www.zahracollection08.blogspot.com
Pernah dengar istilah moci? Istilah ini sangat familiar di kota kelahiran saya, Tegal. Moci artinya minum seduhan daun teh yang disarikan dalam teko (poci) yang terbuat dari tanah liat. Dalam keadaan panas, air teh dituang ke dalam cangkir tanah liat yang telah diisi dengan gula batu sebagai pengganti gula pasir. Rasanya? Hmm...jangan ditanya, sebaiknya rasakan sendiri. Perpaduan air teh panas yang menebar aroma wangi bunga melati dengan manis gula batu yang khas menghasilkan sesuatu yang disebut wasgitel (wangi, panas, legi, kentel).
Pernah dengar istilah moci? Istilah ini sangat familiar di kota kelahiran saya, Tegal. Moci artinya minum seduhan daun teh yang disarikan dalam teko (poci) yang terbuat dari tanah liat. Dalam keadaan panas, air teh dituang ke dalam cangkir tanah liat yang telah diisi dengan gula batu sebagai pengganti gula pasir. Rasanya? Hmm...jangan ditanya, sebaiknya rasakan sendiri. Perpaduan air teh panas yang menebar aroma wangi bunga melati dengan manis gula batu yang khas menghasilkan sesuatu yang disebut wasgitel (wangi, panas, legi, kentel).
Tegal dan Slawi (kabupaten Tegal), sejak dulu terkenal sebagai penghasil
teh yang enak. Sebut saja merek terkenal Sosro dan Tong Tji, keduanya produksi
perusahaan teh di Tegal. Ada pula merek Poci, Gopek, Dua Tang dll. Pasti anda
tak asing dengan merek-merek tersebut, kan?
Sewaktu kecil dahulu, sekira umur tujuh tahunan, pabrik-pabrik teh ini
sering mengirim “tim marketing” yang terdiri dari orang-orang yang “unik” untuk
mempromosikan teh mereka. Unik karena pada umumnya mereka bertubuh sangat mungil
alias –maaf- cebol (cepot) atau malah sangat jangkung seperti gendir (galah).
Mereka biasanya terdiri dari tiga hingga lima orang, datang dengan mobil
carry, turun di perkampungan, kemudian dengan toa di tangan mulai menarik
perhatian masyarakat. Ada yang menyanyi, menari, dan ada juga yang membagikan
sampel teh. Biasanya cara ini manjur untuk menghasilkan pembelian secara masif
dari masyarakat. Lain waktu, akan datang lagi serombongan tim cepot/jangkung
dari pabrik teh yang lain. Sepanjang yang saya ingat, cukup sering juga mereka
datang menyambangi kami untuk berpromosi.
Bagi kami yang hidup terpencil di kaki Gunung Slamet, kedatangan mereka
adalah hiburan tersendiri. Anak anak berkeliling menikmati sajian hiburan dari
manusia unik yang tidak pernah mereka lihat sehari-hari. Ibu-ibu terpikat wangi
dan sepet teh yang menggoda. Bapak-bapak manyun karena uangnya diminta si ibu
untuk beli teh :D. Oleh karenanya, kedatangan mereka selalu dinanti.
Ngeteh adalah lifestyle di kampung saya, kalau tidak bisa dikatakan ritual
di Tegal. Makanya, sebagai orang Tegal, tidak lengkap kalau tidak ngeteh. Minum
teh adalah rutinitas saya sebelum memulai hari. Secangkir cukup, kalau lagi kalap
bisa dua-tiga cangkir. Ditambah gula pasir secukupnya, nikmatnya teh Tegal bisa
sedikit mengobati kangen pada kampung halaman. Kalau lagi khilaf, saya bisa
langsung makan daun tehnya langsung tanpa diseduh. Kok bisa? Ya, namanya juga
khilaf, semua bisa terjadi, kan? Hehehe....
Selamat menikmati teh Tegal yang laka-laka. Selamat kalap dicandu teh
Tegal :)