Minggu, Oktober 30, 2016

pic source: www.clipartpanda.com


Paradoks of Candy

*Hanya menyarikan dari nasihat yang saya dengar...

Jika anda disuruh memilih antara permen yang masih dibungkus kemasan dengan permen yang sudah tidak dibungkus, mana yang akan anda pilih?
Pada umumnya orang akan memilih permen yang dibungkus. Mungkin dengan alasan masih higienis, atau lebih aman karena dari kemasan itu bisa tahu jenis kandungan permennya. Faktanya, hampir semua permen menggunakan kemasan/bungkus.
            .
Apapun alasannya, anehnya, toh bungkus itu pada akhirnya akan dibuang. Ya, kan? Karena sebenarnya kita hanya ingin isinya dan ngga mau bungkusnya. Itulah yang disebut dengan paradox of candy. Maunya permen yang dibungkus tetapi toh kenyataanya bungkusnya akan dibuang/tidak diinginkan.
.
Jika dihubungkan dengan ilmu rizki, maka isi permen itu adalah rizki dan bungkusnya adalah ujian, musibah, masalah dll. Seringkali orang mau rizkinya tapi tak mau bungkusnya, padahal sebagaimana permen, tidak ada rizki tanpa bungkus / kemasan.
.
Manusia menolak musibah, ujian, dan kesulitan. Padahal dibalik semua itu ada rizki dari Allah yang manis rasanya. Tetapi karena bungkusnya tidak enak, manusia tidak suka menerimanya.
Bentuk rizki pun bermacam-macam, bahkan sebenarnya rizki itu bertebaran di hadapan kita tetapi kita tidak mengenalinya karena terlanjur menolak bungkusnya.
Contohnya ketika seorang ibu menjemur baju, kemudian turun hujan. Biasanya yang akan dilontarkan oleh ibu tersebut adalah: “yaah... hujan!” Seolah-olah “bungkus” berupa hujan tersebut adalah penghalang, musibah, karena dengan hujan cuciannya tidak kering. Padahal Allah berfirman bahwa hujan adalah rahmat, rizki urnuk mahluk hidup dimuka bumi.
            .
Karena menolak masalah/ujian, akhirnya rizki pun tak didapat. Sama saja dengan ketika seseorang menyodorkan anda sebungkus permen, lalu anda tolak. Menolaknya sama saja dengan menolak isinya sebab di dalam bungkus permen pasti ada permen yang manis.
*************************************************
Nasihat itu disampaikan seseorang ustadz, yang saya dapat rekaman audionya dari seorang kawan. Dan entah kenapa, sesuai dengan yang saya alami.
Ketika Allah menguji saya dengan musibah, tetiba kawan ini mengirim saya tausiah. Allah mengijinkan saya bertemu dengan dua dari beberapa orang jahat, dan mengirim seorang kawan baik yang menasihati saya tak lama setelah itu. 
Semua atas ijin Allah, tinggal bagaimana saya menangkap isyarat-Nya, apakah saya bisa berintrospeksi atau tidak. Allah memperkenankan sesuatu yang buruk terjadi pada diri saya, maka sangat mungkin ada banyak hal yang harus saya taubati. Dan insyaAllah tidak lama lagi saya akan merasakan manisnya rizki Allah, aamiin ya robbal ‘alamiin. Semoga....


Jumat, Oktober 28, 2016



DIA MENJAUH, AKU MERINDU...!!!

A book by Pipiet Abrori

Waktu doi launching bukunya, saya langsung PO ke doi dong. Namanya temen bikin buku, ya harus kita dukung dengan membeli buku aslinya. Nah, sayangnya nih, Mak Pipiet ini lupa kayaknya kasih tanda cinta gitu buat kawan lamanya ini. Tanda tangan di atas cek kosong kek, kalau nggak, tanda tangannya doang juga ngga apa-apa :D
.
Baiklah, kita mulai. Saya terkesan sama buku ini, pertama karena judulnya menarik banget: “Dia menjauh Aku merindu...!!!” Saya udah bayangin ini pasti buku novel yang terinspirasi sama kehidupan cinta mereka yang LDR-an selama ini hehehe.
.
Begitu sampe bukunya, langsung jatuh cinta sama ijonya cover buku yang eye catching. Syantik! Terus buka-buka dengan antusias banget, dan.....glek!
Ternyata ini bukan novel meskipun masuk kategori novel kalo lihat di barcodenya mah. Buku warna hijau setebal 235 halaman, ukuran 14x20 cm terbitan Deepublish ini ternyata kumpulan tulisan hasil konsultasi remaja yang sebelumnya dimuat di harian Suara Merdeka. Suara Merdeka gitu loh, dari kecil saya sudah baca koran Jawa Tengah ini di rumah Pakdhe saya, berebut sama sepupu, Mbak Yayu dan Mbak Ika.
.
Ngga nyangkaa ternyata temen sekelas saya ini adalah pengisi salah satu rubrik Suara Merdeka dengan nama “Dear Mbak Pipiet“. Kereen banget! Sebagai mantan konselor Kesehatan Reproduksi yang pernah aktif di Pilar dan PKBI Jawa Tengah, ngga heran kalau doi punya kapasitas sebagai pemberi solusi. Dan lebih ngga nyangka lagi, setelah baca isi bukunya. ^.^
Glek! Ketahuan banget emak satu ini selain cerdas, wawasannya juga luas banget. Bayangin aja dia mampu jawab persoalan A-Z anak remaja dari yang sekedar curhat soal kucing, sampe yang suka bobo siang sembarangan kaya kucing ( kode keras nih, tiiiit *sensor)
.
Alamak, kalau saya jadi dia nih, baca curhat anak abege yang udah kissing aja udah naik alis aja. Nah ini, bisa dengan cool, netral dan bijak gitu nyampein solusinya, dengan bahasa yang enak, kaya teman banget, ngga menggurui, dan cerdas.
.
Jadi inget kata mentor bisnis, Coach Ari Wibowo yang bilang, “pengalaman adalah guru yang baik, tetapi pengalaman orang lain adalah guru terbaik.” Ngga usah mengalami sendiri untuk mendapatkan pelajaran berharga dalam hidup, cukup belajar dari pengalaman orang lain. Nah, buku ini tepat banget sebagai guru yang mengajak kita belajar dari realitas remaja saat ini. Kebetulan anakku sulung menginjak remaja, jadi pas banget.
.
Melalui curhat-curhat remaja di buku ini, kita jadi tahu potret remaja saat ini dengan kompleksnya persoalan dan kegalauan mereka. Keterbukaan mereka memberi saya sinyal agar mulai lebih dekat pada anak sendiri, agar curhat terdalamnya nanti disampaikan ke saya, bukan ke orang lain. Dengan tahu fakta dunia remaja yang seperti itu, saya jadi tahu ilmu apa saja yang harus saya apgred sehubungan dengan parenting dan dunia remaja, pendekatan apa yang sebaiknya dilakukan pada anak, dll. Buku ini jadi kaya cermin besar supaya saya melihat ke diri sendiri: apa bekal saya untuk mempesiapkan anak yang menjelang remaja ini?
.
Eiiit jangan percaya begitu aja, sebaiknya baca sendiri bukunya biar bisa rasain sensasi kaya saya. Kalau saya sih, iyess. Nah, buat buibu dan pak bapak yang pengin tahu dunia remaja masa kini, dan ingin belajar menangani remaja yang mungkin masalahnya sama dengan yang ada di buku ini, buku ini recomended banget deh.
.
Oke, deh sekian review saya, semoga bermanfaat! 

Kamis, Oktober 27, 2016

pic source: www.pictaram.com

Sebab Doa Bunda Dia Kembali

Wanita itu telah sepuh, meskipun gurat kecantikan di masa lalu masih jelas tergambar. Kerut merut di seluruh wajah dan badannya adalah bukti bahwa ia telah melewati banyak pergantian musim dan aneka rupa historis negeri ini. Langkahnya tertatih, sering terhenti demi mencari pijakan yang kokoh.
.
Dia, sang ibunda kesayangan. Ia yang tak pernah berharap apapun kecuali kebaikan. Tiada yang diinginkannya selain keberkahan di dunia dan keselamatan akhirat. Ia gemar membaca apa saja. Jangan sangsi tentang kalam Ilahi, karena itu adalah bacaan pertamanya ketika memulai hari. Beragam buku dilahapnya demi ilmu dan cahaya dalam perjalanan hidup. Keluasan wawasan dan ketajaman analisanya mengundang decak kagum, bukti bahwa usia bukanlah halangan untuk menuntut ilmu.
.
Wanita uzur itu, srikandi bagi anak keturunannya. Ia mungkin telah lemah, tetapi ia lebih kuat dari yang tampak. Ia kuat bukan karena raganya, melainkan karena doanya yang menembus langit. Ia manusia berselimut doa.
.
Sebagai seorang yang berilmu, ia tahu konsekuensi dari hidup, bahwa setiap orang tua akan berpisah dengan anak-anaknya, sebanyak apapun. Ia telah terbiasa melepas satu demi satu anak untuk bertebaran di muka bumi mencari bekal kehidupan. Ia mafhum bahwa anak-anak telah memiliki urusan sendiri dengan keluarga masing-masing.
.
Tetapi, ia tetaplah seorang ibu, yang karena sayangnya tak kan rela menyaksikan anak-anaknya menderita. Ia begitu kuatir dengan kisah sang pangais bungsu-nya, anak lelaki terakhirnya. Waktu telah mengajarkan bahwa sang anak yang jauh dari jangkauannya, sering tanpa kabar dan jarang pulang, membuat ia memendam rindu yang sangat. Apalagi terdengar kabar, sang putra tak bahagia, tak sejahtera.
.
Dalam kegundahannya, ia mengadu pada sang pemilik jiwa. Ia meminta restu dari sang penguasa raga, agar sudilah kiranya Dia membawa kembali sang putra ke pangkuannya. Maka, hari demi hari tiada terlewat kecuali telah terlantun doa kepada-Nya. Permohonan agar Sang Pangais Bungsu itu pulang, memeluknya lagi sebagaimana dulu. Meminta dengan harap dan cemas agar Tuhan menghadirkan sosoknya, dekat dalam jangkauan penglihatannya. Ia ingin sang putra kembali, bukan untuk sehari-dua hari, tetapi untuk waktu yang tak terpatri.
.
Sebab ia yakin, nasihatnya akan menyirami jiwanya yang gersang. Rengkuhan tangannya akan menguatkan sang putra mengarungi kehidupan. Kasih sayangnya akan membuatnya aman. Ridhanya adalah perantara ridha Tuhan. Doa di ubun-ubunnya akan menjadi jalan keberkahan.
.
Karenanya, ia tak berhenti memohon, tak surut berharap. Hingga keluh kesahnya mengetuk langit menuju Allah. Doa seorang ibu shalihah yang bersusah hati merindukan sang anak.
.
Tuhan tak pernah mengecewakan siapapun yang meminta, menengadahkan tangan padaNya. Apalagi harapan seorang ibu yang telah dijamin bahwa setiap katanya adalah doa.
.
Di pertengahan tahun 2014, terbitlah secercah harapan. Skenario Tuhan membuat anak lelaki itu tak kuasa menolak tawaran pekerjaan baru yang letaknya dekat saja dengan tanah kelahirannya. Akhirnya, Sang Pangais Bungsu akan segera kembali ke rumah kenangannya, dengan tekad hijrah mendekati Ibunda yang telah lanjut usia, mengharap ridhanya. Bukan main bahagianya Ibunda. Dalam tangis haru dan sujud syukur, Ibunda tak henti berkata: Terimakasih ya Allah...Kau kabulkan pintaku.
.
Dan, di sinilah dia sekarang, setelah berpuluh tahun lelah mengembara di rantau orang. Cinta dan doa Ibunda membawanya kembali ke pangkuan tanah leluhurnya. Sang putra itu, Rizka Izzat Verdy, adalah suamiku, yang esok genap berusia 38 tahun. Dan sang Ibunda adalah Ibu Mertuaku, Hajjah Muslichah Fadlun.
.
Seperti biasa, tak ada kue ulang tahun ataupun perayaan dan tiup lilin. Cukuplah doa dari orang terkasih dan Ibunda sebagai jalan kebahagiaan, kesuksesan, keberkahan.
.
Tak ada ucapan yang kepagian. Barakallah fiikum wahai sang buah hati   kesayangan Ibunda. Semoga Allah selalu meridhai keduanya...


Selasa, Oktober 25, 2016

                                                             source:  www.otodiddax.com

Mental Dulu, Bisnis Kemudian

Semakin hari, semakin banyak orang yang bertransformasi menjadi pebisnis atau pengusaha. Apalagi di era internet seperti sekarang ini, berbisnis menjadi mudah dilakukan oleh siapa saja, dari mulai anak SD yang jualan slime hingga karyawan kantor yang nyambi jualan batik. Tidak mengherankan kalau kita temui banyak orang yang kelihatanya “tidak bekerja” tetapi punya penghasilan melebihi gaji orang kantoran yang bekerja eight to five setiap hari. Atau, emak rempong tapi tajir melintir dengan bisnis online.
.
Ngaku aja, pasti pengen kan punya bisnis sendiri? Berbisnis itu harus, karena selain sunnah Rasul, ia adalah jalan untuk mendapatkan kebebasan finansial dan kebebasan waktu. Kan kita pengennya selain punya banyak uang juga punya banyak waktu, sih? Jangan kaya Pak Boss yang berangkat subuh-pulang dini hari, sehingga kolam renangnya dipakai renang pembantunya, makanan bergizi tinggi super lezatosnya dimakan sama pembantunya juga. Kata pembantunya: yang rajin ya Pak, kerjanya. Biar saya aja yang renang dan makan-makan. :p
.
Masalahnya berbisnis itu bukan perkara mudah semudah saya menulis kata swarovski. Tidak usah jauh-jauh ke urusan manajemen dan tetek bengeknya. Mau memutuskan bisnis atau ngga aja kebanyakan kita maju mundur, tapi ngga pake syantik kaya Syahrini. Maju mundur bukan karena ngga mau, tetapi karena banyaknya mental block yang meracuni otak kita, yang pada akhirnya menghambat kita untuk bertindak.
.
            Mari kita amati beberapa contoh di bawah ini:
“Saya kan ngga punya modal”
“Saya di kampung, mana ada yang mau beli?”
“Saya ngga ada waktu buat nyambi bisnis, kerja aja udah sibuk banget.”
“Saya mah gaptek..”
“Saya mah lapar.” # eh ngga nyambung ya:D
.
Merasa familiar dengan kalimat di atas? Hehehe, itulah yang disebut mental block. Mental block, adalah hambatan secara mental / psikologis yang menyelubungi pikiran seseorang. Ia dapat muncul dari kekeliruan pengalaman hidup / pergaulan, sisa traumatik masa lalu, sisa luka batin, sisa pengalaman yang tidak mengenakkan ketika kecil maupun karena “kekeliruan” atau kekurangtepatan cara pandang / anggapan terhadap sesuatu bahkan akibat cara belajar/ pendidikan yang tidak tepat ( Wawan E. Kuswandoro, M.Si , www.miracleone.wordpress.com).
.
Mental block sangat berbahaya bagi seorang yang ingin memulai bisnis. Misalnya saja untuk karyawan yang merasa tidak punya waktu untuk berbisnis. Pada saat dia pikir tidak punya waktu, maka bisa dipastikan dia tidak mencari peluang bisnis. Bagaimana mau berbisnis jika mencari peluang saja tidak dilakukan. Atau, jika kita pikir berbisnis itu sulit, dia tidak akan mampu melihat potensi dan kemudahan yang tersedia di hadapannya.
.
Oleh karenanya, langkah pertama untuk memulai bisnis adalah hancurkan dulu mental block yang Anda miliki. Hati-hati dengan apa yang ada di pikiran Anda! Karena apa yang Anda pikirkan akan menjadi nyata. ( Ari Wibowo, Bangun Bisnis Milyaran).
.
Kalau begitu, bagaimana caranya menghancurkan mental block? Ada banyak metode yang bisa anda coba. Harap diingat bahwa menghancurkan mental block mungkin butuh waktu dan proses, tergantung seberapa parah mental block yang Anda derita. Saya akan share dua cara, masih menurut Coach Ari Wibowo, ada dua cara untuk menghancurkan mental block yaitu:
  1. cara internal
buatlah daftar mental block anda, buat dengan jujur dan detail.
Kalau sudah, gantilah setiap poin dari daftar tersebut dengan mental positif
Saya beri satu contoh:
Mental block:
Saya ngga punya modal
Mental positif:
Saya punya akal, saya masih punya dengkul.
Modal kan, tidak harus uang. Saya bisa pakai handphone, halaman rumah, garasi, kreatifitas, dll

  1. cara eksternal
carilah tokoh inspirator yang bisa anda jadikan role model yang kondisiya sesuai dengan anda. Misalkan untuk yang mental blocknya ngga punya modal, Anda cari pengusaha yang berbisnis dari nol bahkan minus tetapi bisa berhasil. Bisa teman, saudara, atau atau tokoh-tokoh lain yang bisa anda cari dengan googling. Sering-seringlah membaca kisah suksesnya, maka insyaAllah energi positifnya akan mempengaruhi Anda.
.
Nah, demikian sedikit sharing saya, semoga ada manfaatnya. Berbagi bukan karena sudah ahli, tapi terutama untuk introspeksi diri.

Senin, Oktober 24, 2016


http://scontent.cdninstagram.com/l/t51.2885-15/s480x480/e15/11192566_1090238594338866_807256604_n.jpg?ig_cache_key=MTA2Mjg2MjU3NzE4NDczNjkxMA%3D%3D.2

Sharing, Yuk!

Dalam ilmu matematika, pembagian adalah pengurangan berulang hingga habis / sama dengan nol ( cmiiw ya, yang orang matematika ). Misalkan, delapan dibagi dua, maka angka delapan itu dikurangi dengan angka dua hingga habis. Konsep itu saya ajarkan pada murid saya sewaktu masih menjadi guru di sekolah dasar kelas dua.
.
Sebagai guru di sekolah islam, saya perlu menambahkan nilai keislaman dalam setiap materi saya. Maka, saya pahamkan pada anak didik saya, bahwa dalam Islam, pembagian tidak akan membuat habis, justru sesuatu yang dibagi itu akan bertambah juga berpahala jika dilakukan dengan ikhlas. Hal ini sesuai dengan konsep berbagi dalam islam, yaitu zakat, infak, sedekah serta memberikan pengajaran.
.
Berbagi tidak harus melulu dengan harta. Pun tidak harus menunggu kaya. Kita bisa berbagi ilmu yang kita punya, atau cerita hikmah, pengalaman, tulisan dll. Apa saja yang sekiranya memberi manfaat untuk orang lain meskipun hanya sebuah senyum tulus. Berbagi sekarang juga, tidak menunggu kaya atau sukses, sebab dengan berbagi justru Allah SWT akan melipatgandakan rizki kita, semakin menguasai ilmu pengetahuan, makin terasah ketrampilan. InsyaAllah dengan didasari niat ikhlas, kita berharap pahala dari Allah SWT.  
.
Semangat berbagi inilah yang mendorong saya untuk terus menulis apa saja yang bermanfaat. Insyallah mulai minggu ini saya akan coba share ilmu yang pernah saya dapatkan di kelas-kelas online yang saya ikuti. Berbagi bukan karena saya sudah ahli, tetapi karena saya ingin ilmu yang sedikit ini bisa diambil manfaatnya untuk yang memerlukan.
.

Kalau begitu, sharing yuuk ...^.^

Minggu, Oktober 23, 2016

Hal Absurd Itu Bernama Ngidam

Apa hal paling absurd yang pernah kau lakukan dalam hidup? Tidak ada? Hah, kurasa kamu harus jatuh cinta dulu, sebab cinta akan membuatmu bisa melakukan hal yang tak masuk akal sekalipun.
            .
            Cinta membuat seorang lelaki kekar tak malu menenteng tas milik perempuannya. Atau merelakan sisa uang dua puluh ribu untuk membeli pulsa ketimbang makan siangnya, karena kekasih minta ditelepon. Begitupun denganku, kalau bukan atas nama cinta, mustahil aku berada di kerumunan ibu-ibu yang menawar jengkol.
            .
            Tapi, itu sudah lewat tiga hari yang lalu. Setidaknya, tiga bulan ke depan banyak hal tak masuk akal yang masih akan kulakukan demi cinta pada jabang bayi, agar tak ngiler ketika besar nanti. Hal absurd itu bernama: ngidam.
            .
Lekat kupandangi wajah istriku yang terlelap. Tenang, napasnya teratur, dan khusyuk. Raut mukanya lembut, berpadu dengan dua alis tebal tanpa sulam, dan sebentuk hidung bangir. Ia begitu cantik meski tanpa polesan make up dan sentuhan alat salon. Benar kata Kang Kabayan, kecantikan asli wanita terlihat pada saat dia tidur.
.
Hampir saja kuulurkan tangan ke rambutnya kalau tak ingat peristiwa tadi pagi, ketika dia menolakku mentah-mentah gara-gara kucium keningnya sebelum berangkat kerja. Ia mendorong dadaku hingga terjengkang, keningnya berkerut, dan tangan menutup dua lubang hidung dengan sempurna.
“Kamu bau! Jangan dekat-dekat!”
Sungguh, aku melompong bengong. Bau? Betul bahwa dulu aku sering berangkat kuliah tanpa mandi, tapi berangkat kerja tanpa mandi? Bisa-bisa aku tak gajian.
.
Sisa kepayahan karena mengandung anak pertamaku terlihat dari pulas tidurnya. Tanpa sesuap pun makanan masuk ke tubuh, wajar dia butuh terlelap agar tak merasa lapar. Ia tidur seperti bayi, damai, tak terusik apapun. Tak tega rasanya  membangunkan dia demi sebungkus asinan di tanganku.
.
Kutatap asinan itu sambil mengeleng-geleng, sisa napas yang menderu membuktikan betapa keras perjuangan mendapatkan makanan yang jelas bukan kesukaannya. Tetapi, atas nama ngidam, tiba-tiba ia menjelma menjadi makanan paling dipujanya hingga dia merasa harus menelponku sejak baru sampai kantor.
“Aku mau asinan yang di Rawamangun itu!”
“Harus yang itu, kalau ngga aku ngga mau makan.”
“Aku ngga peduli kamu pulang jam berapa, pokoknya bawain!”
.
Kata-katanya adalah perintah. Kupikir, setidaknya vitamin dan mineral dalam irisan buah dan sayur akan mencukupi nutrisi untuk calon anakku, daripada hanya dikasih air jahe hangat setiap saat. Jadi meskipun harus berjibaku dengan macet dalam lapar dan lelah, aku rela berebut asinan dengan ibu-ibu yang mengantri sejak maghrib.
.
Dan, perjuanganku dibayar lunas dengan pemandangan istriku yang terlelap. Ini hari Jum’at, aku harus menyelesaikan semua pekerjaan meski harus lembur. Dan kemacetan Jakarta mendadak akut. Sepertinya semua orang bernafsu memulai weekend dengan menyerbu pusat hiburan, sehingga ketika malam sudah kasip, aku baru sampai di rumah.
.
Hormon progesteron membuat wajah istriku makin mempesona. Walaupun dengan ekspresi tanpa dosa khas orang tidur alias melongo pun dia serupa bidadari. Antara ragu dan ingin, aku beranikan mengguncang pelan bahunya.
“Sayang, bangun. Kubawakan asinan, nih?!”
Ia hanya melenguh pendek. Kemudian berganti posisi memunggungiku. Aku rasa dia bukan tak ingin asinan, dia hanya lelah. Jadi, kuputuskan untuk makan dan menonton laga sepak bola di televisi.
.
Buatku yang lahir di kerumunan enam saudara laki-laki, mengenali makhluk bernama wanita saja sudah pe-er tersendiri. Ia seperti wujud dari teori ketidakpastian Heisenberg. Tak mungkin bisa mengukur dua besaran, misalnya posisi dan kecepatan suatu partikel, dalam waktu bersamaan. Begitupun, tak mungkin bisa mengira maksud perkataan dengan isi hati wanita dalam waktu bersamaan.
.
Coba saja kau tanya wanita yang menangis. Jika dia menjawab tidak ada apa-apa, maka sebenarnya ada apa-apa. Jika dia marah padamu dan menyuruh pergi, maka sebaliknya dia butuh kamu ada di sisinya dengan pelukan. Memusingkan!
.
Dan peerku bertambah ketika wanitaku hamil. Bagaikan rumus kimia anorganik yang tak kupahami bahkan sampai aku diwisuda. Tidak hanya panjang, rumit, penuh variabel dan simbol. Kalaupun variabelnya diketahui, butuh kemampuan kalkulus tingkat advance dan waktu untuk memecahkan misteri.
.
Pada saat dia bilang ingin mangga, jangan percaya bahwa yang dimaksud adalah mangga yang mana saja. Itu bisa jadi mangga dengan variabel tertentu yang harus kau tanyakan dengan detail. Dan ini akan memerlukan pembicaraan panjang, karena kau pasti akan menolak jika yang diminta adalah mangga dengan variabel: bulat, diameter sepuluh senti, hijau kekuningan, dan manis. Ditambah variabel kunci: harus dari pohonnya Bu Tono, yang mungkin tak kau kenal. Rumit!
.
“Mas, bangun. Sudah subuh, Mas!”
Susah payah aku mengerjapkan mata. Badan terasa kaku dan berat bagai ditimpa bersak-sak semen. Samar kulihat sebilah tongkat tepat di depan mukaku. Sontak aku melompat bangun.
.
Istriku dengan tongkat di tangannya, menyeringai tanpa dosa. Sejak kapan dia punya alat bantu untuk membuatku terjaga?
“Apa ini?”
“Kamu bau! Aku ngga mau pegang “
Oh, again!
“ Mana asinanku?”
Dalam kesadaran yang belum lengkap, aku coba mengingat. Seketika badanku meriang. Asinan itu, entah dimana aku meletakkannya semalam. Yang pasti bukan di kulkas. Matilah aku kalau sampai hilang!
.
Aku menepuk dahiku. My God, kenapa lelaki tak Kau berikan kemampuan multitasking, agar bisa makan sambil nonton bola tanpa lupa menyimpan asinan di kulkas?
“Aku mau asinanku.”
Kata-katanya adalah perintah. Kucoba membuka file memori semalam ketika memutuskan makan. Dari kamar aku berjalan menuju dapur, slow motion adegan ketika di dapur, lalu blank. Aku tak ingat dimana tepatnya kusimpan asinan itu. Yang kuingat, kreseknya berwarna hitam.
.
Secepat kilat aku menghambur ke dapur. Sempurna! Dapur telah bersih dari segala yang dianggap sampah. Tak ada kresek hitam itu di meja atau di setiap sudut manapun. Istriku memang rajin!
.
“Dimana keresek hitam? Ada asinan di dalamnya...”ceracauku sambil mencari tak tentu arah.
Dia mengerti kebingunganku. Lalu, seperti Natrium yang meletup terkena air, tiba-tiba tangisnya pecah.
“ Jadi, yang di keresek itu asinan? Huwaaaa!!!”
“ Kenapa Beib?” tanyaku berlagak bodoh.
“Aku buaang, aku kira sampah.” teriaknya di sela tangis.
“Dibuang? Ya ampuun beeeib, aku susah payah dapetin itu.” kataku setengah putus asa. Aku terduduk, menggelosor di lantai dengan nelangsa, teringat kompetisi semalam melawan seorang ibu demi asinan stok terakhir. Atas nama solidaritas wanita, ibu itu mengalah.
.
Tiba–tiba tangisnya reda. Matanya tajam melirikku yang apatis. Alisnya bertemu, bibirnya maju, membentuk emotikon senyum terbalik.
.
“Kamu taruh keresek di lantai. Kamu tahu semua yang ditaruh di lantai dianggap sampah.”
.
Aku tak merasakan darahku. Lemas seketika.
“Pokoknya aku mau asinanku!”
Meski cinta itu absurd, tak mungkin aku mencari asinan itu di antara tumpukan sampah. Itu artinya, aku harus membelah belantara Jakarta demi asinan.
.
Tiba-tiba, aku tak ingat apa-apa...

Jumat, Oktober 21, 2016

Teruntuk adik-adikku...

Adik, hidup terasa begitu berat, ya?
Pahit menghimpit hati, keras menguras emosi
Andai tiada iman, ingin rasanya berhenti

Sungguh, sebab doa siapa kau bisa teguh
Dalam hidup yang sedemikian rapuh
Mungkin doa bunda
Yang menggema meski raganya tiada...

Dik,
Aku tahu...kau perlu bahu untuk bersandar
Butuh telinga untuk mendengar
Ingin nasihat untuk tersadar
Bahwa...
Hakikat hidup adalah cabar

Namun,  jarak menghampar dengan angkuh
Memintas tangan yang ingin merengkuh

Hanya doa dan baris kata dalam pesan
yang berusaha sekuat kesanggupan
Mewakilkan tangan
Menyapu larik air mata
Bahu untuk bersandar
Dan telinga untuk mendengar

Dulu, kita berbagi ruang untuk terlelap dalam lelah
Berbagi nikmat masakan bunda
Berebut kasih ayahanda

Kini, kita menapaki garis nasib sendiri
Dengan masa depan yang misteri
Meski ujian begitu musykil, jangan pernah berhenti
Sebab berhenti adalah mati

Ingatlah bahwa Tuhan begitu seksama
Takkan menguji di luar kuasa

Percayalah, bahwa tangan yang tengadah
Takkan terkatup kecuali telah mendapat berkah

Tuhan berkata
Mintalah pertolongan 
Dengan sabar dan shalat
Buka pintu karunia
Dengan derma dan taubat

Yakinlah dik, 
Tak ada badai yang senantiasa
Akan terbit pelangi, usai hujan mendera

Jumat, Oktober 21, 2016

Baper, Antara Minder dan Super

Pernah baper lihat postingan teman di medsos? Yang jalan-jalan terus lah, yang makan-makan melulu, atau yang baru nikah, yang penampakannya makin kinclong-kece badai lah, yang jualanya laris manis tanjung kimpul, atau yang punya segudang prestasi. Tanpa disadari, tiba-tiba merenung dan bertanya ke diri sendiri: terus, apa kelebihanku? Meratapi betapa beruntungnya dia, dan ujung-ujungnya jadi minder. Hiks, nyesek, ya?!
.
Sebagai manusia biasa, baper itu wajar. Sebab, sifat manusia memang selalu tidak puas dengan keadaan dirinya, suka berkeluh kesah dan kurang bersyukur. Ditambah sifat iri dan dengki, jadi lengkap deh. Tetapi, kita juga punya akal dan iman sehingga seharusnya bisa mengendalikan reaksi terhadap baper tersebut. Mau baper super apa minder, semua tergantung kita.
.
Baper super tentu saja baper yang bikin kita jadi terlecut untuk menjadi pribadi yang lebih baik ( klise ya? ). Lihat teman sukses, kita terinspirasi untuk meniru jejak kesuksesannya, di bidang kita sendiri. Lihat teman makin cantik, terpicu buat merawat diri lebih serius. Lihat teman makan melulu, terdorong buat makan lebih banyak #eh itu mah jangan yah, nanti efeknya gak enak hehehe.
.
Kalau baper minder, ya kebalikannya.  Kita justru terjebak pada rasa iri dengki dan merasa rendah diri. Bukannya terpacu untuk lebih baik, malah jadi ngga bersyukur dengan keadaan diri, akhirnya ngga bisa melihat potensi diri yang sebenarnya bisa dimaksimalkan. Yang jelas, baper negatif hampir ngga ada gunanya, jadi sebaiknya dihindari.
.
Di media sosial, setiap orang berhak untuk menulis atau meng-aplod apapun, hatta itu cuma penampakan sandal jepitnya yang setiap hari nemenin dia ke mesjid. Buat kita ngga penting, tapi buat dia mungkin penting banget.
Anda pun kalau mau aplod hal paling absurd sekalipun ya, monggo. Tapi.. ( ada tapinya ya ), harus diingat bahwa ada konsekuensi yang mengikuti tindakan kita. Minimal konsekuensi sosial dari teman-teman di medsos. Konsekuensi paling ngeri ya, kena UU ITE hehehe..
Nah, kalau setiap melihat postingan teman terus jadi baper dan baper lagi kan, gawat. Setiap orang punya hal penting, istimewa, atau momen berharga. Dalam sehari dia bisa posting puluhan kali. Lah kalau kita baperan, ya ngabisin energi kaliii.
            .
Medsos sebenarnya ngga jauh beda dengan dunia nyata. Kalau kita datang arisan atau kumpul-kumpul dengan teman, pasti yang kita lihat hanya luarannya saja. Sementara yang tersimpan dalam hatinya, persoalan hidupnya, mana ada yang tahu, kecuali orang itu kasih pengumuman. Jangan terkecoh penampilan atau yang tampak saja. Ibarat gunung es, yang tidak tampak  justru lebih besar, yang jika kita tahu belum tentu kita masih ingin menjadi seperti dia.
.
Contohnya saja nih, yang kelihatannya sukses jualan online, prosesnya ngga mudah untuk sampai pada tahap laris manis duit kumpul. Ada fase dimana dia memulainya dengan membuat dirinya disadari oleh orang lain dengan rajin like dan komen, kemudian rajin posting dan ngiklan, belum lagi perjuangannya mendapatkan supplier yang bagus dan amanah, harus menghadapi customer yang beragam sifat, ditambah seabrek konsekuensi dari jualan  online yang mengharuskan dia selalu ready kapan saja. Jangan lupa, jualan online itu lebih ribet njelimet dibanding offline, belajar ilmunya juga lumayan menyita waktu.
.
Di balik penampilan cetar membahenol, ada uang jutaan dan waktu yang dihabiskan untuk perawatan, juga olahraga dan pola makan yang seimbang. Di balik foto penghargaan menang lomba ada malam-malam yang dihiasi belajar dan latihan tanpa lelah di antara kantuk dan malas. Di balik foto mobil keren, ada cicilan tiap bulan yang bikin menggos-menggos, apalagi bunyi klakson memperjelas status kredit: diit...diiit...diiit :D.
.
Allah SWT sudah menganugerahi setap makhluk dengan potensi yang berbeda. Tinggal kita mau mencari dan memaksimalkan potensi itu atau tidak untuk menjadi sebuah prestasi. Jika kita memilih untuk menjadi super, pada akhirnya kita akan melalui jalan yang ditempuh orang-orang yang sudah lebih dulu sukses, dan saat itu kita baru sadar bahwa kesuksesan tidaklah mudah diraih, sehingga merayakan kesuksesan menjadi hal yang bisa diterima. Jangan-jangan, pada saat sukses kita pun khilaf dengan memajang bukti kesuksesan kita di medsos. Alih-alih pengen berbagi bahagia, malah jadi pamer. Nah, loh...
.
Akhirnya, ketika di titik prestasi inilah, orang lain akan memandang kita sebagai seorang yang hebat, inspiratif, keren dsb. Bisa jadi ada dari mereka yang juga ingin seperti anda. Karena tidak ada manusia yang sempurna, selalu ingin yang tidak ada pada dirinya.
.
Di dunia ini, kita cuma sawang sinawang, kata orang Jawa. Kita lihat orang lain hebat, padahal ya, belum tentu. Tidak semua seperti kelihatannya. Jadi, berhentilah baper, syukuri kelebihan yang dimiliki, dan fokuslah pada perbaikan kualitas diri untuk berprestasi. Salam baper eh superrr! 

Selasa, Oktober 18, 2016

Menulis, Kalajengking, dan Naif

Percaya ngga, kalau menulis itu membuat kemampuan berbicara kita juga semakin terasah? Kawan saya di ODOP, Rouf Al-Mahbangy, sudah membuktikan hal ini, dan ceritanya bisa dibaca di wallnya ya hehe...

Kalau saya sih, percaya banget. Buktinya hari ini, pas ada kejadian yang tak mengenakkan, tanpa disadari saya mampu mengatakan dengan jelas dan terstruktur apa yang saya rasakan, padahal sebelumnya, suka ngga jelas dan acak kalau bicara.

Lalu apa hubungannya dengan kalajengking? Masih ingat, kemarin saya posting cerpen tentang seseorang yang ucapannya menyakitkan, penuh keluhan, dan umpatan. Nah, hari ini saya ditakdirkan Allah bertemu dengan orang yang menyakitkan hati saya...( sibak jilbab )

Sebenarnya, kejadian ini berhubungan langsung dengan sifat saya yang agak naif.  Bagaimana ngga naif, di umur setua ini saya masih percaya bahwa orang sama baiknya dengan kita, atau minimal berpikiran lurus sama dengan kita.

Ceritanya begini...
Pagi hari, saya membeli bubur untuk little Valya. Tiba-tiba, pas lagi nunggu bubur disiapkan, saya terpikir untuk pergi beli sarapan ke pasar yang jaraknya lumayan jauh dari situ, cukup jauh sampai saya merasa harus pakai helm. Kita kan gitu, pake helm kalau jauh, kalau deket mah, ga usaah :p
( Kita? Elu aja kaliii:P )

Karena saya ngga bawa helm, saya dapat ide untuk pinjam Mas yang jual bubur. Saya pikir, pasti dipinjamin lah, wong saya langganan buburnya. Di situlah letak begonya saya. Petama, kok ya bisa keidean pinjem ke dia. Kedua, kok ya pede dia mau pinjemin.

Nah, di sinilah sinetronnya dimulai. Tokohnya Saya ( S ), dan Mas Bubur  ( M ).
S : “ Mas itu helm siapa?” ( sambil nunjuk helm nganggur di motor. Ya iyalah masa nangkring di kepalanya :p )
M : “ Helm saya.”
S : “Boleh ngga saya pinjam sebentar untuk ke pasar, nanti saya kembalikan. Kan saya  lewat sini lagi.”

Dia tercenung sebentar sambil menuangkan bubur.
M : “Hemm gimana ya, Bu...“ katanya agak ragu.
S : “Ke siitu tok, Mas.  Deket kok. Mau dipake, ya?” ( pede-maksa )
M: “Engga sih, Bu. ” Lalu, dia diam sejenak. ”Masalahnya... temen saya kemarin kena hipnotis...”

Sontak saya terdiam, butuh waktu bagi saya buat menangkap maksudnya, mungkin saking ngga nyangkanya. Setelah beberapa kerjapan mata, saya tersadar maksudnya.
S : “Maksudnya? Mas nyangka saya mau hipnotis gitu?” saya menghela napas, tak percaya dengan prasangkanya. “Mas, saya bukan orang jahat...” saya melanjutkan dengan dada yang mulai sesak.
Dia tertawa kecil, cengengesan sambil ngga enak gitu mukanya. “Ngga papa sih, Bu kalau mau pinjam.”

Harga diri saya tertohok, saya menghela napas panjang menenangkan diri. Tanpa sadar kepala menggeleng-geleng saking tak terimanya. Saya menuju motor saya, lalu memutar balik, dan sebelum berlalu saya mengatakan sesuatu yang saya pikir efek dari kebiasaan menulis setiap hari, begini:
“Mas, saya tersinggung dengan ucapan Mas yang menyangka saya mau hipnotis Mas. Apa saya terlihat seperti orang jahat?”

Anak itu menggeleng sambil nyengir salah tingkah, mungkin dia ngga enak sama saya. “Ngga Bu, kan ibu juga gini ( penampilannya ) .”
Saya menghela napas panjang lagi, lalu menyentakkan hembusannya.
“Saya bukan orang jahat. Rumah saya di situ Mas, deket. Saya solat, saya ngaji, “ Saya diam sejenak.
“ Lagipula Mas ini hanya sebuah helm. Helm, Mas.”

Saya terdiam lagi, menata rasa agar tak menjadi rentenan serapah #halah
“Mungkin saya yang salah. Saya menganggap semua orang itu sama baiknya dengan saya, sehingga kalau saya pinjam sesuatu akan dipinjamin, karena saya pun begitu sama orang lain.”
“Maaf Mas, saya tersinggung dengan ucapan Mas...”
Anak yang kutaksir umurnya baru delapan belas tahunan itu tersenyum kecut. Lalu meminta maaf.
“Ya udah Mas, mungkin saya yang salah, sepurane yo.”

Langsung kutarik gas motor dan melaju dengan hati yang terluka #hiks. Untunglah kata yang keluar bukan diksi novel yang sulit dicerna, sehingga dia harus membuka kamus untuk tahu artinya apa. #halah

Tetapi, tidak. Ketika tengah melaju, hati kecil saya berkata: kenapa harus terpengaruh akan ucapannya, yang memilih hati saya akan bahagia atau tidak, ya saya sendiri. Jadi saya pilih untuk control-alt-del rasa sakit hati dan memilih mensyukuri bahwa saya masih diberi peringatan oleh- Nya. Bahwa saya masih disadarkan dari sifat naif yang akut.

Lebih bersyukur lagi, ketika sampai di rumah, ada lelaki baik hati yang dadanya selalu tersedia untuk saya menangis, telinganya siap untuk mendengar muntahan unek-unek yang kalau dipikir-pikir: ah, cuma gitu aja, kok.

Tetapi, kadang wanita hanya butuh didengarkan, tanpa disela, tanpa dihakimi ( syukur-syukur kalau dapat pelukan dan puk puk puuk :p  ). Pokoknya, just listen! Itu akan membuat wanita merasa lebih baik, dan pada akhirnya toh dia bisa menilai dengan adil. Karena merasa lebih baik itulah, akhirnya saya bisa menuliskan ini untuk diambil hikmahnya oleh teman-teman. Anda tak harus mengalami, cukup belajar dari pengalaman orang lain.

Pada akhirnya, kalau dipikir-pikir, dia tidak salah. Adalah hak dia mau pinjamkan atau tidak. Tapi caranya menolak dengan menyangka saya akan menghipnotis itu yang salah. Sebab, sebagian prasangka itu dosa. Apalagi faktanya saya tidak seperti yang dipersangkakannya.

Ya, demikian lah cerita saya...





Senin, Oktober 17, 2016

KALAJENGKING

“Sial betul! Ban motor bocor, uang tak terbawa! Huh, kota apa pula ini! Bukan main panasnya!”
Datang tanpa salam, kemudian kau mencerca ciptaan Tuhan. Sepertinya pagimu berantakan, hingga menyapa kerumunan kawan dengan keluhan. Oh, tetapi, tidak...Seperti hari kemarin, tiada yang indah dalam penglihatanmu, kau selalu dapat menemukan cela pada apapun.
            .
            Lalu, alih-alih merasa kasihan, kurasa mereka malah senang dengan kemalanganmu.
            “Aku ada kuliah. Sampai ketemu nanti sore, ya?!”
Tak butuh waktu lama untuk membubarkan satu demi satu kawan. Sepertinya, mereka telah menyiapkan alasan untuk berpamitan, meninggalkan aku yang terperangkap dengan manusia langka ini. Sayangnya, kau tak pandai membaca isyarat bahwa tiada seorangpun sudi berlama-lama denganmu.
.
Bagaimana tidak, sebab kau serupa kalajengking. Dengan segala kata serapah berbisa dari mulutmu, kau menakutkan, menyengat siapapun tanpa pandang bulu. Kau tak kenal sesuatu yang bernama sakit hati, dan alpa bahwa manusia punya emosi. Jika sadar akan dirimu saja tidak, bagaimana bisa berharap kau meminta maaf pada hati yang  tersayat. 
.
“Sial! Teriknya matahari hari ini, sampai mataku sakit!” rungutmu kesal.
Sakit? Tidak, kamu tak tahu rasanya sakit. Apa pernah kau mengambil waktu untuk berpikir akan ucapanmu kala itu? “Kau ini pinjam, atau minta? Tak bosankah jadi orang miskin?”
Kalimat yang membuatku mendendam pada nasib. Juga, padamu.
            .
“Hei, sepagi ini sudah melamun!”
Tidak, jangan sebut aku melamun. Aku tengah berpikir apa balasan sepadan untuk mala seperti dirimu.
“Jangan kau pergi kuliah dengan galau di jiwamu.” Kau tertawa mengejek. Seolah kau orang paling bijak di muka bumi.
“Makanya, jangan boros. Supaya kau tak kehabisan uang di tengah bulan begini.” tambahmu. Tanpa jawab, kau masih berkata-kata. Duhai, betapa kau telah kehilangan kepekaan. Kau tahu? Kini kau bahkan berbakat menjadi paranormal yang mampu menerka.
            .
Lalu, kau mulai memamah sarapanmu. Aku mulai menghitung, dalam detik ketiga kau pasti akan menyumpah.
“Fyuh, asin! Pantas nasibnya tak berubah, gorengan asin begini dia jual, siapa yang mau beli?!”
Kau merepet tanpa jeda. Betul, kan? Aku tak pernah salah mengira dirimu.
“Orang ini, mau uangnya saja. Tapi, miskin inovasi, ikut-ikutan. Masa jualan gorengan dari dulu sampai jaman mau kiamat masih begini. Tak kreatif.”
            .
Telingaku mulai panas. Ada hangat yang menjalar pelan menggerayangi badanku. Sepertinya, energi negatif yang dihembuskan kata-katanya mulai merasukiku. Aku memutar otak, mencari cara melarikan diri dari lelaki pengumpat ini.
            .
Aku beringsut sambil membenahi buku, kemudian bangkit. Tak ada gunanya mendengarkan seorang yang ucapannya bak comberan.
.
“Hei, mau kemana? “sergahmu sambil menarik tanganku.
Kutolehkan kepala, tanpa sadar kutangkap matamu. Untuk pertama kalinya, kulihat sesuatu yang kosong tanpa kuasa. Aku tertegun menyaksikan kepongahan sekaligus kelemahan berpadu dalam pandangan yang meminta. Ada sesuatu di balik matamu, yang entah bernama apa.
.
“Tolong jangan pergi, aku tak ada kawan.” pintamu seraya menundukkan kepala. Serupa anak kecil yang ketahuan mencuri mangga, kau terlihat salah tingkah.
.
Kulepaskan tanganmu perlahan. Lalu, duduk menjejerinya. Entah dari mana datangnya, sejak menatapnya, sebentuk iba menyerbu relung batinku. Ada sisi hati yang berkata: beri dia waktu, kenalilah dia. Mungkin kau akan mafhum mengapa dia jadi serupa binatang yang kau sebut itu. Sebab, selalu ada alasan untuk sebuah tindakan.
.
Baiklah, kumaafkan kau kali ini, demi menguak sisi baik yang mungkin masih tersisa. Karena sebenarnya, manusia selalu punya dua sosok dalam dirinya. Tak pernah selalu sempurna, pun mustahil selalu alpa.
 .
Sambil mengunyah gorengan asinmu, aku berkata, "Ceritakan padaku tentang ban bocor itu...”





Jumat, Oktober 14, 2016

Tak ada kawan abadi,
Tak ada lawan abadi,
Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi...
....
Familiar dengan kalimat di atas? Dalam dunia politik, kalimat tersebut sangat sesuai, dan sudah terbukti benar. Di Pilkada periode lalu berkoalisi, tetapi bercerai di periode berikutnya. Konflik kepentingan menjadi penyebab retaknya hubungan politik.
.
Demi terwujudnya kepentingan politik, apapun dilakukan asal menguntungkan dan tentu saja ujung-ujungnya ditunggangi kepentingan subyektif. Kepentingan parpol bukan lagi soal mana yang lebih memihak rakyat yang telah memilih mereka. Bahkan, atas nama kepentingan, membela kawan harus dilakukan dengan segala cara, meskipun kawannya terduga kuat salah, biarpun caranya bertentangan dengan kebenaran yang mutlak sekalipun.   
.
Dan, inilah lakon dagelan politik hari ini, dimana seorang ketua tim sukses calon incumbent Gubernur DKI Jakarta dengan sangat berapi-api membela calon tersebut yang melakukan kesalahan. Kesalahan yang tidak tanggung-tanggung menyakiti hati umat muslim di negeri ini. Ironisnya, dia sendiri adalah seorang muslim.
.
Saya tidak akan bicara tentang Ahok, tidak heran kalau dia mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu karena dia bukan muslim. Besar kemungkinan karena Ahok tidak paham Al-Qur’an dan tentu saja karena berbeda keyakinan, tidak ada yang ditakutkannya jika dia berbuat sesuatu terhadap Al-Qur’an.
.
Yang saya herankan justu pembelanya, dimana terlihat jelas dia telah menutup mata hatinya, cinta buta. Sehingga kesalahan yang diperbuat Ahok, yang sebenarnya melukai agamanya, bisa dimaklumi bahkan dicari pembenarannya, seolah bukan kesalahan. Entahlah apakah hatinya juga membenarkan pembelaannya atau tidak, kita harap tidak. Ditambah dengan attitude yang sangat merendahkan dirinya, dengan bahasa lisan dan bahasa tubuh yang tidak pantas. Apalagi ditujukan kepada para ulama yang seyogyanya paling dihormati dan disegani karena kedalaman ilmunya.
.
Dengan mempertontonkan akhlaknya yang demikian, sebenarnya kita dapat mengukur seberapa tinggi derajatnya. Pepatah bilang ”your attitude show your altitude.”
.
Dewasa  ini, makin banyak orang pinter yang keblinger, dimana pemikiranya  campur baur dengan pemahaman yang salah, tetapi dia yakini dan dia pertahankan. Bahayanya lagi, kemampuannya bersilat lidah membutakan hati orang yang lemah iman dan akal. Kemahiran bermain logika membuat apa yang salah terlihat benar.
.
Mungkin Nusron Wahid, sang pembela itu, lupa bahwa pada dasarnya manusia tak ingin terlihat salah, pun untuk orang yang jelas terlihat bersalah. Itulah sebabnya pengadilan Margriet atas dugaan pembunuhan Angeline berlarut-larut, atau sidang kopi Jessica bagai mengurai benang kusut. Nusron berpendapat bahwa yang mengerti maksud ucapan Ahok ya, Ahok sendiri. Masalahnya, sekalipun Ahok ditabayyun, ia bisa saja mengatakan bahwa dia tidak bermaksud melecehkan. Terbukti kan, akhirnya Ahok meminta maaf dan mengatakan dia tidak bermaksud melecehkan Al-Qur’an.
.
Pernyataan Nusron itu sebenarnya blunder. Bertentangan dengan pendapatnya sendiri yang mengatakan bahwa agama itu harus logik, harus masuk di akal manusia. Padahal dengan mengatakan bahwa hanya Allah lah yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, peran logik menjadi nol, sebab manusia tidak boleh berpikir menafsirkan Al-Qur’an. Benar-benar paradoks.
.
            Ditambah lagi, ternyata dia menggunakan tafsir hermeunetika, yang bahkan oleh para Orientalis disepakati bukan untuk menafsirkan keislaman. Dengan demikian, pembelaannya itu berdasar pada sandaran yang sangat lemah, mau diputar balik seperti apapun, kebatilan pada akhirnya akan kalah. Itu hanya soal waktu saja.
.

Akhirnya, karena pada dasarnya yang bisa menilai amalan hati hanya Allah, manusia hanya bisa menilai amalan jasad. Soal Ahok bermaksud atau tidak, biarlah jadi urusan dia dengan Allah. Yang menjadi urusan manusia adalah: faktanya Ahok bicara seperti itu, yang jika ditinjau dari kajian linguistik terbukti benar bahwa Ahok telah melecehkan Al-Qur’an. Karena amal jasad itulah dia dihukumi. Sebab kalau tidak, hukum menjadi tak bernyali di negara ini. Maka bersiap-siap lah negeri ini menuju kehancurannya. Wallahu’alam bishawab...

                              

Jumat, Oktober 14, 2016

Hanya sebuah catatan kecil...

“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” ( Q.S Al-Isra:27 )

Ayat di atas, sudah hafal banget dari sejak belum menikah. Tapi ternyata hafal bukan jaminan kita mampu mengamalkan. Buktinya, sampai hari ini saya masih banyak melakukan kemubadziran.
.
Dimulai sejak pagi, pas beresin meja makan. Ada sisa makanan di piring-piring kotor. Artinya, ada yang makannya ngga habis. Langsung buang. Lanjut beresin gelas-gelas, banyak juga yang masih ada isinya. Tapi, masa iya mau diminum sisa semalam? Akhirnya, langsung buang. Habis itu, buka kulkas, deh. Nemu buah yang udah layu sebelum dimakan, nemu sayur kemarin janjinya ( dalam hati ) mau dimasak, ternyata sudah busuk.  Langsung buang ( lagi )...
.
Ngga hanya itu, lampu kamar mandi ternyata nyala semalaman, air kran menetes nggak pas di bak penampung, akhirnya terbuang percuma berjam-jam.
.
Begitu anak-anak bangun dan mulai mandi, kemubadziran pun dimulai lagi. Kali ini jauh lebih banyak.
Itu baru pagi hari, padahal hari masih panjang...
Itu baru satu hari, padahal hari-hari sebelumnya telah banyak kemubaziran yang dilakukan tanpa kita sadari, apalagi kita sesali, saking terbiasanya akhirnya seperti jadi hal yang lumrah.
Padahal, jelas-jelas mubadzir temannya syetan...
Astaghfirullah, betapa banyak dosa-dosa bertumpuk kerana hal-hal kecil yang diabaikan, belum lagi dosa yang lain. Padahal, karunia dan kasih sayang  Allah tercurah setiap detik , pun jarang kita sadari dan apalagi kita syukuri.
Astaghfirullah, semoga catatan ini menjadi awal kesadaran diri untuk tidak lagi menjadi kawan syetan dalam pemborosan. Mari sama berdoa agar Allah jauhkan kita dari sifat mubazir.


Kamis, Oktober 13, 2016

Ruma dan  Henpon
“ Cuma segini?!“ tanya Ruma sambil membeberkan lima lembar uang lima puluh ribuan di meja. Keningnya berkerut, bibirnya cemberut. Andaikan mukanya dicelupkan ke dalam air, seketika berubah asam lah air itu.
.
            “Kau tak ingat hari dan tanggal berapa sekarang? Kita berjualan di pasar, bukan di mall. Tidak ada orang pergi ke pasar di hari Senin tanggal tua begini.” balasku membela diri. Melayani pembeli sejak jam enam pagi di lapak panas bercampur bau segala rupa ikan, sayur busuk, dan keringat kuli angkut membuatku sangat lelah dan ingin segera memeluk mimpi. Tapi bukan Ruma kalau belum menguliti habis diriku sepulang berjualan. Termasuk menginterogasi dengan siapa aku bersenda gurau mengusir jenuh di tempat pengap itu.
            .
            “Kalau begini terus, bisa gulung tikar kita, bah!” sungutnya.  Kemudian, ia mulai mencatat di buku lusuhnya. Aku hanya meliriknya sekilas sebelum mulai menyantap makan malam yang belum berganti menu sejak tadi pagi. Atas nama penghematan, urusan selera pun harus mengalah.
.
            “Jaman sekarang, orang tak perlu keluar rumah sekadar untuk beli baju. Onlin. Semua serba onlin. Kau tau? Pake internet itu!” jelasku mencari alasan.
“Makin malas saja mausia sekarang, semua mau dibelinya lewat henpon. Lama-lama dia beli terasi pun pake henpon.” sambutnya sinis.
“Bah, sudah lama itu! Jangankan terasi, rumah pun bisa dibeli dengn onlin.” kataku dengan semangat sampai nasiku muncrat.
.
Perempuan itu mencibir. Dia memasukkan uang hasil berjualan hari ini ke dalam kotak tabungan. Kepalanya menggeleng-geleng, takjub dengan merosotnya omset belakangan ini.
“Pantaslah makin banyak yang butuh obat pelangsing. Macam si Maryati itu.” sindirnya seraya mengerling kepadaku. Aku acuh tak acuh, berpura-pura menikmati makan.
“Kurasa, kita harus jualan pake onlin juga...” kataku di sela-sela memamah. Kulirik istriku, menerka reaksinya. Dia menoleh padaku sekilas, lalu kembali sibuk mencatat.
“Maksud kau itu apa? Kau minta henpon canggih macam punya si Boni itu?”
            .
            Boni, anak semata wayangku tiba-tiba bersuara “Henpon begini dibilang canggih? Yang Mamak belikan ini sudah ngga suport aplikasi terbaru. Mak tahu tidak, habis aku dibully kawan-kawan aku karena hapeku tak aptudet.” gerutunya.
“Masih bagus kau kubelikan henpon. Daripada kau pake telepati untuk hubungi kawan-kawan kau!” sergah Ibunya cepat.
.
Boni menyeringai seraya melirik ibunya gemas. Aku menahan ketawaku. Rupanya istriku melihat gelagatku, maka selanjutnya aku lah yang disemprotnya.
“Kau, punya henpon lama saja, habis duit aku buat kau telpon-telponan sama si Maryati, bagaimana kalau kukasih kau henpon canggih? Bisa kau jual lapak aku buat kasih makan henponmu itu.”
            .
Aku terbatuk, istriku masih saja mengungkit kesalahanku yang pernah jadi tempat curhat janda muda itu. Hanya curhat, tidak lebih, tapi karena curhatnya pakai henpon, jadi berkuranglah setoran uang hasil jualan untuk beli pulsa.
“Kalau begitu, terima saja lah uang yang kukasih, tak usah kau protes!” kilahku santai.
            .
Istriku termenung. Jari tangannya mencubiti bibir yang maju beberapa senti, keningnya berkerut, mungkin dia sedang mempertimbangkan usulku. Dimiringkanya kepalanya ke kiri, lalu ditegakkan lagi, kemudian menggeleng-geleng.
.
Aku mengunyah lambat-lambat sambil mencuri pandang padanya. Berharap dia mendapat wangsit untuk meluluskan proposalku.