SATE

Kamis, Februari 16, 2017

Pukul sembilan malam, suamiku belum juga pulang. Perut sudah berdemo sejak pukul tujuh tadi. Tetapi, suamiku berjanji akan membawakan sate untuk lauk makan malam, jadi walau lapar dan kantuk mendera, aku setia menunggunya.
Kucoba mengusir kantuk dengan membaca, tetapi sepertinya itu malah menjadi pengantar tidur yang dalam. Aku terkantuk-kantuk, ditingkahi suara detak jam yang menggema. Ingin rasanya pergi tidur kalau tak ingat perjuangan suamiku membelikan sate, lalu membelah macetnya kota untukku.
Tetapi, di tengah hujan yang mengguyur begitu deras, ditambah angin kencang, sepertinya ia akan datang ketika malam telah larut.
Ketika jarum jam menunjuk angka sebelas, aku mendengar jejak kakinya menapak teras, kemudian ketukan di pintu. Girang, aku bergegas membukakan pintu. Benar saja, ia pulang dengan bungkusan di tangan. Meski pulang begitu larut, tetapi tak terlihat raut muka lelah dan tempias hujan di wajah dan badannya. Ia tersenyum samar, lalu menyerahkan bungkusan itu padaku. Melewatiku yang belum mawas benar akibat kantuk.
“Abang sudah makan?”
Ia mengangguk, sambil melepas jaketnya. Ia memberi isyarat tangan hendak ke kamar mandi.
“Dimana motor Abang?” tanyaku, yang dijawabnya dengan lambaian tangan tanpa melihat kepadaku. Mungkin sebaiknya aku menunda bertanya, ia sangat lelah.
Setelah menutup pintu, kuikuti jejaknya ke dapur untuk mengambil piring dan sendok, sementara ia telah masuk ke kamar mandi.
Aku telah memintanya membelikan sate kambing balibul ini sejak kantor bubar jam lima tadi. Jadi, napsu makanku menggebu ingin segera menyantap hidangan khas kota kelahiranku. Meski heran karena suamiku tak terdengar segera mandi, aku tak peduli. Janin di perutku sudah ngiler meminta tuntutannya.
Kubuka bungkusan sate yang menguarkan wangi bumbu kecap bawang. Sedap. Masih dapat kuindera hangat daging sate, seperti baru matang beberapa saat yang lalu. Uh, baguslah, masih hangat. Meski dibeli sejak sore tadi, tapi sampai jam sebelas masih hangat. Bukankah itu bagus? Atau... mengherankan?
Sebentuk rasa asing merayapi hatiku. Semilir angin yang menerobos masuk dari celah jendela terasa begitu dingin menerpa pipiku. Aku mencoba menalar.
Pertama, suamiku datang tanpa salam seperti biasanya, kedua ia tak membawa motornya, lalu dia masuk ke kamar mandi tapi tak terdengar sedang mandi. Dan sate ini, dibeli sejak jam lima lalu, tetapi masih hangat?
Sesuatu yang tidak semestinya sedang terjadi.
Aku mengelus perutku, membaca apapun yang kuingat.
Ketika takut mulai menguasai diri, suara deru motor menyentak sekaligus menenangkan, itu deru motor suamiku!
Aku berlari keluar, mendapatinya yang tergopoh mendorong motor ke garasi, dengan tubuh basah oleh hujan.
Melihatku pucat pasi, ia mengerutkan dahi.
“Bunda? Kenapa kamu?”
Aku menunjuk ke dalam rumah dengan gugup.
“Seseorang...datang sebagai dirimu. Dia di kamar mandi...”
Tanpa menunggu aba-aba, ia melesat menuju kamar mandi yang tertutup. Membuka pintu dan mendapati ruangan kecil itu kosong. Pun, nihil ketika kami mencarinya ke ruangan lain. Ia tak mungkin keluar lewat jalan lain, karena satu-satunya pintu keluar adalah pintu depan rumah. Seketika bulu kudukku meremang...
Di ruang tamu, kulihat sate itu telah menjadi daging dengan taburan belatung...



You Might Also Like

4 komentar

  1. Idiiiih sereeem mba.... pernah ada kejadian serupa pasangan keluarga baru teman saya. Sereeem banget. Harus hapal tabiat suami ya kalau bgitu....

    Cerpennya mantaaab

    BalasHapus
  2. selalu ada kejutan dlm akhir tulisan mb Mab.
    ditunggu tulisn berikutnya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...aamiin semoga ada ide lagi :) makasih mba nur mampir selalu ke rumah saya...

      Hapus