BIRU TOSCA

Selasa, April 04, 2017




Minggu, 28 Januari pukul 16.00
“Mas, jangan lupa, minggu depan ada undangan nikah teman kantormu loh, ya?” teriak istriku dari kasur tempatnya berbaring, dengan ponsel menyala di tangan.
“Hemm...” aku hanya menjawab pendek dari ruang tamu. Kembali fokus pada pekerjaanku menyusun laporan pekerjaan.
“Kamu mau pakai baju yang mana, Sayang?” teriaknya lagi.
“Hemmm....”
“Sayaaaang?!” teriaknya lebih kencang, kali ini ditingkahi lemparan bantal.
“Eh, apa?”
“Baju, sayaaang!” nada suaranya gusar.
“Baju apa aja lah, yang tempo hari dipake buat ke kondangan sepupu juga boleh.”
“Whaat? Masa pakai yang itu lagi?”
“Kenapa memangnya, kan masih bagus?!”
Perempuan itu melengos, bibirnya manyun, kemudian kembali sibuk menggerakkan layar ponselnya dengan mimik serius. Mungkin, dia membaca gosip bulu mata anti kelilipan milik artis.
“Coba lihat Yang, menurut kamu bagus yang mana? Yang kanan apa yang kiri?”
Aku melirik sekilas, terlihat samar dua gradasi warna: biru tosca di kanan dan merah marun di kiri.  
“Hemm, yang kanan.”
“Tapi, lebih mahal dikit, ngga apa-apa ya?”
Mahal? Oh, itu bukan bulu mata? Sayangnya aku tak punya waktu untuk memeriksa. Bosku menunggu laporan segera di email dan itu lebih penting. Soal bulu mata atau apapun  itu, terserah dia saja.
“Oke?” desaknya lagi.
“Hemmm. Hemmm....” dengusku yang diartikannya sebagai setuju.
#
Minggu, 4 Februari, pukul 09.00
Wanitaku sibuk berhias di depan cermin dengan seperangkat alat perangnya. Aku sudah tahu bahwa waktu prosesi dandannya cukup untukku melanjutkan sesi tidur yang terputus. Jadi, aku memilih berbaring santai sambil memantau berita online.
“Yang, ganti baju dong! Sudah jam sembilan, nih!”
“Hemm, gampang. Aku tinggal ganti, ngga sampe lima menit. Bajuku sudah siap, kan?” kilahku.
“Sudah, dong. Emang belum lihat? Yang aku taruh di kasur itu?”
“Ooh, iya. Nanti aku pakai.”
Ia memulas pipinya dengan kuas. Dengan ekspresi senyum agar pipinya menonjol dan tersapu blush on.
“Mas, nyalain dulu deh, mobilnya. Bentar lagi aku siap.” Kali ini ia bersabda sambil memutar jilbab pasminanya ke belakang, kemudian ke depan lagi, ke samping, dan akhirnya kepalaku yang pusing. Entah bagaimana hasilnya kreasi jilbabnya nanti.  Kukatakan padanya,”oke.” Tetapi, tetap tak beranjak dari kursi. Kulanjutkan lagi sesi malas-malasan dengan ponselku.
Beberapa menit kemudian, kulirik jam. Setengah jam berlalu dan dia masih belum siap.
“Kamu masih belum siap juga?! Tahu gitu aku tidur dulu...”
“Ih, Bebeb kalau kondangan itu mesti all out. Kita ngga tau akan ketemu siapa nanti. Kan, kalau aku stunning, kamu juga yang seneng.” kilahnya sambil mengedipkan mata.
“Iya, tapi ini sudah jam berapa? Belum macet di jalan. Sampe sana udah bubar, deh.”
Dia tak sempat menjawab lagi, asyik dengan kreasi hijab dan penampilannya. Ia baru keluar kamar ketika kantuk benar-benar datang menyerangku.
“Sini aku dandanin!” ia mengambil baju dan menyuruhku memakai setelan baju plus celana yang sudah rapi dan wangi. Melihat set baju baru itu, dahiku berkerut.
“Baju yang mana lagi, nih?”
“Yang tempo hari kamu pilih, biru tosca. Aku beli online.”
Aku? Memilih baju biru tosca? Kapan? Bagaimana bisa?
“Kenapa beli lagi? Bajumu ini, beli baru juga?”
“Ya iya, lah. Masa pake yang lama, sih...”
“Berapa duit?”
“Ngga sampe sejuta, lah”
Glek! Aku menelan ludah. Ingin protes, tapi dia memberi isyarat untuk diam dan menurut selama proses grooming.
“Oke, kita siap berangkat. Come on, kita bisa terlambat!”
Ia menyeret tanganku seolah-olah aku yang akan menyebabkan kami terlambat. Otakku masih merekam kata “tidak sampai sejuta” yang dia katakan.
#
Minggu, 4 Februari, pukul 12.00
“Fyuh, akhirnya.....” katanya seraya menjatuhkan diri di jok mobil. Make up dan dandanannya masih mempesona, hanya sedikit berkurang intensitas warna di bagian bibir akibat makan segala saat resepsi.
“Ayo pulang, aku capek. Pengin tidur...”
Tak menunggu perintah kedua, kustarter mobil dan mulai melaju perlahan. Wanitaku memejamkan mata sambil bersandar.
“Thanks God, kemarin kamu pilih biru tosca, kalau ngga....” ujarnya sambil menggeleng-geleng tak percaya, seolah baru melewati peristiwa menegangkan.
“Kalau ngga, kenapa?”
“Kita bakal kembaran sama Andi, teman kantormu.”
Dia meniup udara seolah lega. Menoleh ke arahku, memandangku lama. Sadar sedang diperhatikan, aku tersenyum simpul.
“Yeah, tapi kata ‘ngga sampai sejutamu’ itu bikin aku migrain...”
Dia mengedikkan bahu, cuek.
“Menurutmu, apa semua orang melakukan hal yang sama dengan kita? Berburu baju untuk dipakai ke undangan, menggelontorkan uang untuk membeli yang belum ada, menghabiskan waktu di depan cermin hanya untuk tampil beberapa jam saja, berfoto dan mengaplod di medsos, mengamati baju yang dipakai tamu yang lain, makan dengan rakus, kemudian pulang membawa souvenir yang harganya tak lebih dari dua puluh ribu rupiah...”
“Kita? Kamu aja, kali?!” ledekku yang dibalas dengan cubitan di lengan.
“Yeah, kalau mengingat bahwa kita hampir kembaran baju dengan teman, rasa-rasanya iya.” jawabku.
“Ngomong-ngomong, mahal sekali biaya untuk pergi ke undangan. Gaunku sama baju kamu, bensin, angpau. Pulangnya, cuma bawa tempat tisu...”
“Eh? Jadi, ceritanya insyaf, nih?” Tiba-tiba aku merasa senang sekaligus takjub karena dia telah mendapat hidayah atau ilham atau pencerahan atau apapun itu namanya.
“Ngga juga, aku cuma ngomong kok....”
Senyumku langsung lenyap. Padahal, ada dua undangan lagi dalam bulan ini.
 “Siapa sih, yang bikin acara ke kondangan ini jadi ribet dan mahal?” tanyaku agak kesal. Heboh ketika akan menghadiri undangan bukan sekali ini saja terjadi. Menuruti ego dan gengsi lambat laun akan membuat tabunganku menipis.
Wanita yang terlihat cantik itu menunduk. Bibirnya manyun.
“Apa yang terpenting dari menghadiri undangan?” pancingku.
“Ya, silaturahmi sama ngasih sumbangannya....” ia menjawab sekenanya.
“Itu aja?”
Dia terdiam, keningnya naik turun, seolah berpikir.
“Apa kamu sudah doakan pengantinnya tadi?”
“Eh?” nada suaranya terdengar kaget. Lalu, ia tercenung. Kemudian, tersenyum masam.
“Kamu sibuk dengan diri kamu sendiri hingga lupa esensi dari menghadiri undangan adalah memberi doa untuk kedua mempelai.”
Perempuanku masih diam sambil memainkan bibirnya.
“Lagipula, siapa yang peduli apakah kita pakai baju yang lama atau yang baru. Yang penting cukup pantas dan ngga bau.”
Ia masih bungkam.
“Iya, deh...,” akhirnya, dia mengerti juga, “tapi, kalau ada undangan, kamu aja ya yang datang. Aku di rumah aja, oke?”
Dasar keras kepala.
“Ya, ngga apa-apa. Asalkan, jangan marah kalau aku pergi sama yang lain. Oke?”
Pertanyaan yang dijawab dengan sebuah tinju sempurna di pipiku. Ugh!





You Might Also Like

13 komentar

  1. Hahahaha...
    Iyes banget nih ceritanya.

    Apakah semua wanita sama dalam berdandan?
    Apakah semua lelaki juga begitu?

    Tapi, tidak semua laki-laki bersalah padamu, contohnya aku....
    (Lah, malah ngedangdut, hehe)

    Keren mbak MAB,
    Kekinian banget, hehe

    BalasHapus
  2. Kkwkwkw Mbak Mab ... kece badaiiii cerpenmu, nyesss renyah haha

    BalasHapus
  3. Mbak Mab .... Keren banget ini ceritanya. Mengingatkanku juga ini bahwa yang terpenting adalah doa. Mmm ... Kalo boleh ngasi saran, toling diperhatikan paragrafnya ya, biar lebih enak lagi buat yang baca ^^

    BalasHapus
  4. Keren keren....pesan tersirat nya ngena

    BalasHapus
  5. Hemm.. Pentingnya jaga niat dlm sgala hal. Krn balasan bisa brubah cuma krn sekelumit niat. Nice post mbak

    BalasHapus