Bara

Minggu, Juli 23, 2017


Telah satu purnama sejak lelaki berkulit legam itu kerap datang di kelam malam. Almanak yang biasanya kulingkari merah masih belum terjamah. Agaknya hukum Tuhan berlaku pada dua sari pati kehidupan di dalam perutku: Kun fayakun!

Bagaimana jika hal itu benar terjadi? Seorang gadis delapan belas tahun mengandung sedang janur kuning belum pernah melengkung. Hendak disembunyikan di mana rupa ibuku?

Untukku yang melarat, tak ada sekat kuat yang menjadi batas antar peraduan. Tak butuh upaya untuk masuk ke bilik yang dindingnya tak lebih kuat dari bambu. Dengan benda tajam berkilat di tangan lelaki legam itu, apa lagi yang bisa kulakukan selain menyerah?

Seharusnya, aku lebih takut menjadi kotor daripada menjadi mayat. Tetapi, begitu cepat tanpa pernah diduga dosa itu terbuat. Siapa yang akan menaruh curiga pada sosok seorang ayah, bukan?

"Kalau kau mengadu, esok kau takkan melihat matahari!" ancamnya dengan seringai paling menjijikan. Ia melucuti pakaianku dengan buas seperti singa tak makan sebulan. Lalu ia berbuat sesukanya seperti yang mungkin dilakukannya pada ibuku. Betapa menjijikan. Bahkan mandi kembang tujuh rupa di sendang paling suci takkan mampu melenyapkan noda.

Segera setelah hasratnya puas, ia berjingkat kembali ke biliknya. Mendengkur seolah tak pernah terjadi apa-apa. Meninggalkanku yang termangu dalam kepungan sesal, marah, jijik, benci dan bara kesumat.

Aku mengutuk diri semalam suntuk. Mengapa tak kutancapkan saja belati saat ia tenggelam dalam pelukan? Tidak cukup beranikah untuk menghantamkan sebongkah batu ke batok kepala yang tak lagi berisi otak? Betapa pandirnya diri!

"Awas kalau kau mengadu, akan kubunuh ibumu!" Ia bisikkan mantra di sepagi buta ketika kumembuka mata. Kilat di matanya menunjukkan seberapa serius ia dengan ancamnya. Kupandang wajah ibuku yang menua, sungguh kasihan bersuamikan lelaki sakit jiwa sepertinya.

Oh, tidak. Dia bukan ayahku. Meski darahnya mengalir di tubuhku, takkan sudi kumengaku. Tidak, sejak ia mulai menjamahku sebagaimana petani menggarap sawahnya. Dia iblis dalam wujud manusia yang harus dipanggil ayah hanya karena ia mengalirkan darah di nadiku.

Masihkah layak disebut ayah jika ia ongkang kaki sementara istrinya serabutan bekerja? Ia cuma tahu makan dan meminta segala rupa. Masihkah ia pantas dipanggil ayah jika ia sanggup berkhayal menginginkan anaknya? Masihkah ia berhak digelari ayah sedang ia berbuat keji pada darah dagingnya sendiri?

Demi tuhan, aku takkan memaafkan. Bahkan jika ia bersujud di telapak kaki. Sebut saja aku si durhaka, aku tak peduli. Telah ia rampas kehormatan, maka akan kulemparkan derita padanya. Cukup adil, bukan?

#tantangankelasfiksi4


You Might Also Like

6 komentar

  1. Aiihhh bunda mah ga capeek keren muluu??

    BalasHapus
  2. Euleuh euleh meni keren kieu. Saya sampe nahan napas bacanya 😉😉😍😍

    BalasHapus
  3. Wooohhh...dari awal paragraf sudah keren bangett!!!!😍😍😍

    BalasHapus