TOPENG WARSIH

Jumat, Februari 17, 2017


Warsih mematut diri di depan cermin. Bibirnya yang merah mengulas senyum, ia puas dengan dandanannya hari ini. Meski sudah tak muda lagi, ia tetap cantik. Tak ada yang meragukan kepiawaiannya berhias dan memikat lelaki. Dengan penampilan sempurna, ia yakin akan mendulang banyak rupiah.
Sebelum beranjak, ia memeriksa lagi penampilannya. Kebaya biru, kain jarik batik cokelat muda, kerudung selendang merah jambu, sanggul dan korsase di kepala yang sebenarnya terasa berat. Tetapi, demi penampilan menarik, ia harus total.
Segera setelah yakin tak ada cela, ia menyambar tape recorder kecil lengkap dengan  mikrofon di tangan. Mengalungkan tas selempang kemudian bergegas keluar dari rumah petakannya menuju pasar.
Ia melenggang anggun, diiringi nada–nada melayu mendayu yang mengalun dari tape-nya. Dengan senyum menggoda, ia menyapa satu-dua orang yang menatap. Ia tahu, tak semua mata memandangnya dengan perasaan senang, lebih banyak yang mencibir, bahkan ada juga yang menertawakan.
Tetapi, ia acuh. Baginya semua pandangan orang tentangnya tak penting. Ia lapar, dan mengamen adalah cara terhormat untuk makan ketimbang meminta-minta tanpa usaha. Lagipula, mereka hanya iri dengan kecantikannya yang sempurna.
“Hai, Mbok Ti. Makin sehat aja...” ia menyapa tukang jamu. Kemudian, mulai menyanyi mengikuti lirik lagu dari tape-nya.
“Tuhan itu maha esa, Dia yang maha kuasa...“ suaranya parau meng-cover suara Ida Laila yang merdu. Ia tak peduli, meski suaranya tak enak didengar, yang penting ia bisa menyesuaikan nada. Setidaknya, itu membantu. Mengamen butuh mental baja. Ia harus berterimakasih pada pencipta kosmetik yang menolongnya menjadi diri yang lain, sementara dirinya yang malu tersembunyi di balik riasan tebal.
Belum selesai satu lagu, ia berpindah ke tukang nasi uduk setelah tukang jamu memberinya seceng.
“Eh, ya ampun! Gue udah bilang, cari pembantu buat bantuin elu ngelayanin pembeli. Biar gue ngga dikacangin gini...” sapanya sambil bergoyang kecil.
“Tuhan itu maha esa, Dia yang maha kuasa.“ suaranya masih menyanyikan reffrain lagu Ida Laila yang sama. Badannya meliuk pelan mengikuti irama.
Selembar seribuan diangsurkan tukang nasi tanpa meliriknya. Warsih terkekeh dan berterimakasih, kemudian berpindah ke tukang jahit.
Bang Udin si tukang permak, menyambut dengan bergoyang. Ia meraih tangan Warsih, lalu mengajaknya berjoget. Warsih tersenyum senang, melirik Bang Udin penuh arti, kemudian tertawa.
“Banyak orderan hari ini, Bang? Banyak dong saweran buat gue?’
Bang udin pura-pura tuli. Ia masih asyik berjoget.
“Suara rintihan, suara tangisan. Insan yang berdosa, hooo...”
Tapenya telah berganti lagu menjadi lagu siksa kubur. Selembar uang dua ribuan dikibas-kibaskan Bang Udin, memintanya lebih lama bejoget. Warsih melirik sebal, satu klien cukup lah satu menit, kalau perlu kurang dari itu. Uangnya sudah habis, paling tidak ia harus dapat lima puluh ribu rupiah untuk bisa bertahan hidup hari ini. Dan itu artinya masih banyak orang lagi yang harus didatanginya. Berlama-lama dengan lelaki penjahit ini akan membuang waktu.
Tetapi, klien tetaplah raja yang harus dilayaninya dengan sepenuh rasa.
Puas berjoget, lelaki paruh baya itu menyelipkan uang dua ribuan ke tangan Warsih. Warsih tersenyum senang, diakhiri dengan seringai sebal. Ia berlalu menuju tukang ayam.
“Hancur lebur tulangnya, serta hangus tubuhnya. Hancur lebur tulangnya serta hangus tubuhnya...”
Si tukang ayam makin bersemangat mengayun golok mencacah daging ayam demi mendengar lirik lagunya. Warsih terkekeh geli, selembar seceng beralih dari tukang ayam yang kotor dan bau itu.
Warsih mendekati tukang sayur. Seorang nenek dengan aneka rupa sayur yang masih segar.
“Nek, saya kasih lagu siksa kubur, biar inget masa depan ya, Nek. Udah tua, Nek, jangan dagang mulu!”
“Eh, Warsih! Kalau gue kaga jualan terus gue makan apa? “
Nenek yang masih awas menghitung kembalian dan jeli mengenali setiap pelanggannya. Padahal ia telah uzur.
“Lapaknya warisin ke cucu, Nek. ”
Nenek mengibaskan tangan. Tanpa menghiraukannya lagi, ia menyapa seorang wanita yang mendekati lapaknya. Warsih mulai berdendang sambil meliukkan tubuhnya.
Begitu seterusnya, hingga orang terakhir yang dihiburnya, seorang tukang sembako. Ia baru pulang ketika menjelang tengah hari. Melenggang tenang dengan sebungkus nasi dan sebungkus rokok.
Sambil berkipas di kontrakan yang pengap, ia menghitung sisa hasil mengamennya hari ini. Tiga puluh ribu rupiah, cukup untuk makan sampai sore nanti, juga menabung untuk membuka salon impiannya.
“Drrtt...drrtt!”
Telepon genggam Nokia-nya bergetar. Seseorang menelpon.
Warsih tak bersemangat begitu mengetahui lawan bicaranya. Adiknya di kampung, itu berarti emak ingin bicara dengannya.
“Ya, hallo...”
“Kang, ini emak mau ngomong sama kakang.”
Warsih mendengus.
“Hallo?!” Suara  emak di seberang telepon nyaring, “Hallo, Warso?”
Warso menyeringai. “Ya, Mak. Ini Warso!”




You Might Also Like

1 komentar

  1. Sosok Warso seperti ini juga banyak kita temukan di kelompok seni yang lain, seperti Ludruk.
    Hahaha

    BalasHapus