JANTUR ARCA KALA SENJA

Jumat, Januari 20, 2017

Dari tempatku terpasung, kulihat engkau mematung. Dari balik pintu masuk yang terkunci, engkau enggan pergi. Menatap lurus ke arahku, sorot matamu memendarkan ribuan tanya tanpa jawab. Pada arca, batu, relief, bahkan angin yang meniup jejak sejarah hari ini dan kemarin. Pendar itu bertanya: engkaukah andesit dari masa silam? Mengapa mereka memahat sedemikian rupa? Siapakah pemahat arca-arca ini? Para abdi lugu yang setia pada Sang Prabu? Atau jelmaan jantur Bandung Bondowoso yang kasmaran pada Sang Dewi?

Pagar itu, ditembus dengan selembar lima puluh ribuan, uang kertas dari jamanmu yang menggelikan. Gapura itu, bukan hanya sekat antara pemukiman dan candi, tetapi sekaligus ambang antara dunia maya dan nyata, juga batas antara digdaya masa lalu dan kepongahan masa kini.

Jangan bertanya kala baskara tengah berpendar terang. Kembalilah kala malam telah dipeluk gelita. Akan kukabarkan kisah raja dan karisma, para patih dan siasat taktik, para selir dan perseteruan hati,  para punggawa dan syakwasangka, hingga abdi dalem dengan patuh yang penuh.

Sesungguhnya, aku membenci gelap membungkus malam. Datanglah kembali agar aku tak dikurung sepi, ditawan angin, dipecundangi dedemit masa lampau yang berpesta hingga pagi.

Sesosok makhluk tak kasat mata melintas di hadapanku. Kupinta ia mengikutimu, lelaki dengan tanda lahir di tangan kiri, lelaki terakhir yang meninggalkan jejak di area candi. Bawa jiwanya kemari, aku ingin membunuh malam dengan bercengkerama hingga dini hari. Biarkan ia menembus lorong waktu, menuju jaman kejayaan silam yang memukau. Percayalah, dahaga rasa ingin tahunya akan terpuaskan, setelah mereguk air telaga kahyangan.

Aku akan bersiap, menyambutnya dengan alunan gendhing melenakan, aroma dupa dan wewangian dan sajian terbaik dari masa lalu yang memabukkan.





You Might Also Like

5 komentar