Si Nona Sombong

Selasa, April 11, 2017



“Dimana aku?”
Gadis itu bergegas bangun dari tidurnya yang tak berwaktu. Ia menoleh ke kanan-kiri dengan tatapan takut, heran, dan merasa asing.
“Hei, kau sudah bangun, Nona. Hari masih malam. Tidurlah lagi!”
“Siapa kau?” ia terhuyung mundur melihatku.
“Apa kau benar-benar ingin tahu?” tanyaku sambil menguap.
“Kenapa aku bisa ada disini?” tanyanya kepada diri sendiri, bukan padaku.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu...”

Ia menoleh dengan tatapan tak bersahabat. Jelas sekali sebenarnya ia tak ingin bicara denganku.
“Mau kemana kita?” rupanya ia menyadari tengah berada di sebuah kendaraan yang terus begerak.
“Ke tempat yang jauh, kamu mungkin akan bertemu kawan lama atau saudaramu disana nanti.”
“Jangan bercanda, mau kemana sebenarnya kita? Tempat apa ini? Ih, menjijikan!” ia mengibaskan tangan, mengusir bau menusuk dengan mendengus-dengus.
“Sst, diamlah! Kau bisa membangunkan mereka, teman seperjalanan yang paling tidak ingin kau temui sepanjang hidupmu!”

“Apa maksudmu?” tanyanya gusar.
“Kau tidak bisa lihat? Bagaimana rupa mereka? Bau dan wajah yang mengerikan! Jumlah mereka sangat banyak. Apa kau tidak takut? Mereka bisa melakukan apa saja terhadapmu.”
“Mereka tidak akan berbuat apapun padaku, karena aku akan segera pergi. Dimana pintu keluarnya?” ia bangkit dan mulai meraba dalam remang, mencari pintu.

“Lihat sekelilingmu, Nona. Ruangan ini sangat besar, pintu di hadapanmu pun sangat tinggi dibandingkan dengan dirimu. Kamu tidak  akan sanggup melewatinya.”
“Aku akan berusaha karena aku tidak seharusnya berada di sini. Aku seharusnya di rumahku yang nyaman.”
“Sombong sekali, memangnya kau ini siapa?”
“Kau tidak tahu siapa aku? Lihat penampilanku. Wajahku. Bahkan aku punya nama yang bagus. Tidak sepertimu, tak bernama, ah ya mungkin kau punya nama, tapi sangat jelek.”

“Nona, kau tak sadar dimana kau sekarang? Kau tidak ada bedanya dengan kami dan akan berakhir di tempat yang sama. Berdoalah untuk keajaiban akan ada yang menyelamatkanmu dari neraka ini!”
“Pasti akan ada yang menyelamatkanku. Sebab aku punya kelas, aku istimewa!”
“Kau sama sepertiku!” sergahku.
“Tentu saja tidak, makhluk bau! Aku lahir dengan dibantu dokter Amerika di tempat yang belum pernah kamu lihat. Bahkan namaku sangat sulit untuk dieja. Kau tahu, aku sudah jadi idola sejak lahir, aku dipuja, aku disanjung, disayang, ditempatkan di tempat terbaik dan layak!"

“Kau! Beraninya menghina! Bahkan di situasi seperti ini pun masih sanggup arogan. Jangan lupa, aku masih jauh lebih baik darimu. Kau memang kuat, tetapi merusak!” aku mulai kehilangan kesabaran. Ia memang cantik tapi sungguh ia tak ada bedanya dengan makhluk lain di sekelilingku.
“Aku kuat karena diciptakan istimewa!”
“Istimewa? Kau, kita, adalah perusak!”
“Perusak apa? Aku dan saudara-saudaraku tidak akan pernah dibuang, jadi kami tidak akan merusak. Kalau kau? Kau lemah dan tak berharga, tapi jumlahmu triliunan dan itu cukup untuk membuat bumi ini tenggelam perlahan, membuat bumi sakit. Kalau aku? Seseorang akan menemukan dan membuatku berguna, aku takkan pernah berakhir di tempat sampah sepertimu!”
“Kau sudah di tempat sampah sekarang, Nona! Dan kita sedang menuju tempat pembuangan akhir, neraka yang sesungguhnya!” ledekku sambil mencibir.
“Jangan lupa, Nona, kita satu spesies, kau dan aku sama-sama penyumbang enam puluh persen sampah lautan, penyebab banjir di daratan dan kematian hewan laut yang tak sengaja menelan kita.” lanjutku.

“Diam kamu, Keresek! Kamu menyebalkan!” ujarnya sambil berusaha memanjat pintu bak truk. Aku terkekeh, sudah banyak yang mencoba lari dari tempat ini, terutama yang merasa dipecundangi tuannya setelah sebelumnya dipuja bak kekasih. Sepatu berlogo Nike itu contohnya, ia kini terduduk pasrah menerima nasib bahwa kini ia bukan apa-apa untuk tuannya. Ia tak lebih hanyalah sampah, hanya karena telah lecet tergores di badannya.
“Terimalah takdirmu Nona Tupiware yang cantik.”

Truk bergoyang-goyang, berderak saat melewati jalanan berlubang menuju gunung sampah Bantar Gebang. Satu persatu penghuni bak terbangun karena pertengkaran mereka. Mie yang telah mengembang keterlaluan, apel busuk, kardus basah, diaper pesing, kasur kumal, cabe, ulat, botol minum, jarum suntik, pembalut, koran, catatan belanja nyonya, draft skripsi yang ditolak dosen, dan tentu saja belatung dan lalat. Jangan lupa, aku dan nona yang cantik itu, jumlahnya jutaan, siap membendung air, menyebabkan air menggenang dan banjir. 

Welcome to the hell, Nona yang sombong.

You Might Also Like

6 komentar

  1. Waaah, kereen....
    Awalnya kupikir bicara tentang kambing...

    Hohoho


    Nice try Mbak!
    Keren ih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kambing? wah berati jebakan betmen berhasil dong? :D makasih kang fer

      Hapus
  2. Pengenlah bsa nulis sprti ini 😅😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. tulisan ngga tau lah apa ini :) makasih mba karin sdh mampir.

      Hapus
  3. Wkkwkwk lucu, Bunda ...

    Jebakannya berhasil, buat saya bingung ini lagi ngomongin nona yg kayak mana sih haha😂

    Nice post Mbak Mab suka😅

    BalasHapus
  4. Analoginya boleh juga. Tetap semangat ya mbak ^^

    BalasHapus