PAK SAMIN

Selasa, Februari 07, 2017

Pak Samin. Aku dapat mengenalinya bahkan dari kejauhan. Topi lusuh hitam yang telah jadi kelabu. Tubuh legam dan berkerut merut dengan urat nadi serupa kabel bertonjolan di sepanjang lengannya. Rambut sewarna topi, juga mata hitam besarnya yang kenyang menjadi saksi peristiwa. Dari hijau kebun kakeknya yang jadi sumber pengidupannya sejak kecil, hingga datangnya buldozer yang kemudian meratakan rumah dan kebun itu dengan tanah.
Ketika ia mendekat, ia makin mudah kukenali, walau dalam gelap. Baunya yang khas. Jelas itu bukan aroma manusia kebanyakan. Ia bau sampah.
“Hei, Mat. Kapan datang?” sapanya dengan senyum samar.
“Baru aja, Pak.”
Ia melempar topi abu-abunya. Sambil berdehem, ia duduk berhadapan denganku, menumpukan tangan kanan ke lutut yang ditekuk.
“Gimana jualanmu?“
“Lumayan. Agak sepi.”
“Bawa apa itu?” Ia menunjuk keresek hitam di meja, yakin betul bahwa itu dariku.
“Cuma serabi, Pak.”
“Kalau ke sini, bawa diri aja. Lihat kamu sehat aja udah seneng. Uangnya ditabungin buat nambah modal.”
Aku meneguk ludah. Aku hanya ingin menyenangkan hatinya dengan oleh-oleh yang tak seberapa. Keuntungan jualan pernak pernik dengan gerobak dorong hanya cukup untuk menyokong hidupku sendiri. Uang sewa rumah petakan, makan, pulsa dan kebutuhan lain.
Ia melempar hawa berat dari hidungnya. Sedikit terengah dan payah. Di usia senjanya, ia masih mendorong gerobak bermuatan sampah dari komplek perumahan mewah tepat di sebelah rumah. Keringat bercucuran di dahinya yang kasar dan hitam terbakar matahari. Sang surya memanggang sempurna apapun yang menantangnya di tengah hari.
“Bapak apa kabar?” tanyaku sekedar membuka obrolan. Tentu saja, bergelut setiap hari dengan sampah tak mungkin membuatnya makin sehat. Lihatlah ia yang menua, bau, dan kotor. Ia sering limbung diserang sakit. Saat ambruk, barulah semua orang mencarinya, menyadari manfaat keberadaanya.
“Alhamdulillah...” jawabnya pendek. Ia meraih selembar potongan kardus dan mulai berkipas.
“Emak kamu masak apa?”
Aku menggeleng. Emak sibuk di dapur sejak kedatanganku.
Ia meraih sebungkus plastik dari meja kecil di sampingnya. Diambilnya empat butir obat dari bungkus yang berbeda, kemudian ditenggaknya dalam sekali minum.
Aku menunduk dalam, sambil menelan ludah yang terasa pahit.
Aku mungkin miskin, tak berpendidikan. Tapi nuraniku masih merasakan sakit melihat ironi ini. Ia telah renta dan rapuh, tetapi karena aku tak dapat diandalkan, ia bangun pagi benar dan mengunjungi tempat sampah setiap rumah, kemudian memilah-milah, lalu pulang setelah menjual sampah pilihan pada pengumpul. Ia masih hidup dari sampah, di samping tanah pekarangan bekas milik kakek yang telah berpindah ke tuan tanah.
“Minum obat hari ini, besok tempur lagi sama biang penyakit.”
Ia terkekeh, menertawakan nasib

Aku menelan takdir. Pahit. 

You Might Also Like

6 komentar

  1. Ceritanya keren. Inspirasinya dari lagu apa mb?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lagu ebiet g ade, titip rindu buat ayah hehe...mksh sdh mampir mbak anee :)

      Hapus
  2. Miris. Masih terlalu banyak yg kek kini yh di negri kita -_-

    Ironi.

    BalasHapus
  3. saya suka deskripsinya. keren mbak ditunggu cerpen selanjutnya

    BalasHapus