SABDA MATAHARI

Sabtu, Januari 21, 2017


Ia berjalan lamban, perlahan lenyap ditelan ufuk lautan. Pendar keemasan mencipta kilau gemerlap pada air yang bergelombang. Setelah lelah memanjat langit seharian, ia mundur berpamitan. Esok aku akan kembali, kawan, katamu kemudian. Sambil bersandar di remang malam, ia mulai berbincang....

 Sebenarnya, sebagaimana bumi yang lelah itu, aku pun penat, kawan. Aku telah meniti langit sejak milyaran tahun silam. Mematuhi titah Tuhan untuk berpendar tanpa jeda, demi kelangsungan hidup para makhluknya yang seringkali alpa. Merelakan diri terbakar, demi keseimbangan alam agar terus beredar. Membagi cahaya pada bulan yang muram,  memendarkan binar agar bumi menjelma siang. Aku mengenyahkan dingin yang dibawa angin. Bahkan memanggang setiap yang terpapar telanjang.

Aku sangat penting, tanpaku hidup berakhir. Aku mendidih bergolak, membara walau panasku tak seangkara neraka. Jika aku memanggang terlalu lama, manusia mengutuk. Tetapi, mereka menghujat bila ku tiada barang sehari saja. Sungguh, manusia yang membingungkan, keluhnya.

Aku telah purba, katanya dengan tercekat. Tuhan memperjalankanku dari timur ke barat dengan perhitungan yang cermat. Kadang kala ia membentangkan tabir di hadapanku, sehingga bumi menjelma gelap meski belum tiba saat. Manusia menyebutnya: gerhana.

Sungguh menggelikan yang mereka lakukan saat aku disembunyikan tabir. Tuhan buat perkara demikian, agar mereka mengingat-Nya dan takut pada pekat kubur tempat kembali mereka. Tapi, yang kulihat, upacara ritual di mana-mana, penyambutan tak wajar merata di setiap jengkal tanah, kentong ditabuh, hingga siaran langsung penampakanku ditingkahi analisa akurat imuwan dengan penjelasan yang menjemukan.

Mereka tak ingat Tuhan, yang menyingkap tabir itu kembali setelah beberapa detik gelita kubur dipertontonkan. Mereka tak sujud tunduk kepada-Nya, kecuali sedikit saja. Aku menangis untuk itu, kawan. Namun, Tuhan begitu pemaaf. Aku masih dititahkan untuk beredar lagi menemui wajah-wajah sombong mereka.

Ingin aku teriak, keluhnya lagi. Tuhan telah ingatkan, maka, camkan! Bahkan Nabi terakhir telah tunjukkan caranya, jadikan ia teladan! Mengapa sibuk dengan penjelasan dan penyambutan yang tak kubutuhkan, dan lupa mengingat Tuhan?

Aku matahari purba, sama seperti kalian, hanyalah ciptaan. Bukan sebab kelahiran, kematian, atau bencana yang menjelang, apatah lagi tuhan. Aku memberi peringatan agar kalian bersiap demi akhir yang selamat. Sungguh, kelak di hari dimana Tuhan berfirman ”terbitlah kau dari barat!” maka itulah saat yang telah dekat. Saat itu aku akan melebur bersama kalian yang tersesat dengan cepat. Meredup nyala dengan tepat, sebab aku dengar dan aku taat.

Ia tersedu. Aku terpaku, sendu menatapmu yang pilu. Bulan yang bersolek dengan sinarmu, bertengger anggun di ufuk timur. Mengawal malam berhias bintang, termasuk diriku.

Aku, salah satu yang berkelip malam ini, menuturkan pada kalian tentang sabda sang matahari. Sebagai pengingat bahwa alam telah begitu tua dan penat. Itu artinya, kiamat sudah sangat dekat...


You Might Also Like

2 komentar