DITAMPAR SAFAR

Kamis, Mei 25, 2017



Di jaman akhir seperti sekarang ini, mendapati orang-orang yang masih yang menegakkan aturan-Nya, ibarat menemukan berlian di tengah lumpur. Orang–orang yang terasing karena berbeda, berbeda karena memilih jalan yang tidak populer, jalan kebenaran yang sepi dari hingar bingar kesenangan dunia.
Mereka salah satunya, guru-guru dan yayasan sekolah tempat anakku, Hisyam, menimba ilmu di Sidoarjo.
Begini ceritanya...

Beberapa waktu lalu, sekolah berencana mengadakan rihlatulwada (rekreasi perpisahan) yang diikuti oleh murid kelas enam, orang tua murid, dan  para guru. Karena sifatnya wajib, maka saya dan suami sepakat dari jauh-jauh hari untuk ikut dalam rihlah tersebut. Meskipun sebenarnya ada sedikit kekhawatiran jika tiba-tiba suami mendapat tugas ke luar kota. Tapi, seandainya harus sendirian menemani si sulung pun, saya sudah siap. Sekali-kali ngga apa-apa, pikir saya.

Benar saja, kekhawatiran saya terbukti. Karena memang pada dasarnya suami sangat sering keluar kota dengan pemberitahuan yang mendadak dari kantornya. Dua hari menjelang hari H, qodarullah suami mendapat tugas ke Banten. Meski kecewa, saya siap menemani si sulung sendirian dengan membawa si bungsu.
Singkat cerita, setelah sebelumnya memberi kabar lewat watsapp, saya menghadap ke wali kelas untuk membatalkan keikutsertaan suami. 

“Jadi, gimana Um? Suaminya bisa ikut?” tanya ustadz, wali kelas anak saya.
“Maaf, Ustadz, tetap nggak bisa ikut sepertinya, soalnya baru pagi tadi berangkat ke Banten dan baru akan pulang besok malam.”
“Ya sudah, Um. Bagaimana lagi, kalau begitu nggak apa-apa Hisyam sama uminya saja.”
Saya hanya mengangguk.
“Oh iya, Um, Hisyam sudah baligh kan, Um?”
“???”
“Belum, Ustadz.” jawab saya polos.
Ustadz terdiam beberapa saat lamanya.
“Wah kalau belum, Umi ngga bisa pergi. Karena jarak Sidoarjo-Malang ini sudah masuk kategori safar, jadi harus ditemani mahram. Hisyam belum baligh, belum bisa jadi mahram buat Umi.”
Ngek ngok...

Saya bengong, takjub, kaget, haru, sekaligus malu. Ya Allah, seperti ditampar muka saya saat mendengar penjelasan ustadz. Berada di lingkungan islami bukan sekali ini saya alami, saya bahkan pernah mengajar di sekolah islam yang cukup nyunnah, tetapi tidak pernah ada yang tegas mengatur masalah mahram bagi guru perempuan yang ikut dalam safar. Saya pun tidak pernah memperhatikan aturan Allah tentang hal ini. Betapa sering saya bepergian tanpa suami atau saudara laki-laki atau bapak (ketika masih gadis), padahal jaraknya jauh.  

Padahal Allah sudah mengatur tentang hal ini....
“Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahromnya. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (hal. 978) dan Ahmad I/222 dan 246]

            Astaghfirullah...
            Hari itu, di tengah kekecewaan karena tidak jadi ikut rihlatulwada, terbersit syukur karena Allah memberi saya pencerahan dan peringatan melalui peristiwa tersebut. Alhamdulillah, saya berada di lingkungan orang-orang yang masih istikomah menegakkan aturan Allah. Semoga Allah memberi saya kekuatan untuk mengamalkannya juga, aamiin.

You Might Also Like

5 komentar

  1. Wah bagus banget pemahamannya dan penerapannya...

    Sekolah mana tuh mbak

    BalasHapus
  2. Uwow...aku sering pulang pergi kemana-mana sendiri... Gimana dong mi?
    Nyampe tempat tujuan dijemput mahrom juga sih...kalau selama perjalanan biasanya ya cari teman sesama muslimah..gitu aja.. :-(

    BalasHapus
  3. Masyaallah...berkahh berkahh insyaallah. Keren sekolahnya💜💜

    BalasHapus
  4. Subhanallah... Sekolah saya pun belum memperhatikan sampai sana teh..

    BalasHapus