak lebih....” lanjutnya parau.
Rahma meneguk ludah. Ia hanya
menekuri lantai dan membisu.
“Aku pamit, a...ayah.“ katanya
dengan nada berat, “tentang itu...tolong beri aku waktu....”
Mata lelaki itu berkaca-kaca.
Bibirnya mengulas senyum.
“Semoga ayah masih ada ketika
waktu itu tiba, anakku. Tapi, bagi ayah, datangmu, meskipun kau akan pergi
lagi, sudah lebih dari cukup...”
Rahma menahan deru di dadanya.
Ia lihat ibu sibuk menghapus banjir di pipinya.
“Aku pamit ayah...”
Rahma bergegas memutar
tubuhnya, berbalik menuju pintu. Ibu mengekorinya setelah sebelumnya meminta
ijin pada ayah.
Di luar rumah, taksi bandara sudah
menanti. Setelah selesai memasukkan barang bawaanya, Rahma berpamitan pada ibu.
“Ibu harap kamu tidak membuang
waktu...” pesan wanita itu sambil menatap ke dalam bola mata Rahma.
Rahma menatapnya sejenak, lalu
takzim mencium tangannya. “Doakan aku selalu Bu, agar bisa ikhlas seperti Ibu...”
Ibu memeluknya haru. Ia
berusaha yakin pada doa-doanya.
#
Tiga bulan kemudian...
Seorang perempuan muda dengan
tas travel di tangannya, datang tergopoh-gopoh menuju pintu rumah yang akrab di
ingatan. Meski batinnya masih berseteru, ia mantap mengetuk pintu dan segera
membukanya, kemudian menghambur ke dalam. Hatinya dipenuhi rindu pada sang
bunda, juga seuntai kata maaf untuk sang ayah. Ia sekaligus membawa berita gembira akan rencana
sidang magisternya sebulan kemudian.
Rahma, sang perempuan muda itu,
mencoba memaafkan diri, juga takdir dan nasib sebelum akhirnya menerima dan
berdamai dengan ketiganya. Hatinya tergerak ketika menyaksikan betapa dunia
semakin hari semakin dipenuhi oleh ironi dan kekejaman yang tak kenal nasab.
Maka, ia merasa lebih beruntung dibanding mereka yang telah kehilangan
orangtua, ia beruntung karena tetap hidup normal, bahkan cerdas dan berprestasi
walaupun dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Justru, mungkin tempaan
masa lalu itulah yang membentuknya menjadi seperti ini. Maka, ia patut
berterima kasih pada lelaki itu, agar ia mampu mensyukuri sisi positif dari
kehadirannya. Ia belajar memaafkan ayah dan mencari sisi baik yang mungkin
masih tersisa dari dirinya.
Langkahnya terhenti di ambang
sebuah kamar beraroma obat. Seorang lelaki tua tengah berdoa usai sholat dengan
berbaring. Di sampingnya, seorang wanita bersimpuh khusyu sebagai makmum. Rahma
terharu menyaksikan keikhlasan yang dicontohkan ibu padanya.
“Ibu...Ayah...”
Wanita itu menoleh, ia takjub
demi melihat siapa yang datang. Ia tahu inilah saatnya, saat Rahma pulang tanpa
diminta, sebab hatinya telah lapang memaafkan sang ayah. Maka ia mengguncang tubuh
suaminya dengan gembira, menyadarkannya akan kenyataan di depan mata bahwa
putrinya kembali lagi pada mereka.
“Ayah! Ayah! Lihat siapa yang
datang!”
Ayah menoleh ke arah pintu.
Meskipun tak menyangka, hatinya seketika membuncah bahagia. Ia lihat putrinya datang
dengan tersenyum. Ia tahu inilah saatnya dan ia bersyukur saat itu tiba pada
saat dirinya masih bernapas.
Rahma mendekati keduanya dengan
perasaan campur aduk, ia melangkah dengan canggung. Ia merunduk, meraih tangan
ibu, kemudian ayahnya.
Sambil tersenyum, ia berkata: “Ayah, Ibu...aku pulang!”