MUTIARA TERBENAM part 3

Senin, Januari 16, 2017

Menjejakkan kaki kembali ke tempat paling lekat dengan diriku di masa lalu, tak urung membuat bibirku tersenyum. Ada masa ketika masih menjadi MaBa, saat masih lugu dan bodoh, mau-maunya dijajah senior berjalan jongkok sambil menyanyi potong bebek angsa. Lalu, masa ketika mulai dikenal sebagai mahasiswa cemerlang yang maniak organisasi akut sehingga membuat heran mereka yang mati-matian belajar, namun IPK-nya tak pernah jauh dari angka dua.

Kuhirup udara segar pagi di kampus yang sudah seperti rumah keduaku. Setiap orang mengenalku, memperhatikan, mengagumi, bahkan membenci dan iri. Udara bersih yang menyegarkan isi kepala yang terlalu sesak oleh anggaran belanja dan pendapatan yang tak seimbang.

Aroma ini, megah bangungan tua itu, papan pengumuman, mahasiswa yang berlarian mengejar kuliah dengan setumpuk buku di tangan, suara detak keyboard dan derit printer di ruang administrasi, semuanya bersinergi kompak menghadirkan denyut kehidupan kampus yang menggoda hati. Satu sisi diriku meronta ingin meloncat dan berbaur dengan mereka, melahap semua isi buku, mengikuti seminar, mengerjakan proyek...semua...tentang...memuaskan dahaga akan ilmu. Sayangnya, ia terpenjara dalam tubuh seorang ibu dengan dua anak balita yang bahkan lebih terlihat seperti orang yang tersesat ke kampus, padahal tujuannya ke pasar. Aku menilik rupaku. Betapa tak meyakinkan untuk disebut sebagai mahasiswa, karena wajah yang telah lebih dewasa, namun sulit ditebak sebagai dosen sebab penampilan yang tak sesuai.  

Tetapi, aku tak peduli. Kakiku mantap menjejak lantai dua kampus jurusan Matematika. Tujuanku hanya satu, kantor jurusan.
“Ana? Is that you?”
Aku menoleh ke sumber suara, seorang gadis berblazer khaki dengan mulut ternganga, menyelidiki setiap senti wajahku. Aku merasa de javu, wajahnya tak asing. Tetapi, sungguh aku lupa...
“Iya, saya Ana...” jawabku sambil berusaha mengingat.
“What a surprise...apa kabaar? Ya ampun, mukim dimana sekarang? Inggris? Jepang? Amerika?” ia menghujaniku dengan tanya.
Aku tergelak. Hatiku miris campur malu.
“I’m here right now, in front of you...” kuikuti gaya inggrisnya yang tanggung, sekedar menunjukkan bahwa aku hanyalah salah kostum, tapi otakku tidak. “ Btw...kamu...Risa kan? Risa Prabandini?”aku menebak.
“Eh? Dont you recognize me? Oo.. kamu jahat sekali. Tentu saja, aku Risa,  who else?”
Ia merentangkan kedua tangannya, memelukku hangat.
“Ya Tuhan, Ana! Bahkan tembok bangunan ini merindukan kamu kembali, tapi kamu seperti lenyap tanpa jejak. Where have you been, Ana?”
Bagaimana aku sanggup menampakkan diri? Kamu tidak tahu rasanya menjadi zero setelah dianggap hero.
“Aku? Well, seperti yang kamu lihat...”
“Okkay, let me see you...” candanya. Membuatku kikuk. Bagaimana tidak, aku bersepatu hitam dengan gamis dan jilbab warna senada yang sudah memudar. Wajah tanpa polesan dengan tas selempang yang biasa kupakai untuk menyimpan perlengkapan balitaku.

Risa, dengan dandanan stylish dan polesan make up natural yang halus, membuatnya sedap dipandang dan terlihat berkelas. Kacamata minus menambah kesan terpelajar.
Aku jengah, begitu pun Risa.
“Wait a second, setelah lima tahun menghilang dari orbit, ada banyak yang ngga aku ketahui. Ayolah, kita ke ruanganku, kita ngobrol di sana saja!”
“Ruanganmu? Kamu dosen disini?”
Risa mengangguk malu. “Aku tak enak mengakuinya. Aku tidak lebih pintar darimu, tapi, sayangnya: iya...”
“Kenapa tak enak, semua orang berhak untuk menjadi apapun. “
“Jangan begitu Ana, kami semua tahu, kamu sangat layak menjadi dosen, bahkan lebih dari itu.”

Kuekori langkahnya menyusuri lorong kampus sebelum sampai di ruangan Risa. Ruangan berukuran sedang bercat hijau muda yang sejuk oleh pendingin udara. Sebuah meja dengan laptop di atasnya, printer, serta beberapa tumpukan buku.
Aku ingat, dulu pernah bermimpi mendiami salah satu ruangan di gedung ini dengan sederet gelar di belakang namaku yang kupajang di meja kerja. Ruangan ini seharusnya jadi milikku, jika saja aku tak menikah selepas wisuda dulu. Sebersit penyesalan mendadak menyeruak.
“Kalau aku tahu kamu akan datang, aku akan menyiapkan upacara penyambutan...” ujarnya sambil duduk di kursinya. Ia tertawa geli.
“Sudahlah Risa, aku tidak seistimewa itu”
“Aih? Kau bercanda...selama lima tahun tak ada kabar tentangmu, bosan aku menjawab pertanyaan para dosen tentang kamu. “
Aku tersenyum jengah. Ia tidak berlebihan, ketua jurusan matematika bahkan telah melamarku menjadi dosen muda sejak aku menyusun skripsi.
“ Jadi, kita mulai dari mana? Kabar terakhir yang kudengar hanyalah kamu menikah setelah wisuda, selebihnya? Blank!”
“Kerja di mana? Atau jangan-jangan sedang S-3 di Jerman mungkin?” lanjutnya dengan bernapsu. Mejadi orang yang pertama mengetahui kabar tentangku akan membuat ia tenar dalam semalam. Ia mungkin akan segera menyebar broadcast di grup media sosial tentang kebangkitanku dari kubur.

Aku tertawa pahit. Betapa ekspektasi mereka akanku melambungkan kepercayaan diri sehingga aku lupa bahwa aku bukanlah siapa-siapa di hadapan wanita ini. Aku  merasakan ironi ketika harus mengatakan ini:
“Ya, benar aku menikah selepas wisuda, tetapi aku tidak bekerja, tidak juga meneruskan studi S-2 apalagi S-3.” jelasku yang langsung membuatnya terdiam tak percaya.
“Jadi?”
“Aku di rumah saja dengan dua anak yang masih kecil-kecil.”
Ia menutup mulutnya yang sedari tadi melongo.
“Kenapa? What’s wrong with you, Ana? Suamimu melarangmu berkarir? Atau kamu yang memilih jalan itu?”
“Lebih tepatnya, keadaan yang membuatku mengambil jalan itu”
Risa mengangguk-angguk. Mungkin ia mencoba berusaha menerka sebab takdirku yang sedemikian jauh panggang dari api.
“Jadi, sekarang kamu akan kembali, begitu? Kamu kesini bukan untuk menemuiku pastinya, kan? Atau sekedar nostalgia masa lalu?”

Aku tersenyum simpul. Risa menebak dengan baik.
“Jika kamu punya info beasiswa penuh di mana pun itu, aku akan senang hati dan berterimakasih padamu.”
“Anaa! “ ia memekik dan menghambur memelukku..”Of course dear, oh my God aku senang sekali, tentu saja banyak info yang sesuai untukmu. Sekarang biar kuucapkan dulu: welcome to the jungle my dear Anaaa!”
Aku gelagapan dipeluk wanita bongsor sebesar dia. Sambil terkekeh ia melepas pelukanya, lalu dengan bersemangat ia membuka laptopnya.


Aku merasa, tiba-tiba yang kulihat hanya terang. Selamat datang, Riana Maheswari di dunia bertabur logika dan formula...Lagi. 

You Might Also Like

0 komentar