MUTIARA TERBENAM-part 2
Minggu, Januari 15, 2017
Porak poranda. Itulah
kesimpulan pertama saat kuinjakkan kaki senja itu di rumah yang di pintunya
tertulis kata: Rumahku Surgaku. Seperti baru saja gempa mengguncang seisi rumah
kemudian berhenti seketika, sehingga semua benda yang tak kokoh berpijak
berpindah tempat sampai menemukan pijakan baru.
Ada gelas berlepotan susu
coklat di atas sofa, juga piring bekas makan anak-anak. Kain gendongan Attar,
anak balitaku, tergeletak di lantai, sepertinya telah basah oleh entah air apa.
Mainan berserakan memenuhi lantai dengan bentuk dan aneka warna yang menyakiti
mata. Bungkusan makanan yang belum sempat dibuka teronggok begitu saja di meja
tamu. Kedua anakku berkejaran sambil melempar mainan di tangan. Dan, di sofa
terlampir baju yang sudah dipakai menambah kumuh ruang tamu. Aku rasa
penampakan ruang-ruang berikutnya tak akan jauh berbeda.
Sambil tertegun aku mencari
sosok istriku. Nihil. Suaranya bahkan tak kudengar.
Aku menahan napas, mencoba
menenangkan diri. Perutku sangat lapar dan mata begitu berat. Dan, melihat
semua kekacaaun ini mendadak sakit kepala menyerang. Berdenyut-denyut
mengaburkan konsentrasi dan kewarasan berpikir.
Tanpa memedulikan kerusuhan
disekitarku, aku memusatkan pikiran menuju buruan pertama. Mungkin emosiku akan
lenyap jika kenyang. Meja makan! Aku bergegas menuju dapur dan berharap
menemukan sesuatu untuk dimakan.
“Mas Rahman?!”
Aku menemukan istriku muncul
dari balik pintu kamar mandi. Ia terlihat kaget mendapatiku pulang. Rupanya ia
habis mandi sehingga aku tak menemukan dirinya yang harus bertanggung jawab
atas kekacauan menjelang Maghrib ini.
“Ana, aku lapar!” kataku
sambil mencari dengan mata beringas. Ana tertegun. Sejurus kemudian ia lari
menuju ruang tamu, mengambil sesuatu dari sana. Bungkusan makanan yang tadi
kulihat.
“Maaf mas, aku nggak masak
hari ini. Tadi pagi ada temanku datang dan baru pulang setelah dhuhur. Siang
hari aku jemput Nera dan membeli makanan. Setelah itu sibuk dengan pekerjaan
sampai sore ini....”
Ia mengakhiri penjelasannya
dengan helaan napas lega. Lalu, matanya menatap dengan memohon pengertian. Aku
hanya lapar, apa yang baru saja dia katakan tidak sedikit pun memperbaiki
keadaan.
“Kamu sudah merapikan rumah
sejak dhuhur, tapi aku tidak melihat hasilnya saat ini.”
Aku mulai membuka bungkusan
makanan yang dia berikan. Mengambil posisi duduk dan mulai menyendok gado-gado
yang...lebih terasa seperti yoghurt rasa kacang.
“Ana...makanan ini sudah
basi.”
Kusorongkan begitu saja
makanan yang seharusnya menjadi pereda emosiku. Kali ini separuh badanku telah
membara.
Ana, bahkan belum menyisir
rambutnya usai mandi. Dan anak-anak masih berlarian tak tentu arah, dengan
jerit dan teriak memekakkan telinga, seolah kedatanganku tak memberi arti
apapun untuk mereka.
“Kalau kamu tidak sanggup mengurus
anak dan rumah tangga, kenapa kamu ngga bilang, Ana?”
Perempuan itu menunduk dalam
diam. Jujur, aku tak tega melihatnya terlihat seperti pesakitan. Tapi, situasi
ini benar-benar uncontrolled, aku tak bisa memikirkan hal lain selain meminta
tanggungjawabnya.
“Kalau aku tak sanggup mengurus
rumah dan anak-anak, lalu kamu mau apa?” ia menjawab dengan suara yang mulai
terbata
“Aku lapar Ana, tapi bahkan
makanan yang kamu sediakan tak bisa kumakan. Lalu, rumah yang seperti kapal pecah
ini, tak mungkin aku biarkan. Padahal aku sudah lelah dan hanya ingin istirahat!”
“Mas!” ia berteriak dengan
terisak.
“Ka-mu ngga tahu apa yang
terjadi selama seharian ini, yang aku alami jauh lebih banyak dan menguras
emosi dan tenaga. Ka-mu TIDAK TAHU APAPUN TENTANG YANG AKU ALAMI HARI INI!”
Ia meledak seperti sebongkah
soda api yang dilempar ke dalam air. Sepertinya, aku telah memantik bara yang
sedari tadi disiramnya dengan kesabaran. Ia mungkin telah menahan emosi sejak
sebelum aku memancingnya, sebab aku tahu pada dasarnya ia seorang yang amat
cekatan dan terampil.
“Aku mungkin salah atas semua kekacauan
ini, tapi kamu juga ikut andil. Kamu menjadikan aku sekedar upik abu dan nanny,
sehingga aku tidak bisa menjadi ratu apalagi seorang cendekia di rumah ini!”
Suaranya bergetar, dengan
telunjuk teracung dan mata menyala, ia menjelma menjadi Riana Maheswari yang
pernah menuntut keadilan dalam demo mahasiswa lima tahun silam.
Aku tertegun. Tapi, emosi,
lapar, dan lelah terlalu menguasai diriku sehingga reflekku tak berfungsi ketika
wanita yang kusayangi itu tiba-tiba melesat bak angin menuju kamarnya dan...
“BRAKK!’
Ia membanting pintu. Lalu,
hanya isak yang terdengar dari balik pintu kayu tua itu. Aku mengambil napas
panjang. Sepertinya ini akan berlangsung lama, sebaiknya aku keluar untuk makan
dan mengajak kedua anakku serta.
Setelah itu, baru kupikirkan
menangani Maheswariku yang murka.
Benar saja, hingga aku kembali
lagi seusai makan, perempuan yang dikuasai marah itu masih mengurung diri. Dan
aku setia menunggunya di balik pintu, mencoba mengetuk hatinya yang beku....
Sungguh, jauh di dasar hati,
aku merasa menjadi pecundang, karena menumpahkan air mata seorang wanita
berhati lembut sepertinya...
0 komentar