MUTIARA TERBENAM
Kamis, Januari 12, 2017
“Ana! Buka pintunya! Please!”
Aku bergeming. Tetes air mata
berlarian menuruni lembah pipi yang sudah basah sejak setengah jam lalu. Rahangku
terasa sakit akibat menahan ledakan raungan tangis. Entah sudah berapa lembar
tisu kuhabiskan untuk menyeka lendir menyebalkan yang terus mengucur seiring
tangisku.
“Ana, jangan begini.
Tolonglah!”
Bujukannya hanya membuat aku
semakin ingin lari darinya. Ia, lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku.
Karena dia lah air mata ini tumpah. Dan menemuinya di saat hatiku belum membaik
hanya akan memicu pertengkaran berikutnya.
“Ana!”
Kuambil bantal dan membenamkan
kepala di bawahnya, berharap bisa membawaku ke luar dunia dan mendapat sedikit
suasana baru. Tetapi, hanya sesak dan pengap yang kurasa. Ah, andai saja rumah ini
berjendela, pasti aku sudah kabur sejak pertama kurasakan kecewa padanya.
Satu-satunya pintu keluar dari rumah ini hanya pintu depan, karena semua rumah
di komplek ini berdempetan. Benar-benar tidak masuk akal, membangun rumah tanpa
jendela samping. Atas nama efisiensi dan mengeruk kentungan besar, desain rumah
dibuat seragam berdempetan tanpa jendela. Tapi gilanya, harganya melambung
bikin mulut menganga.
Aku menjitak kepala sendiri,
untuk apa aku memikirkan pengembang rumah tak tahu kaidah kesehatan itu.
Satu-satunya yang harus kupikirkan adalah pergi dari rumah dan menyusun langkah
baru, menjadi Ana yang baru. Tanpa embel-embel Rahman, nama suamiku.
Riana Maheswari, penyandang
gelar mahasiswa terbaik di Jurusan Matematika, lulus Cum Laude dan ditunggu
para dosen untuk menjadi partner mereka mengajar ilmu paling ditakuti seantero
bumi, akan kembali menjadi dirinya sendiri. Keluar dari tempurung kecil gelap
nan lembab menuju dunia cerlang penuh harapan dan peluang menjadi bintang.
Mendapat lamaran beasiswa dari universitas ternama di dalam negeri, dan jelas
masuk kriteria lolos universitas luar negeri.Tenggelam dalam lautan buku dan
ilmu, mengelana samudera penelitian dan mendobrak batas-batas rasa ingin
tahu, berbincang dengan teman sejawat
dalam diskusi dengan taburan diksi ilmiah terpilih yang ekslusif. Menjadi
pembicara di seminar-seminar pemberdayaan perempuan tetang pentingnya menjadi
terdidik dan berprestasi. Mengoleksi piagam penghargaan dan medali kehormatan
karena dedikasi dan prestasi mumpuni di bidang ilmu pengetahuan yang makin tak
tersaingi.
Riana tersenyum mengembang, diiringi
gemuruh tepuk tangan ia berjalan dengan anggun menuju kursinya, setelah satu
jam berpidato di depan para punggawa kerajaan almamaternya. Setiap mata yang
menatap menyiratkan kekaguman sekaligus iri atas cerlang isi benaknya.
“Ana!”
Panggung khayalan tentang
seorang Riana Maheswari meredup dan lenyap seketika. Aku mengutuk ketukan di
pintu kayu tua itu, ia membawa terbang semua angan tentang diriku yang baru,
diri yang lama terkubur bersama tumpukan baju, piring, gelas kotor dan sederet
pekerjaan rumah tanpa jeda.
Aku benci dia, yang bahkan tak
membiarkanku sedetik saja untuk bermimpi. Tidak ada cara lain, nasib harus
diubah dengan tanganku sendiri. Aku mampu dan berhak untuk itu. Tiada seorang
pun boleh merampas impianku, termasuk dia yang tak henti mengetuk pintu....
2 komentar
Kereeen, Mbak.
BalasHapusIni cerbung bukan?
Iya mba anik, niatnya cerbung hehee...
BalasHapus