PULANG- part 5 habis

Rabu, Desember 21, 2016

Hingga hari ketiga, Rahma harus bersyukur karena pendengaran lelaki itu yang semakin berkurang, ia tak mendengar pembicaraan Rahma dan Ibu selama ia di rumah. Rahma tahu betul ia harus menjaga diri agar tak berisik, Ibu tahu ia harus pandai memanfaatkan setiap momen agar ayah tak menaruh curiga.
Kalau ibu tak memaksanya berpamitan, tentu Rahma tak akan menginjakkan kaki ke kamar yang bau obat itu. Ia dipanggil pulang karena lelaki itu, maka ia harus meneguhkan diri untuk bertemu dengannya meski batinnya berontak. Akan lebih baik jika ayah tak tahu bahwa ia telah bersamanya selama tiga hari ini.
            Tetapi, tak urung Rahma mengekori ibu dengan wajah datar.
“Ayah, lihat siapa yang datang...”
Datang? Mungin lebih tepatnya yang akan pergi. Ibu mengguncang bahu ayah untuk memfokuskan perhatiannya.
Lelaki yang terbaring lemah itu menoleh dengan susah payah. Matanya seketika berhenti berkedip ketika melihat sosok yang begitu dirindukannya berdiri tepat di depan mata.
“Rahma?! Anakku...”
Rahma mendekat dengan ragu, ia hembuskan napas dengan berat. Meski ia amat marah tetapi ia harus melakukannya. Maka, ia ambil tangan lelaki yang terbaring lemah itu, kemudian menciumnya. Ia bermaksud berpamitan.
Lelaki itu cukup tahu,  betapa putrinya masih menyimpan bara di dada. Maka ia tak berharap lebih dari sekedar kedatangannya. Hanya saja, ia akan pastikan bahawa dirinya harus meminta maaf. Dalam hati ia mengutuk kaki yang tak mampu bergerak sehingga tak kuasa berlari memeluk putrinya. Rambutmya telah menjadi abu-abu, kepongahan tak tampak lagi pada wajah tirus dan keriputnya. Rahma meneguk ludah. Sejujurnya, ia merasa iba.
“Rahma...maafkan ayah....” ujarnya tanpa melepaskan tangan Rahma. Air matanya menitik.
“Ayah hanya ingin dimaafkan, tidak lebih....” lanjutnya parau.
Rahma meneguk ludah. Ia hanya menekuri lantai dan membisu.
“Aku pamit, a...ayah.“ katanya dengan nada berat, “tentang itu...tolong beri aku waktu....”
Mata lelaki itu berkaca-kaca. Bibirnya mengulas senyum.
“Semoga ayah masih ada ketika waktu itu tiba, anakku. Tapi, bagi ayah, datangmu, meskipun kau akan pergi lagi, sudah lebih dari cukup...”
Rahma menahan deru di dadanya. Ia lihat ibu sibuk menghapus banjir di pipinya.
“Aku pamit ayah...”
Rahma bergegas memutar tubuhnya, berbalik menuju pintu. Ibu mengekorinya setelah sebelumnya meminta ijin pada ayah.
Di luar rumah, taksi bandara sudah menanti. Setelah selesai memasukkan barang bawaanya, Rahma berpamitan pada ibu.
“Ibu harap kamu tidak membuang waktu...” pesan wanita itu sambil menatap ke dalam bola mata Rahma.
Rahma menatapnya sejenak, lalu takzim mencium tangannya. “Doakan aku selalu Bu, agar bisa ikhlas seperti Ibu...”
Ibu memeluknya haru. Ia berusaha yakin pada doa-doanya.
#
Tiga bulan kemudian...
Seorang perempuan muda dengan tas travel di tangannya, datang tergopoh-gopoh menuju pintu rumah yang akrab di ingatan. Meski batinnya masih berseteru, ia mantap mengetuk pintu dan segera membukanya, kemudian menghambur ke dalam. Hatinya dipenuhi rindu pada sang bunda, juga seuntai kata maaf untuk sang ayah. Ia  sekaligus membawa berita gembira akan rencana sidang magisternya sebulan kemudian.
Rahma, sang perempuan muda itu, mencoba memaafkan diri, juga takdir dan nasib sebelum akhirnya menerima dan berdamai dengan ketiganya. Hatinya tergerak ketika menyaksikan betapa dunia semakin hari semakin dipenuhi oleh ironi dan kekejaman yang tak kenal nasab. Maka, ia merasa lebih beruntung dibanding mereka yang telah kehilangan orangtua, ia beruntung karena tetap hidup normal, bahkan cerdas dan berprestasi walaupun dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Justru, mungkin tempaan masa lalu itulah yang membentuknya menjadi seperti ini. Maka, ia patut berterima kasih pada lelaki itu, agar ia mampu mensyukuri sisi positif dari kehadirannya. Ia belajar memaafkan ayah dan mencari sisi baik yang mungkin masih tersisa dari dirinya.
Langkahnya terhenti di ambang sebuah kamar beraroma obat. Seorang lelaki tua tengah berdoa usai sholat dengan berbaring. Di sampingnya, seorang wanita bersimpuh khusyu sebagai makmum. Rahma terharu menyaksikan keikhlasan yang dicontohkan ibu padanya.
“Ibu...Ayah...”
Wanita itu menoleh, ia takjub demi melihat siapa yang datang. Ia tahu inilah saatnya, saat Rahma pulang tanpa diminta, sebab hatinya telah lapang memaafkan sang ayah. Maka ia mengguncang tubuh suaminya dengan gembira, menyadarkannya akan kenyataan di depan mata bahwa putrinya kembali lagi pada mereka.
“Ayah! Ayah! Lihat siapa yang datang!”
Ayah menoleh ke arah pintu. Meskipun tak menyangka, hatinya seketika membuncah bahagia. Ia lihat putrinya datang dengan tersenyum. Ia tahu inilah saatnya dan ia bersyukur saat itu tiba pada saat dirinya masih bernapas.
Rahma mendekati keduanya dengan perasaan campur aduk, ia melangkah dengan canggung. Ia merunduk, meraih tangan ibu, kemudian ayahnya.
Sambil tersenyum, ia berkata: “Ayah, Ibu...aku pulang!”

PULANG part 4

Rabu, Desember 21, 2016

Mengingat semua memori itu, membuat Rahma merasakan nyeri di ulu hati. Napasnya memburu menahan kesal, marah, sedih dan benci pada lelaki yang memakai sapu lidi itu untuk melampiaskan marahnya. Matanya memanas, tanpa sadar berkaca-kaca. Ia merapal istighfar, berjuang meredam emosi agar tak tumpah. Dengan tangan terkepal dan kepala yang menggelang-geleng, ia menahan luapan rasa, yang tiba-tiba semakin bertambah kerana ingatan kejadian demi kejadian buruk tentang lelaki itu beruntun menyerangnya.
Rahma merasa kepalanya seperti disulut bara. Ia bangkit, berputar tak tentu arah sambil memegangi kepala, matanya nanar dan kosong, ia merasa ada sesuatu yang hendak masuk ke dalam dirinya.
“Tidak!” batin Rahma berontak.
“Pergi!” teriaknya tertahan. Oh, tolong! seseorang harus menolongnya! Lihatlah, bertahun dia belajar menghapus ingatan buruk, kini semua sia-sia karena ia berada di rumah ini lagi.
Rahma tak tahan lagi. Perempuan itu berlari ke arah pintu, melesat mencari ibu. Ia harus bicara dengannya. 
            “Ibu!” teriak Rahma begitu melihat wanita itu di ruang tamu. Untunglah kamar ayah ada di belakang, sehingga Rahma tak perlu khawatir ia akan melihatnya.
            Ibu terhenyak, melihat Rahma yang seperti orang dikejar setan, keningnya berkerut.
“Sudah kubilang, Bu. Aku tidak bisa di rumah ini!” katanya dengan napas memburu. Keringat membanjiri dahinya. Ia menatap nyalang ke sekeliling, mulutnya seperti hendak menumpahkan semua rasa di dada, hanya saja ia memilih menahan.
Ibu merengkuhnya, membawanya pada ketenangan dalam pelukan. Tangan tuanya mengelus rambut legam Rahma.
“Tenanglah Nak, Ibu di sini bersamamu...” hiburnya.
Rahma tak mampu lagi menahan diri. Butiran bening di pelupuk matanya jatuh berturutan.
“Kenapa Ibu membuat aku mengingat semuanya, seperti aku baru saja mengalaminya lagi...”
“Rahma, dengar!” Ibu mengguncang badannya,”tolong, jangan lari! Hadapilah hidupmu, kenyataanmu. Bagaimana pun, ini rumah yang harus kamu datangi dan ayah adalah orang tua yang dipilih Allah untukmu.” ujarnya dengan terbata.
“Aku tidak minta dilahirkan, aku tidak minta ayah menjadi ayahku!” Rahma tergugu. Ibu mengelus punggung menenangkannya.
“Rahma, Ibu tahu ini berat bagimu, bahkan bagi Ibu. Tapi, takdir membuat kita harus menerima meskipun pahit. Kita hampir tidak punya pilihan!”
“Apa yang Ibu mau dariku? Jika Ibu ingin aku memaafkan dia, aku maafkan Bu, tanpa harus ke sini. Tapi, tolong jangan menuntut seperti tidak pernah terjadi apa-apa....”
Pipi perempuan itu bersimbah air mata.
“Rahma...” ibu menggeleng-geleng tak mengerti ”mungkin kamu harus menikah dan punya anak agar bisa memahami yang kami rasakan...”
“Menikah, Bu? Dengan cinta dan pernikahan seperti yang kalian contohkan, apa menurut Ibu aku masih punya nyali untuk menikah?”
Mata ibu membasah. Bibirnya bergetar.
“Ibu, berhentilah membohongi diri. Bukankah Ibu lelah dan jenuh merawat Ayah? Aku pernah mendengar ibu mengeluh pada saudara Ayah. Apa yang Ibu cari? Ibu bahkan bekerja untuk menghidupi Ayah.”
“Ibu hanya manusia biasa yang bisa lelah dan bosan Rahma, tetapi itu tidak berarti ibu tak mau lagi mengurus ayahmu.” Ibu membantah.
“Kenapa, Bu? Ibu bisa meninggalkan dia kalau Ibu mau, tinggal bersamaku, tanpa harus menua dan tak terawat seperti ini karena mengurus ayah yang semena-mena ketika masih berkuasa.”
Ibu hanya menjawab dengan derai air mata
“Ibu terlalu mencintai ayah, aku benar-benar tidak habis pikir.“
“Bukan..sama sekali bukan! “ wanita itu menggeleng kuat.
“Kalau begitu, tinggalkan ayah dan ikut bersamaku!”
Ibu terdiam. Tangannya membekap mulut yang hampir kehilangan kontrol meneriakkan tangis. Ia ijinkan wajahnya basah oleh air mata, ia menikmati tangisannya. Melepaskan semua lelah, sakit, kesal, cemburu juga marah yang terkubur lama di batin yang lugu.
“Rahma, betapapun salahnya ia pada Ibu, tak bolehkah Ibu memilih tetap menjadi baik? Biarkan itu menjadi tabungan amal Ibu kelak, dan biarkan Allah saja yang memberikan keadilan padanya...”
Rahma menatap perempuan terkasihnya itu tak percaya. Setelah semua kesakitan yang dideritanya selama betahun-tahun, di saat dia punya kesempatan untuk lari dari segala beban dan lara, dia memilih bertahan. Rahma benar-benar tak paham. Duhai, kekuatan apa ini? Yang membuat wanita sanggup berbuat baik pada orang yang jelas menyakiti? Jika bukan cinta, lalu apa?
“Aku tak percaya, aku tak mengerti...” Rahma menggeleng.
“Aku rasa kita berbeda prinsip, Bu. Maafkan aku!” katanya seraya berbalik, meninggalkan ibu yang tersedu. 

PULANG -part 3

Rabu, Desember 21, 2016


Pandangan Rahma berkeliling memeriksa setiap sudut kamarnya. Kamar yang seumur dengannya, tiga puluh tahun, sehari-hari dihiasi sunyi. Tetapi, ibu tak luput untuk membersihkan kamar bercat hijau muda itu setiap hari, sehingga kamar berukuran 2x3 itu tak berdebu. Isinya masih sama seperti waktu dulu ia meninggalkannya: sebuah dipan yang hanya muat untuknya, lemari susun plastik dan sebuah sapu lidi untuk membersihkan kasur.
Dada Rahma mendadak sesak. Sapu lidi itu, apakah ibu terlalu sayang sehingga tak mau membuangnya? Apakah ibu lupa, bahwa ia bukan sekedar sapu lidi? Ia sekaligus juga alat pemukul jika Rahma membangkang dan menangis. Ia yang kerap mengenai tubuh kecil Rahma di punggung, paha dan kaki, dengan kekuatan tenaga lelaki dewasa yang marah. Maka bukan hanya merah, tetapi lebam dan perih. Mengapa ia masih di sini, menghadirkan memori mengerikan yang kerap menghiasi mimpinya?
Rahma bahkan masih ingat dengan seksama salah satu kejadian itu. Kejadian ketika ia memeluk lutut dengan wajah dibenamkan ke pangkuan sehingga rambutnya tergerai membentuk selubung hitam yang sempurna. Tubuh kecilnya bergetar menahan sisa senggukan setelah setengah jam lalu menangis. Orang-orangan yang terbuat dari kertas berserakan di sekelilingnya.
Rafi, sang adik, memandang kakaknya dengan perasaan tak mengerti. Naluri menggerakan tangan kecilnya mengusap-usap puggung sang kakak. Ia tak paham apa yang menimpa kakaknya, juga rangkaian kejadian yang disaksikannya tiga puluh menit yang lalu. Ia hanya tahu, sang kakak yang kerap menghiburnya, kini berduka. Juga ibu, tempatnya mencari pelukan ketika takut, pun tengah sembab dan diam.
Sejam yang lalu ketika itu, Rahma, si kecil berumur enam tahun, tengah bermain dengan riang di teras ketika lelaki yang ia panggil ayah datang. Ayah   mengelus rambutnya sebentar, kemudian masuk ke rumah. Rahma mengekorinya hingga ke balik pintu, namun ia tak berani mendekat.
Lelaki itu, ia tak paham mengapa kadang ada, lebih sering tiada. Tak seperti anak lainnya, Rahma jarang menemukan ayah di rumah untuk diajak bermain atau sekedar menggelayut manja. Ibu bilang, ayah bekerja di tempat yang jauh sehingga jarang pulang.
Rahma mendengar lelaki itu bicara dengan ibu, agak keras. Dari balik pintu depan, si rambut legam itu mengintip ingin tahu. Ayah jarang pulang, tetapi setiap pulang Rahma tak merasakan luapan kerinduan dari lelaki itu. Ia  hanya mendengar lelaki itu banyak memerintah, lalu ada amarah yang meledak, disusul dengan pertengkaran.
Ia melihat semuanya, ketika ibu yang tak siap belum menyiapkan makan, lelaki itu murka. Ia membanting semua yang di depannya. Piring, gelas, apapun yang terlihat. Melayang megenai pelipis perempuan yang sudah lelah karena bekerja. Ayah  menyebutnya tak pandai mengurus rumah dan keluarga.
Rahma mendengar semuanya, tentang uang, waktu dan nama seorang perempuan. Entah siapa yang mereka maksud, tetapi sepertinya ia terlalu menyakitkan hati ibu, kerena ibu berurai air mata ketika mengatakannya. Ayah semakin murka dan itu menjadi alasannya untuk pergi lagi.
Pemandangan itu, Rahma tak tahu sejak kapan mulai terjadi, yang pasti sejak pandai menalar, ia telah terbiasa dengan peristiwa-peristiwa yang membuat mereka menyesal pernah bertemu sosok ayah. Tak cukup sampai di situ, lelaki itu tak puas hanya membuat ibu menangis.
Waktu melihat Rahma bermain orang-orangan dengan adiknya, ia melihat rumah berantakan, penuh guntingan kertas. Ia tak senang dan menyuruh Rahma membereskan mainannya. Dengan takut-takut, Rahma menolak. Ia baru saja membuat orang-orangan ketiga dari sepuluh yang direncanakannya. Ia menyempatkan membuat mainan sebagai imbalan membantu ibu menjaga adik dan mencuci piring. Maka, baginya kesempatan itu langka.
Lelaki itu tak terima sabdanya dimentahkan. Maka, dia muntab, merapikan semua mainan Rahma dengan kasar lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia suruh Rahma menyapu. Rahma, si pemberontak itu, tentu menolak. Naas baginya karena itu hanyalah alasan untuk sebuah pukulan di paha, menyisakan lebam. Tangisnya pecah, tetapi bukannya iba, ayah malah menjadi. Dipukulnya lagi di betis agar Rahma diam. Rahma kecil sekuat tenaga menahan tangis sebab menangis berarti pukulan berikutnya.
Si kecil Rafi hanya melihat dengan mata polos penuh tanya.
Kejadian serupa terjadi setiap dia datang dengan alasan yang berbeda, meski hanya sekedar silap menumpahkan segelas air, semua akan dibayar dengan pukulan ditingkahi sumpah serapah dan umpatan. Dalam tangis diam-diamnya, Rahma berharap lelaki itu tak pernah datang.
Rahma ingat, ketika ia semakin dewasa, ia tahu ibu bekerja untuk menafkahinya dan adik. Ayah jarang memberi ibu uang, sebab uangnya habis untuk si perempuan. Ayah jarang pulang, sebab ia bekerja di luar kota dan tak selalu pulang ke rumah, melainkan ke rumah perempuan yang dicintainya selain ibu. Ah, Rahma merasa lelaki itu sebenarnya tak mencintai ibu. Apakah bisa dikatakan cinta jika tega memukul, menelantarkan, melarai hati dengan menduakan, juga membiarkan ibu berjibaku mengurus dua anak sendiri hingga menjelang remaja?
Hingga suatu hari, mungkin Tuhan sedang murka atau justru sayang pada lelaki itu. Sebuah kecelakaan melumpuhkan kedua kakinya. Ia yang semula perkasa, berangsur kehilangan kekuasaannya. Tentu saja, tanpa uang dan sakit, perempuan itu tak sudi menerima ayah. Maka, ayah datang kepada ibu dengan diantar kerabat, dengan malu dan sesal yang terlambat, juga badan yang tak sehat.
Ibu, menerimanya dengan ribuan rasa tanpa definisi. Pun Rahma yang menginjak usia delapan belas, terpaksa menerima kenyataan bahwa lelaki itu ada di dalam rumah yang damai tanpanya dan menjadi neraka karena kehadirannya. Setiap melihat lelaki itu, yang ada hanya benci dan marah yang tak sampai. Bertahun antara ada dan tiada, kemudian selalu ada, tetapi menjadi benalu. Meskipun lelaki itu mulai menyesali masa lalunya, bagi Rahma itu bukan karena kesadaran. Tetapi, kerana ketidakberdayaannya melawan nasib.
Bencinya semakin memuncak ketika lelaki itu merasa berhak mengatur hidup Rahma. Ketika datang kesempatan kuliah S-2 di Jepang, seorang lelaki baik datang melamar. Ayah merasa lebih baik Rahma menikah supaya beban ibu berkurang, karena akan ada yang bertanggungjawab terhadap dirinya. Rahma mentah-mentah menolak ide itu. Ia sangat mencintai ilmu, betapa pun susah kehidupannya. Kesempatan itu tidak mungkin disiakan. Maka, dia memilih untuk melanjutkan studi dan pergi, ketimbang harus menikah dan masih bertemu dengan ayah yang tetiba merasa berhak itu.

Tiga tahun lalu, ia pergi setelah bertengkar hebat dengan ayah. Ia pergi, membawa cita tentang hidup yang lebih baik demi ibu dan adik. Meski ia harus mengorbankan waktu untuk berpisah sementara dengan mereka. 

PULANG-part 2

Kamis, Desember 15, 2016

Sungguh, betapa pun mahirnya Rahma mengikis rindu pada wanita yang mengaliri darahnya dengan air susu, ia tak kuasa menolak rentetan beragam rasa yang menyerang serempak ketika bersua dengan sang Bunda. Ternyata, ia tak pandai mengusir rindu, ia hanya pandai membohongi diri.

Wanita enam dasa warsa itu, tanpa ragu meraih tubuh Rahma ke dalam pelukan. Dadanya bergetar menahan sesak dan isak, air mata berkejaran di pipi, ia rengkuh anak perempuan pertamanya seakan tak ada lagi kesempatan kedua. Rahma, ia telah terbiasa menyembunyikan tangis, sejak menangis menjadi alasan untuk setiap pukulan di tubuh kecilnya dulu. Tubuhnya kaku, bibirnya bergetar menahan ledakan di kerongkongan agar tak pecah menjadi tangis. Hanya pelukannya yang mengerat menandakan betapa besar hasrat untuk bertemu wanita terkasihnya itu.

Rahma membawa ibu duduk di kursi kayu teras. Terasa benar bahwa tubuh tua itu kehilangan banyak lemak dan bergelambir karena tak terawat, terbungkus daster yang kebesaran. Aroma rempah bumbu dapur menggelitik penciuman. Ia tampak lelah dengan kantung mata yang menghitam, untunglah air wudhu menolong rona wajahnya agar tetap bersinar. Duh, Ibu...sejak dulu hingga kini, ia setia berdedikasi pada sang suami yang kerap membuat lara hati. Prinsip yang tak masuk akal menurut pandangan Rahma yang berjiwa pemberontak.

“Ibu senang akhirnya kamu pulang, Nak...”
Rahma melepaskan pelukannya, mengambil tangan kanan ibu dan menciumnya takzim. Mencium kedua pipi Ibu yang mulai ramai oleh garis.
“Tolong jangan berharap lebih, Bu. Lusa aku harus kembali...”
“Kamu bahkan belum masuk, tapi sudah bilang mau pergi lagi. “
Rahma merasa bersalah karena membuat wajah itu digelayuti mendung.
“Maafkan aku, Bu. Aku hanya cuti sehari...”

Ibu menunduk, matanya nanar menekuri lantai. Ia tak pernah menduga akan sedemikian besar kebencian putri yang paling mirip dengan ayahnya itu. Meski sering bertemu lewat suara di telepon, ia berharap putrinya meluangkan lebih banyak waktu bersamanya.
“Kamu tidak suka bertemu Ibu?”
Rahma menggeleng cepat. Digenggamnya tangan ibu erat-erat.
“Bukan begitu, Bu.Ibu tahu itu. Hanya saja....” ia menggantung ucapannya, “rumah ini menyegarkan ingatan tentang semua hal yang susah payah aku musnahkan. Dan, semua usahaku bisa dibilang sia-sia dengan pulang.”

Wanita senja itu mengulur napas panjang. Ia mengerti yang dirasakan putrinya, tetapi juga kasihan pada sang suami yang menanggung sesal dan rindu tak sampai.

“Akhir-akhir ini ia sering mengigau namamu. Mungkin dia rindu dan ingin berdamai denganmu.” ujarnya. Rahma menyeringai, setengah tak percaya.
“Aku masih si kepala batu dan susah diatur. Ayah hanya akan kecewa bertemu denganku.”
“Ibu kuatir ia belum bertemu denganmu sebelum...”
“Apa ayah tahu aku akan datang?”potong Rahma, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ibu menggeleng. “Dia bahkan tidak bisa mendengar dengan jelas sekarang, jadi, jangan kuatir, ayahmu takkan menyadari kamu ada di sini.”
Rahma menggeleng.
“Aku akan menginap di hotel.”
Wanita itu hanya mengelus kepala Rahma yang terbalut jilbab.
“Masa, setelah tiga tahun tak pulang, dan hanya pulang selama tiga hari, kamu melewatkan masa bersama dengan orang tuamu sendiri? Bagaimana jika ini kali terakhir kamu melihat kami?”
“Iya..tapi, semua masa lalu itu menjadi seperti baru terjadi kemarin sore...” bantahnya memohon pengertian.
“Terserah kamu saja. Kepulanganmu sangat berharga, Ibu takkan mengotorinya dengan berdebat.” ujarnya sambil tersenyum. Tatapannya lekat meneliti setiap senti wajah Rahma. Di usianya yang makin matang, ia terlihat mirip dengan suaminya, pun sifat keras kepalanya.

Rahma tahu Ibu menyindirnya. Akhirnya, meski berat hati, ia menyanggupi permintaan Ibu untuk tidur di kamar masa kecilnya. Walaupun dibayangi resiko terburuk akan terluka lagi oleh kenangan masa lalu.
“Ini tidak mudah, tapi pasti bisa aku lalui dan pasti berlalu. Ayolah, hanya kurang dari tiga hari, lakukan demi Ibu dan setelah itu semua akan berjalan seperti biasanya.” batinnya menguatkan.


Ibu tak henti bersyukur dan mengucap terima kasih atas kedewasaan Rahma. Palung hatinya meminta dengan sangat pada sang pemilik hati, semoga akan ada keajaiban antara anak dan ayah yang sejatinya saling menyayangi.

PULANG-part 1

Rabu, Desember 14, 2016

“Kau mau masuk?”
“Aku rasa tidak...”
“Tapi kau sudah di depan pintu.”
“Tak apa, aku akan selesaikan urusanku dan pergi.”
“Kau yakin? Bagaimana jika ibu menahanmu?”
“Tidak akan! Ibu tahu aku tidak suka rumah ini.”
“Kau tidak suka rumah ini atau tidak suka ayah di rumah ini?”
“Diamlah!”
“Kenapa? Aku berkata benar. Kau benci ayahmu kan?”
“Diam!”
“Aku sungguh kasian padamu...Kau.”
“Aarggh! Diaaam!”

Dengan kedua tangan terkepal, wajah perempuan itu tegang, mematung di ambang pintu rumah yang demikian akrab di ingatan. Sementara dua sisi batinnya berkelahi, teguh dengan prinsip masing-masing. Alih-alih mengetuk atau membuka pintu, ia malah memainkan buku jemari. Matanya menatap lurus, kosong, dan sendu. Sebuah tas travel tergeletak sekenanya di lantai.
“Bodoh! Kau menempuh ribuan kilometer dan hanya termangu di sini?” batinnya mencerca. Perempuan muda itu mendesah berat. Seharusnya dia tahu, kembali ke rumah ini tidak akan mudah. Sejak memutuskan takkan kembali tiga tahun yang lalu, ia telah berlatih mengikis rindu kepada ibu, adik dan kenangan masa kecilnya. Juga sekuat tenaga mengenyahkan mimpi buruk tentang sosok bernama ayah yang seharusnya ada dalam daftar orang yang ingin ditemuinya.
Kalau saja ibu tak memohon dengan hiasan tangis di telepon kemarin sore, ia tak akan berada di tempat paling ironis ini sekarang. Betapa tidak, rumah yang seharusnya menjadi tempat merenda tawa memintal cerita bahagia, tetapi yang diingatnya hanyalah tempat penuh untaian tangis, cacian, dan jalinan cerita haru.
“Kebodohan macam apa ini? Pergi saja cepat sebelum ibu melihat dan menahanmu di penjara ini.” hatinya menghasut lagi. “Lagipula, kau datang bukan untuk ibu, melainkan untuk lelaki tua sakit yang tak berkuasa itu. Ayah!”
Ada perih yang terasa ketika menyebut nama ayah. Perempuan itu menunduk dalam, keningnya bekerut menandakan keras usahanya untuk mengusir kenangan yang sialnya, meski dibantu gelengan kepala tetap enggan beranjak. Tentu saja, bagaimana mungkin mengenyahkan ingatan sementara ia berada di tempat yang merekam kejadian itu.
Di tengah kebimbangan, perempuan itu tak menyadari ketika sepasang tangan keriput menjulur ke bahunya. Ia terkesiap, serta merta menoleh ke arah sumber sentuhan.
“Rahma?! Kau sudah datang!” pekik pemilik tangan keriput itu.

Rahma meneguk ludah. Lidahnya kelu. Ibu...

PULANG

Senin, Desember 12, 2016

                                                     www.gardenphotos.com

Lelaki senja berambut putih, duduk termangu di taman penuh bebungaan. Wajahnya datar, tetapi matanya jujur mengakui betapa banyak yang ingin dia ceritakan padaku. Dengan tangan bertumpu pada tongkat kayu yang setia menanggung beban tubuh rentanya, ia menatap lurus ke padaku, tersenyum samar, lalu mulai bercerita.
“Sebentar lagi musim liburan, semua orang pergi berlibur...” ia memulai ceritanya.
“Pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi. Bersenang-senang bersama keluarga dan teman, menghabiskan waktu dan uang di tempat wisata...” lanjutnya.
Ia tersenyum kecil padaku, sepertinya dia teringat indahnya tempat-tempat yang pernah dikunjungi.
“Dulu, aku pun begitu. Liburan adalah saat yang ditunggu untuk sejenak melepas penat.”
Ia menerawang, garis kerut merut yang terpahat jelas di wajah tuanya mengisyaratkan telah banyak rotasi peristiwa dalam hidup. Juga puluhan atau bahkan ratusan slide tentang masa-masa liburan yang menyenangkan, berkelebatan di kepala.
“Waktu liburan sama berharganya dengan hari kerja untuk menghasilkan uang. Bedanya, liburan menghabiskan uang yang dikumpulkan dengan bekerja.”
“Bagaimanapun, berlibur itu penting agar tak cepat tua karena stress...” lanjutnya.
Ia menyandarkan punggung ke kursi. Memejamkan mata dan mulai menghirup aroma udara pagi yang mulai menghangat.
“Aku sering berlibur ketempat-tempat baru, tetapi lalai mengunjungi tempat lama yang paling merindukanku...”
Matanya menekuri setiap senti tanah lembab tempatnya berpijak. Ia gerakkan tongkatnya menggambar sebuah rumah. Lalu, orang-orangan, tak lupa seekor burung kecil dalam sangkar.
“Tempat itu, hidup oleh cinta dan hangat kasih orangtua. Ramai oleh celoteh juga teriakan lima saudaraku. Gaduh karena suara ibu memasak dan memberi petuah, juga semarak karena suara ayah ditingkahi burung-burung yang hanya pandai bercericit.”
“Itu simfoni terindah yang pernah kudengar dan lekat di ingatan hingga kini.”
Ia menatap lekat gambarnya seolah film tentang keluarganya tengah diputar. Bibirnya kembali mengulas senyum.
“Tempat itu luas tetapi tidak begitu luas, tak megah sebagaimana hotel yang kusewa ketika berlibur, tetapi kehangatannya memikat setiap yang pernah singgah untuk kembali dan kembali lagi...”
“Ia juga tempat paling nyaman untuk berlindung...”tambahnya dengan senyum mengembang. Tetapi, kemudian senyumnya memudar.
“Meski begitu, aku begitu gegabah. Ketika aku telah merasa dewasa, aku jarang kembali...” ia terpekur. Menggeleng-geleng pelan, mungkin dia heran dengan dirinya sendiri. Air menggenang di pelupuk matanya.
“Sekarang, jangankan kembali, melihatnya pun tak bisa lagi. “
Lelaki tua itu menyeka sudut matanya yang membasah. “Kau tahu, kita selalu butuh tempat pulang...” katanya lirih. Lenyap dihembus angin pagi. Anggukan bunga-bunga yang tertiup angin seolah mengamini ucapannya.
“Kau tahu apa yang paling sakit?“ tanyanya yang hanya berjawab sepi. “...mengetahui bahwa kau salah setelah tak mungkin lagi memperbaiki” ia menjawab sendiri pertanyaannya.
“aku sangat jarang pulang, meskipun ada uang, waktu dan kesempatan. Hanya sekali setahun ketika lebaran, padahal ada bapak dan ibu yang menanti dengan sabar dan sangat...” tutunya lagi.
“Sekarang Tuhan membuatku merasakan, kerinduan yang sama dengan yang mereka derita, bertahun-tahun menanti anak-anaknya datang menengok dan berbagi cerita. Tak sekedar berlembar uang dan kabar bahkan suara di ujung telpon.”
Dilepaskannya napas dengan perlahan, mengenyahkan sedikit demi sedikit sakit rindu yang diidapnya. Tangan keriputnya mengusap kepala tongkat pelan.
“Kau tahu, ini musim liburan. Tapi, lihatlah...rumah ini tetap sepi seperti kuburan...”
Sambil menahan sakit sendi yang bergemelutukan ketika bergerak, lelaki berambut putih itu bangkit perlahan. Berpegangan pada tongkat tuanya, ia memungut sekeping beling dari tanah lembap.
Ia mendekatiku perlahan, lalu meletakkan tangan kirinya di badanku. Menyandarkan tongkat di bahunya, kemudian mulai menggerakkan beling di atas tubuhku. Ia menggores dengan kuat, membuat satu turus di samping 1074 turus yang telah terpahat sebelumnya. Ya, telah 1075 hari ia menanti tiga anaknya kembali, namun hingga hari ini, ia hanya sekedar mimpi.
Lelaki senja berambut putih itu terisak lirih. Aku ikut menangis, bukan karena sakit tubuhku yang tergores, tetapi karena aku tahu betapa sakitnya sebuah sepi. Hanya ia yang bersedia bicara denganku di antara sekian banyak makhluk Tuhan di taman ini. Ia menjadikanku kawan sejak istrinya tiada, meskipun aku hanya sebatang pohon di halaman rumah. Ia dan aku, sama-sama tua dan sunyi, sama sama sepi.

ODOP DAN BANG SYAIHA

Senin, Desember 12, 2016

ODOP DAN BANG SYAIHA

Sejak awal Oktober 2016 kemarin, saya resmi bergabung dengan komunitas One Day One Post (ODOP) Batch 3 yang didirikan oleh Bang Syaiful Hadi (a.k.a Bang Syaiha). Ia seorang penulis novel, pengajar Matematika dan praktisi bisnis online. Novel karangan beliau yang pernah diterbitkan adalah Sepotong Diam dan Masih Ada. 
Sebelumnya, tidak banyak yang saya tahu tentang beliau. Melalui komunitas inilah akhirnya saya bisa mengenal beliau yang ternyata punya segudang prestasi. Ia bukan saja piawai menulis, tetapi juga juara di akademik. Novel Sepotong Diam bahkan menjadi juara dua kompetisi menulis novel oleh AGP. Mau tahu lebih dekat tentang Bang Syaiha dan pemikiran-pemikirannya? Anda bisa kunjungi laman pribadinya di www.bangsyaiha.com
Saya sangat beruntung bisa diterima di komunitas yang beliau dirikan dengan wellcome. Komunitas ODOP yang tujuannya adalah membiasakan menulis setiap hari agar para penulis atau yang bercita-cita menjadi penulis dapat terus mengasah keterampilan mengolah kata menjadi sebuah tulisan yang bermanfaat. Jujur, awalnya menulis setiap hari terasa berat, karena sebelumnya saya hanya menulis jika sedang mood saja. Banyak kendala yang ditemui, mulai dari kekurangan ide, waktu yang masih keteter juga teknik menulis.
Tetapi, justru dengan mewajibkan setiap anggotanya menulis tiap hari, mau tidak mau kepekaan dalam menangkap ide semakin terasah, juga dituntut untuk mampu mengelola waktu agar bisa mengalokasikan waktu menulis. Untuk teknik menulis, para senior ODOP yang mahir menulis selalu siap dan murah hati membagi ilmu dalam kelas bedah tulisan dan diskusi-diskusi.
Berkat bedah tulisan, banyak ilmu yang didapatkan dan bisa diterapkan untuk mengasah kemampuan menulis. Hasilnya, banyak anggota ODOP Batch 3 yang semakin hari kualitas tulisannya makin bagus. Lewat metode contoh, mempelajari teknik mennulis lebih mudah dipahami dan diterapkan.

Saya sangat bersyukur bisa bergabung di komunitas ini. Apalagi suasana keakraban dan kekeluargaan terasa begitu kental di komunitas ini. Tanpa prakarsa dari Bang Syaiha, semua kelebihan dan keuntungan menjadi ODOP-er tidak mungkin dirasakan. Semoga Allah memberkahi hidup Bang Syaiha yang telah berjasa meberikan wadah bagi para penulis pemula untuk membantu kami tumbuh kembang. Jazaakallah khairan Bang Syaiha.

PINDAH

Senin, Desember 12, 2016

                                                                   www.architecaria.com


Beberapa waktu lalu, saya pindah rumah. Kesibukan packing hingga berbenah kembali di rumah baru menyita banyak waktu, tenaga juga biaya sehingga konsentrasi saya untuk menulis pun hilang sama sekali. Vakum selama seminggu lebih karena kesibukan membuat memulai menulis terasa agak kaku.
Proses pindahan selalu melibatkan proses packing. Sebelum packing seharusnya telah dilakukan proses sortir. Memilah memilih hanya yang baik dan berguna untuk dipacking kemudian dibawa pindah. Kalau dipikir-pikir, untuk hijrah dalam pengertian hijrah diri menuju kebaikan pun begitu. Menyortir sikap/sifat yang baik dan berguna serta meninggalkan atau membuang cela, buruk, rusak, dan  yang tak berguna. Sehingga, ketika menjadi diri yang baru, hanya menyimpan dan menggunakan yang baik dan berguna.
Ketika semua telah siap dipacking, proses berikutnya adalah pindah, moving. Berpindah tempat dengan doa dan harapan dan niat yang baik. Doa, niat dan harapan baru akan menimbulkan semangat untuk menata hidup lebih baik. Dimulai dengan menata barang–barang kembali dengan teratur dan rapi sehingga nyaman ditinggali. Sama seperti hijrah, sifat dan sikap kita harus ditata lagi agar kehidupan setelah hijrah lebih baik, teratur dan rapi. Sehingga, pada akhirnya pindah akan membuahkan kisah dan kesan yang baru, tentu saja harapanya hanya kisah dan kesan yang baik saja yang akan tercipta. Demikian...


TANTANGAN MENULIS TANPA EDIT

Kamis, Desember 01, 2016

TANTANGAN MENULIS TANPA EDIT

Ada tantangan odop menulis cerbung, entah untuk bulan ke berapa. Saya, terus terang tak sabaran untukmenulis panjang-panjang begitu, kecuali terpaksa. Makanya, kalau ada yang nanya mau /pengen bikin novel ga? Saya masih jawab: engga. Ngga sabar nulis sepuanjang dan seluama itu hehe. Bisanya yang pendek-pendek aja, barang satu dua hari kelar. Masalahnya, saya ini moody perfeksinois. Kalau hati pengen nulis itu, ya itu aja yang mau diutak atik, tetapi kabar baiknya, saya menulis dengan hati, eciyeee. Kabar buruknya, tidak semua yangs saya ingin tulis itu berbobot. Ah, tapi ya sudahlah mau gimana lagi. Kata orang eh bukan, kata aa gym, yag dari hati akan sampai ke hati.

Saya perfeksionis akut yang suka kumat di saat yang ga tepat. Contohnya semalam, selepas menyelesaikan cerpen tentang begal jatuh cinta, saya memaksa diri untuk mengedit.padahal mata nguantuk sangat. Tapi, ya itu tadi maunya saat itu juga, mumpung lagi semangat, dan kudu kelar mlm itu juga. Padahal, mengedit bagi saya bisa makan waktu sejam lebih, whew, merepotkan.
Tetapi, alhamdulillah setiap saya lahiran cerpen, maap-maap ni ya, berdasarkan penerwangan saya yang buram ini, kayanya banyak yang apresiasi positif, dan itu rasanyaaaa bahagiaaabanget. Kebagagiaan yang ngga bisa diukur sama uang, #lebay. Puas, senang, dan bikin semangat baru buat nulis lagi yang lebih bagus. Meskipun repot dan bikin capek. Tapi, kata ibu saya, eh bukan kata motivator ulung, itu lah passion, anda akan merasa seolah waktu tak cukup, dan ngerasa energi ngg ada habisnya untuk mengerjakan sesuatu yanh disukai. Sesuatu yng bagi orang lain : ngapain sih? Katanya rempong? Tapi bisa nulis berlembar-lembar. Bohoong, kliii
Eh hallow, ini nulisnya nyuri waktu ya broo, dan seringnya pas anak sudah tiudur. Jadi, ngga ada yang didzaimi dalam keluarga. Ya ada sih kadang-kadang kalo lagi mepet banget ga ada ide, pas nemu eeh anak-anak belum tidur. Walhasil menulis lah di antara ragam tingkah polah mereka. Karena susahnya menghasilkan cerpen buat saya, maka saya agak sulit kalau sidurh mengkritik. Saya ngga tega, sebab bikin berlembar cerpen itu butuh waktu, mikir, dan tenaga, juga kopi yang banyak ahahaha. Makanya,kalau ada yang kopi-paste, waduuuh saya bakalan bapr berat kayanya. So, jangan kopas ya, lebh baik share kan enak tuh , daet pahala lagi. Udah ah sekian tulian tantangan odop no edit ini, map ya kalau gga pake edit ya kacau beliau lah tulisan saya hehehehe...
Eh, ernyata panjang juga ya jadinya wkkwwk...


SEKALI SAJA-BAG. 2 ( HABIS )

Kamis, Desember 01, 2016


demi siapapun penghuni langit
gue kira yang bening itu selalu telaga
ternyata, itu hanya matanya
mata telaga

Keningku berkerut merut membaca barisan kata di buku biru beraroma lavender milik...abang? Yang benar saja!
Ini menarik. Bagaimana seorang yg telah lima tahun putus sekolah dan tak tahu adat bisa tunduk di haribaan buku biru beraroma perempuan semacam ini? Jangan-jangan kehidupan bebas bersama teman-teman minumnya telah membuatnya berpindah orientasi.
Aku bergegas menutup pintu kamar yang penuh baju bekas pakai bergelantungan. Aroma  lembap kasur bantat dan sisa makanan basi menguar mengganggu napas. Kalau tak ada hal menarik yang perlu kucari tahu, diupah pun aku tak sudi barang lima menit di ruangan ini. Ada beberapa lembar kertas biru yang ternoda oleh tangan kasarnya, dan itu lebih menggoda.

Demi pencipta langit
Dia itu hantu atau dewi?
Kenapa bayanganya ada di mata gue
Setiap detik setiap tempat
Gue salah sama dia, tapi gue terpaksa
Mata telaga

Duhai, siapa mata telaga yang dia maksud? Dia sudah hidup bersama Asih, Agus dan Robert beberapa bulan ke belakang ini. Kalau dia suka Asih, dia bisa langsung bilang tanpa harus mengajari jarinya menari di atas kertas. Tetapi, mata Asih bukanlah telaga, melainkan elang.

Hari ketujuh
Wahai penguasa lautan, jika Kau sanggup membalik lautan
Mengapa Kau tak lakukan itu pada hati gue
Balikin hati gue
Ke masa sebelum bertemu si mata telaga
Dia hantu paling manis yang pernah gue lihat
Semacam penampakan paling bersih dari noda yang pernah gue temui
Gue nyesel kenapa harus melihat mata itu
Mata telaga
Gue tenggelam
Gue benci
Aku membekap mulut yang menganga. Siapapun pemilik mata telaga itu, pasti sangat berkesan untuk abang semata wayangku. Sepanjang sejarahnya menjalin hubungan dengan puluhan gadis, tak pernah sekali pun mampu membuatnya tunduk mengungkapkan isi hati pada seseorang, apalagi sampai bersusah payah menulis di selembar kertas.  
            Apa sebenarnya yang telah dilakukan si mata telaga? Kutelusuri lagi halaman demi halaman yang semakin membuatku terheran-heran akan perubahan lelaki kasar yang sangat pandai menyumpah itu. Terhitung lima belas halaman penuh telah ia kotori dengan kata-kata indah yang tak dapat kutebak dari mana dia mendapatkannya.
            Aku rasa, akan lebih banyak puisi berserakan di buku biru ini esok. Aku akan menunggu tulisan esok dan esoknya lagi...
****
Telah satu purnama lebih sehari
Apakah yang lebih menyesakkan selain dari mencintai tanpa memiliki
Jangankan memiliki, menampakkan diri pun tak berani
Tuhan, bukankah cinta indah tak terperi
Tapi kenapa bagiku bagai sembilu mengiris hati

Menyusuri deretan kata penuh rasa di buku biru itu tak ayal membuat mulutku lagi-lagi terbuka tanpa kuperintah. Aku masih takjub pada pekerjaan cinta yang sanggup mengubah seorang yang tak pernah membaca buku menjadi penulis bertabur kata puitis. Ia bahkan telah melenyapkan kata tak senonoh dari sebuah puisi: gue. Pun ia fasih mengeja nama Tuhan. Amboi!
Jika yang menulis bukan Bogel, aku tak akan terperangah heran. Ia yang akrab dengan kerasnya hidup di jalanan, bertaruh nyawa demi beberapa lembar uang seratus ribuan, dengan kehidupan bebas seperti ayam, mampu menulis bait-bait penuh rasa. Gerangan seperti apa gadis bermata telaga itu? Di mana dan siapa dia? Sayangnya, hingga hari ketiga puluh, belum juga temukan petunjuk tentangnya.

            “Hei, ngapain lo di sini?!”
Aku terkesiap. Terlalu asyik menekuri curahan batin, mengasingkanku dari dunia. Sampai tak sadar sang pemilik ruangan datang.
“Ee...enggak gue cuma lagi cari eerr...gunting, iya gunting.” kilahku sambil berusaha menyembunyikan buku biru itu.
“Lu kira gue bego apa? Balikin buku gue!”
Aku diam tak berkutik. Kurasa, dia malu rahasia terdalamnya diketahui orang lain. Kuangsurkan buku itu sambil bersiap mendapatkan umpatan.
“Pergi lu!” usirnya dengan muka tertunduk. Buku biru itu, dilempar begitu saja di  kasur.
“Maafin gue Bang. Tapi, lu bisa percaya sama gue.” kataku meyakinkannya, sambil takut-takut dia akan menolak.
Dia menunduk semakin dalam. Agak mengherankan mengingat dia orang paling cuek yang kukenal. Setelah beberapa menit terkurung diam, akhirnya dia menemukan suaranya.
“Gue rasa, Tuhan mulai hukum gue.“ katanya tercekat, tanpa kuduga.
“Maksud lo, Bang?”
Dia menarik napas panjang, lalu menghentakkannya seolah ingin melepas beban berat.
“Jalan hidup gue salah, Wi. Gue pengin kembali, tapi gue ngga tau harus mulai dari mana.”
Aku terpekur mendengar nada penyesalan dari mulutnya. Mulutnya terbiasa berserapah, tetiba mengucap kata yang benar setelah lima tahun lamanya asal bicara.
“Gue jatuh cinta, Wi...”
Aku mengerenyit melihat lelaki yang gemar menantang maut itu kini tampak tanpa kuasa. Bahwa dia jatuh cinta, aku sudah tahu. Tapi, apa hubunganya dengan penyesalannya?
“Terus?”
“Tapi, dia jelas ngga mungkin gue dapetin. Lu inget sebulan lalu gue berhasil rampas motor?” tanyanya sambil memandangku.
Aku mengangguk sambil berusaha mengingat.
“Itu motor seorang mahasiswi yang gue buntutin dari kampus ke kosannya. “
Otakku mulai bekerja, mengambil file ingatan peristiwa sebulan yang lalu. Membuka rekaman tentang keberhasilan Bang Bogel membegal motor untuk ketujuh kalinya. Keberhasilan yang dirayakan dengan minum dan mabuk hingga pagi di kontrakan Bang Miun, senior mereka. Aku diundang untuk makan-makan dan baru pulang menjelang subuh. Kuingat waktu itu Bang Bogel banyak tercenung disela pesta.
“Lu tau Wi, waktu gue pepetin motornya terus gue paksa dia turun, dia ngga melawan sama sekali. Dia turun, terus ngasih kunci sambil liatin mata gue. Saat itu gue sadar, dia bukan lawan gue. Waktu itu gue bareng si Robert. Kalau gue ngga ambil motor itu, gue bisa dikatain banci.” paparnya sambil menelanjangi langit-langit kamar.
“Gue belum pernah lihat mata sebening itu, menatap gue tanpa takut. Dia tenang banget. Sekarang gue sadar, dia emang ngga ngelawan, tapi ternyata matanya menghukum gue sampai hari ini. Gue ngerasa dosa, sekaligus...jatuh cinta.”
Aku bernapas sepelan mungkin agar tak mengusik ceritanya.
“Lebih baik gue mati ditembus pelor atau dipenjara. Daripada gue nanggung cinta ngga kesampaian kaya gini. Gue nyesel, Wi. Kalau gue orang baik, mungkin gue ga akan kesiksa kaya gini. Setidaknya gue bisa ungkapin perasaan gue ke dia. Tapi, gue penjahat di matanya. Mana dia mau ngeliat gue?  Boro-boro cinta,  dilaporin polisi, iya!”
“Gue bisa ngerti perasaan lo Bang...” aku berusaha simpati.
Dia mendengus. Seolah ingin mengenyahkan sosok melankolis lemah yang baru saja menguasai diri, ia menggeleng kuat. Menghadirkan lagi sosok dirinya yang tak berperasaan.
“Besok gue ada misi, gue bareng si Doyok ke daerah Tangerang. “
Aku terdiam. Sosok Bogel, pembegal yang tak segan membunuh korbannya itu kembali merasuki tubuh legamnya.
“Lu udah tau semua tentang cewek mata telaga itu. Kalau besok gue ngga balik, lu datengi rumah dia, kasih semua tulisan gue ke dia.”
“Bang!” hardikku.
Aku tahu, setiap aksi begal selalu dibayangi resiko terburuk yang harus siap mereka tanggung. Tetapi, sebejat apapun dia tetap abang yang akan kutunggu pulang. Ia memang bedebah, tetapi juga pahlawan untukku dan emak yang tua dan sakit.
“Gue mau sekali aja lu ketemu dia, supaya lu bisa ceritain ke gue, kalau-kalau gue ngga bisa lihat dia lagi selamanya...”
“Bang! Jangan ngomong jelek napa?! Mendingan lu siapin besok! ”kataku sambil berlalu.
“Wi, alamatnya ada di buku yang ungu, itu bukunya yang ketinggalan di bagasi motornya.”katanya sambil menunjukkan buku di atas lemari.
Tanpa menghiraukannya lagi, aku pergi dengan membanting pintu. Entah kenapa, sebentuk rasa asing menyusup ke hatiku. Aku takut...
****
Barisan air mata makin deras menyimbah wajah seiring kenangan akan abang yang terpampang satu-satu di benakku. Aku melaju makin jauh, jauh meninggalkan seorang perempuan bermata telaga yang Tuhan kirimkan untuk menghukum abang dengan caranya. Ketenangan mata telaga itu serupa tetes air memahat cekungan di hati yang batu, meninggalkan jejak abadi yang indah sekaligus menyakitkan. Cekungan bernama cinta itu menghukumnya perlahan, menyisakan penyesalan terdalam dan sakit karena hasrat tak sampai. Dia lumpuh karenanya. Dia bahagia sekaligus sengsara.
Hidup  tak berjiwa, ada tapi tiada. Tertawa, tetapi menangis. Rindu, tetapi menyesal pernah bertemu. Cinta, tetapi takut.
Gundah hati membuat dia larut dalam lamunan. Seluruh tubuh lunglai tak bergairah. Cinta dan rindu melenakan kesigapan refleks dan indera, sehingga ia lengah dalam misi terakhirnya.
Tuhan benar-benar menghukumnya. Melalui tangan-tangan manusia beringas yang lama gemas dengan aksi para pembegal ganas. Para lelaki haus darah yang lama memendam amarah, untuk menumpahkan darah bedebah sebagai bayaran setimpal atas kejahatan mereka yang mewabah. Ketika cinta melumpuhkan jiwa raganya, ia sejatinya telah mati, sehingga ketika dua lelaki sasaran misinya kali ini lebih waspada dan sigap atas bahaya, sejatinya hanya raganya yang tersisa. Beruntung, kawannya masih sanggup melawan dan lari dari kepungan manusia yang datang bak air bah.
Bogel sang pembegal buronan polisi, mati diamuk massa. Ia mati membawa cinta yang memenjara hati, di tangan manusia-manusia yang merasa berhak mengadili.
Dadaku terguncang-guncang menahan sesak, mengingat nasibnya di akhir usia yang baru dua puluh tahun, mati dengan badan penuh luka, memar, lebam dan darah. Isakku tak tertahan mengingat emak memeluk anak yang tak alpa mengiriminya uang untuk makan, dengan jerit tangis dan ceracau menggugat Tuhan. Dan, aku yang pilu di tepi pusara tanpa nama, sebab tak ada yang sudi mengabadikan seorang penjahat.

Hari ini, tepat seminggu setelah kepergiannya, aku akan pergi ke makamnya setelah bertemu si mata telaga sekali saja. Akan kukabarkan bahwa dia baik-baik saja dan tengah membaca puisi-puisi tentangnya. Supaya si mata telaga tahu setidaknya sekali saja, bahwa dia mencintainya. Cinta yang sebenarnya, cinta selamanya...