MUTIARA TERBENAM-part 4

Jumat, Januari 20, 2017

Sore itu sepulang kerja, di warung mie bakso sekaligus rumah milik Fadli, teman baikku dan Ana.
“Nih, Bro! Minum dulu. Biar nggak bengong aja.”
Fadli mengangsurkan segelas besar jus alpukat kepadaku.
“Kamu kenapa sih, Man? Suntuk amat!”
Jus alpukat buatan Fadli sungguh nikmat. Kukecap dengan sepenuh perasaan.
“Istriku, Fad. Sudah dua hari ini dia diamkan aku.”
Dahi Fadli berkerut.
“Ana? Kenapa dia? Tumben...”
Kuceritakan kejadian sore itu kepadanya. Fadli, teman sekosanku dulu, juga teman sekelas Ana. Ia pula yang mengenalkan Ana padaku.
“Ya ampun, Bro. Kalau istri ngambek begitu, cobalah ambil lagi hatinya. Minta maaf, kasih sesuatu yang ngga bakal dia tolak, ajak bicara dari hati ke hati...” ia menasihati.
“Boro-boro, Fad. Ia melihat ke arahku pun nggak.”
“Jadi, sampai sekarang kamu nggak tahu dia marah karena apa?”
Aku mengangkat bahu. Ucapanku sore itu terlalu menyakitkan hatinya, kurasa. Ia terlalu sakit, sehingga memilih diam dan mulai bertindak tanpa sepengetahuanku. Menitipkan kedua anak kami ke ibunya dan pergi ke kampus. Begadang demi mengumpulkan berkas-berkas dan mengetik entah apa. Aku tak cukup nyali untuk bertanya.
“Kurasa, karena aku terlalu menyakiti hatinya. “
Fadli menggeleng. “Itu hanya pemicu, Man. Kamu harus gali lagi inti masalahnya.”
“Waktu itu dia sempat bilang, katanya aku menjadikan dia seperti upik abu dan nanny, sehingga dia nggak bisa menjadi ratu apalagi cendekia.” jelasku dengan mata kosong.
Fadli melongo, ia yang telah dua tahun ini resign dan memilih wirausaha di rumah bersama istrinya, agaknya paham apa yang diinginkan Ana. Sejurus kemudian ia mengangguk-angguk seolah telah mengerti.
“Perempuan itu sering lupa, bahwa tugas dan peran dia di dalam rumah tangga setara dengan berjihad. Meskipun perannya itu tidak gemerlap oleh pujian dan penghargaan, tapi sangat besar pahalanya, sangat berarti buat keluarganya.”
Kuacungkan telunjuk ke arahnya tanda setuju akan kalimat bijaknya.
“Tapi, jangan lupa. Mereka punya potensi yang menuntut ekspresi. Ana contohnya, dia itu bintang di kampus, siapa yang nggak kenal Ana? Dengan rutinitas pekerjaan rumah tangga yang nggak ada habisnya, memang akan membuatnya lambat laun merasa tidak berguna, karena tidak ada kesempatan bagi kecerdasannya  untuk berekspresi.”
Giliran aku yang melongo.
“Ya ampun! Rahman, jangan melongo begitu. Jelek!”
Mukaku memerah. Aku mengaduk minuman yang tersisa separuh.
“Aku tahu karena sudah melihat seperti apa istriku tiap hari melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Hampir ngga ada jeda dan ending. Ironisnya, semua pekerjaan itu nggak butuh keahlian mengolah persamaan integral diferensial. Modal untuk mengerjakan semua remeh-temeh itu adalah otot dan keikhlasan...”
Dia benar. Pun mengajari anak mengeja angka, ia lebih banyak memakai kreatifitas dan kesabaran ketimbang keahlian memutar balik logika.
“Untuk seorang Ana yang cerdas dan digadang-gadang menjadi seorang pakar yang sukses, berkutat dengan rumah tangga saja pasti sangat menyiksa. Ia butuh terus belajar dan mengalirkan ilmunya. Ia sekaligus butuh pengakuan, bahkan pujian.”
“Ya, dia pernah ingin meneruskan S-2, tapi...terbentur keadaan anak-anak yang masih kecil-kecil.” kataku bergumam.
“Harusnya kamu senang dia ingin mengambil peran untuk masyarakat. Kecerdasannya akan berguna untuk orang banyak.”
“Jadi, aku harus ngapain, Fad?”
“Kamu kasih dia asisten buat ngerjain pekerjaan rumah yang bisa didelegasikan. Atau kalau belum mampu, ya bagi tugas sama dia. Supaya dia masih ada waktu dan tenaga untuk mengekspresikan potensinya. “
Aku manggut-manggut.
“Yang penting, dia nggak melalaikan kewajiban terhadap keluarga, kan?” tambahnya.
            Ucapan Fadli terdengar mudah, tapi banyak pengalaman menceritakan betapa kerasnya perjuangan suami istri jika istri memilih berkarir di luar rumah. Berjuang untuk tetap teguh menjalankan peran masing-masing dengan sebaiknya, meski terseok. Berjuang untuk saling bantu dan mendukung meski jiwa raga sudah lelah. Mengalahkan ego, menyingkirkan emosi saat dihadapkan pada konflik sebagai konsekuensi pilihan mereka.
Banyak yang tertatih, namun tak sedikit yang berhasil.
Aku mengaca, melihat ke dalam hatiku.
            “Sepertinya, aku masih belum siap jika ia harus berkarir di luar rumah. Anak-anakku masih kecil dan aku belum bisa memberinya pembantu. Berbagi tugas pun aku tak sanggup. Aku sudah lelah bekerja seharian, Fad.”
            Fadli memandangku dengan empatik. Sejurus kemudian ia mengambil selembar kertas dan bolpen di tangan.
            “Atau begini saja...”
            Ia menulis, menggambar, mencorat-coret dengan cekatan. Ia jelaskan dengan gamblang rencana yang lebih masuk akal untuk diterapkan ke keluarga kecilku. Ia meyakinkanku bahwa delapan puluh persen rencana itu akan berhasil, sebab ia yakin Ana adalah temannya yang cerdas sekaligus baik.
            Ya, kuharap begitu.

Selepas maghrib, aku pulang dengan tersenyum. Warung pempek terkenal di kota ini jadi tujuan pertamaku sebelum pulang...

You Might Also Like

0 komentar