Rupa Renjana

Rabu, April 19, 2017

Langit mendung sejak petang, awan berkerumun hingga malam. Angkasa meriah oleh guntur marah. Kilat berkelebat membabat pekat.

Hatiku berdesir menyaksikan isyarat alam. Duhai Tuhan sekalian alam, gerangan inikah pertanda? Adakah bunda disana baik saja? Atau telah menyerah dalam lara?

Kutanya padanya, sang belahan jiwa, bolehkah pulang menemui ibunda. Dia katakan, jangan. Anak kita sakit, jarak terlalu jauh untuk ditempuh.

Hatiku gamang bimbang di antara dua pilihan. Mengejar masa bersama bunda atau di sini dengan buah hati.

Kusampaikan galau hati padanya, bagaimana jika usia bunda tak lama lagi. Dia berkata, bantulah ia dengan harapan terbaik, doa akan melesat cepat menuju ilahi.

Aku tertunduk kelu. Naluri berkata kuharus datang menemui bunda. Tetapi, jiwa taat pada sabda Tuhan. Patuh penuh pada titahNya, ridha istri ada pada ridha suami.

Dalam resah, aku mendesah pasrah, melantun doa terbaik untuk keselamatan bunda nun jauh di pandangan. Beriku kesempatan, beriku peluang, bersua bunda sayang, aku akan pulang....
.
Tanah merah basah, kamboja rapuh meluruh. Sepuluh jam rentang waktu antara kita, bunda. Tak dapat dibujuk maju apatah lagi mundur.

Aku pulang, bunda. Di sinilah aku, di atas tanah merah basah. Menatap pusara dengan mata sembab lembab.

Di tengah kalut, setan berebut menghasut. Seandainya kau pulang kemarin, tentu masih berjumpa bunda, ujarnya. Jika saja ikut kata nurani, kau takkan menyesal ia telah pergi. Seandainya dan seandainya....

Makam lengang, batin berperang. Bunda, engkau mungkin tengah memandang.

Untuk apa kau pulang. Bunda hanya bisa kau kenang sekarang, lagi setan mencibir. Rimbun dedaun gemerisik menyindir.

Ku terdiam bungkam. Lidah tercekat, kelu kaku. Gemuruh tanya kenapa dan kenapa dalam benak menuai anak sungai, menyimbah wajah. Aku berkelahi melawan nurani sendiri.

Lelakiku memandang sayang, menguatkan dalam genggam tangan. Tiada seorangpun menginginkan demikian, sayang, tidak juga aku. Aku meridhaimu sebab menurut padaku. Ridha Allah atasmu. Bunda tenang, senang beranakkan dirimu.
Kutergugu pilu. Duhai berat niat rasanya ujian.

Semilir angin menerbangkan sesal jengkal demi jengkal. Kuhanya sanggup meminta dalam diam: ampuni aku, bunda. Sebab kupatuh pada titahnya, lantas terlambat mengejar sisa masa. Maafkan aku bunda, lihatlah aku yang mungkin kan terkepung sesal sepanjang titian usia.

Kita akan selalu bersua, bunda. Di ruang rindu, dengan hamparan doa, dalam bangunan cinta. Kan kutepis sesak dengan doa terapal setiap jenak. Kan kupinta jannah untuk kita berjumpa kelak.

Bunda, tak terbilang rindu dan sayang untukmu. Inilah rupa renjana untukmu, bunda.

You Might Also Like

13 komentar

  1. Susunan kata yang menghipnotis, Mbak ... hiks

    BalasHapus
  2. Sedih... Benar2 situasi yg sangat yg berat.
    (Mba'e diksimu itu loh, selalu kece)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, dilema. Terimakasih mbak ane yang lebih kece:)

      Hapus
  3. Doa terbaik untuk orang-orang yang kita sayangi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak nova, cara mencintai yang terbaik dg mendoakan:)

      Hapus
  4. MasyaAllah diksinya mbak...aku terhanyut bacanya

    BalasHapus
  5. Diksinya kuat,dengan tema yang juga kuat... Asikk banget bacanya teh

    BalasHapus
  6. Diksinya kuat,dengan tema yang juga kuat... Asikk banget bacanya teh

    BalasHapus