Kupu-kupu Setelah Kepompong

Minggu, Juli 23, 2017



                              pic: Pinterest.com

"May? Kamukah ini?"
Wanita berhijab pasmina itu meneliti setiap detail wajah May dengan seksama. Wajah yang lebih cantik dengan polesan make up ringan, berhias mata bulat, hidung kecil mancung, dan bibir tipis yang terlalu istimewa untuk dilupakan. Sarah yakin ia tak salah menebak perempuan anggun di depannya.

May terpana beberapa jenak sebelum binar terbit di matanya. Senyum merekah dari bibir peachnya dan dalam sekejap tangannya mengembang, bersiap memeluk.

"Saraaah!!! Ya ampun, apa kabar? Kok bisa ketemu disini? Sama siapa?" berondongnya dengan semangat.
Sarah melepas pelukan May setelah beberapa detik berpelukan dalam girang. Senyumnya mengembang hangat.

"Aku pangling, kamu sungguh..." Sarah berkomentar agak ragu.
"Beda, begitu?!" tebak May,"ya, aku paham. May si modis-stylish-full make up sekarang berhijab syar'i, kamu pasti ingin tahu ceritanya, kan?"

Sarah terbahak. Ceplas-ceplos May tak berubah sejak mereka berkawan di SMP.
"Ceritanya panjang, kamu yakin mau dengar?"
Sarah mengangguk.
"Kalau begitu kamu harus mentraktir dua-tiga cangkir kopi plus kudapan di cafe sebelah." May menarik tangan Sarah menuju ke area food court mall.

Sarah menurut, untunglah ia ke mall sendiri tanpa anak dan suami. Ia bisa meluangkan waktu berpuluh menit lagi untuk bercengkrama dengan kawan yang sudah puluhan tahun tak bertemu. Lima tahun lalu mereka bersua lewat grup Wattsap SMP, namun setelah itu May tiba-tiba menghilang.

Sebuah meja di pojok ruangan cafe dipilih May. Mereka mulai asyik mengobrol lagi setelah sibuk memesan kopi.
"So, dari mana kita mulai ceritanya?" goda May.
Sarah tertawa, "As you wish, Dear..." jawabnya.

May menerawang, menyelami lautan kenangan paling berkesan dalam hidupnya untuk ia ceritakan.
#
"Seharusnya akulah yang jadi manajer, bukan dia!" teriak May tepat ketika kakinya menginjak ruang tamu. Teriakannya memecah kedamaian sore itu. Ia membanting pintu kamar, melempar tas, kemudian menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur. Isak kecil tertahan mengisi kekosongan ruangan 3x3 itu.

Mahdi membuka pintu perlahan. Dari gelagatnya ia tahu sang istri tengah lara. Mahdi berjingkat menuju peraduan, mencoba hadir di saat May membutuhkan dirinya.

"Kepala cabang sudah memutuskan? Ternyata bukan kamu yang diangkat jadi manajer?" tanya Mahdi hati-hati.
May bungkam, Mahdi paham. Isak wanita semampai itu makin  berat.
"Kamu pasti sangat kecewa ya, Sayang." Mahdi mengelus punggung May. Mencoba empati meski saat ini pun hatinya tak kalah kecewa. Tetapi, May butuh bahu untuk bersandar, bukan luapan keluh kesahnya saat ini. Biarlah berita kerugian ratusan juta yang tengah dialaminya ia simpan sejenak.

"Bayangkan, Mas. Aku lebih senior dan aku tak kurang dedikasi pada perusahaan. Banyak yang sudah kukorbankan untuk perusahaan, tetapi semua tak ada nilainya dibanding pesona sarjana lulusan PTN yang katanya ternama itu, anak bawang yang baru setahun berkerja!"

Mahdi mengangguk kecil.
"Aku kandidat terkuat, beberapa bulan lalu Manajer HRD pernah memintaku bersiap untuk menggantikan posisi Bu Yeni, manajer lama. Tapi faktanya, anak kemarin sore itulah yang diangkat sebagai manajer baru."

Mahdi menghela nafas. May layak kecewa setelah apa yang didedikasikannya sejak delapan tahun lalu ketika mulai merintis karir sebagai teller di bank tempatnya berkerja. Ia tak pernah berharap menduduki jabatan tertentu, bekerja penuh semangat dan pengabdian hingga digadang-gadang naik jabatan. Semua terasa lancar dan seperti seharusnya sampai datang seorang fresh graduate yang mengalahkan pamornya.

"Aku merasa dipecundangi. Aku ingin keluar dari perusahaan. Ini ngga adil!"
Mahdi menatap mata istrinya lekat. Ia tahu May hanya sedang emosional. Namun, jika benar yang dia katakan, Mahdi takkan kesulitan untuk mengajak May mengikuti rencananya ke Jakarta. Ini akan jadi momentum yang tepat untuk mereka memulai hidup baru.

"May..." panggil Mahdi pelan.
May yang masih berbalut busana kerja larut dalam isak. Berton-ton sesak ditumpahkannya lewat tangis.
"May, aku tahu ini bukan saat yang tepat. Tapi, kalau kau tak berubah pikiran, aku setuju kamu resign, kemudian kita bisa pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini dan memulai hidup baru. Bagaimana?"
Isak May terhenti. Ia bangkit, matanya menatap Mahdi tajam dengan dahi berkerut.
"Maksudmu?" selidiknya heran.
"Ayo, kita hijrah ke Jakarta!"
Mata May nanar. Meski terdengar tak masuk akal, ada sisi hati May yang setuju dengan ide konyol suaminya. Semacam ide menghilang dari peredaran bagus juga, pikir May emosional.

Tetapi itu ide yang  konyol, sebab baru sebulan lalu Mahdi menggelontorkan modal untuk mengembangkan usaha. Belum terlihat hasilnya, kini ia berkata akan pindah dan memulai usaha baru. Apa-apaan ini?!

"Tapi, kenapa? Bagaimana dengan bisnismu?" May menginterogasi.
Mahdi terdiam, ia ragu antara mengatakannya sekarang atau nanti. Tetapi, cepat atau lambat pun Mahdi harus mengabarkan kondisi usahanya yang telah bangkrut.
"May..." ucap Mahdi pelan,"...aku bangkrut!"

May ternganga. "Apa?!" pekiknya tak percaya. Bisnis keluarga yang ditangani Mahdi telah berlangsung puluhan tahun. Asam garam pengalaman usaha telah dialami Mahdi, biasanya ia dapat melewatinya dengan baik. Dan, kini dia bilang bangkrut?

Kepala May berdenyut, nyeri. Semuanya terasa tiba-tiba dan mengagetkan. Pandangan perempuan itu  kabur, lalu ia merebah pasra.
#
Seminggu berselang...

"Kalau kamu ragu, jangan kamu teruskan, May. Biar aku saja yang merantau ke Jakarta. Kamu bisa cari kerja yang lain atau surat resign itu tidak usah kamu ajukan."
May menghela napas berat. Sejujurnya, hatinya gamang. Tetapi, ia hampir tak punya pilihan. Kembali bekerja di kantor lama sama dengan membuka luka yang ingin ia sembuhkan. Apalagi dengan kondisi finansial yang makin terpuruk, bertahan di sini bisa membuatnya mati gaya. Bukan hal mudah mengubah gaya hidup kekinian menjadi sebersahaja mungkin.

Namun, ia pun sadar, hijrah ke Jakarta bukan pilihan mudah. Jakarta bukan kota yang ramah, apalagi suaminya baru akan membuka usaha di sana. Ia sadar akan resiko hidup kekurangan.

May terbiasa hidup berkecukupan, meski begitu ia tak alpa pada janji setia pada Mahdi, membersamainya dimana pun, kemana pun. Tak ia sangka, janji yang dulu terdengar mudah diucapkan, menuntut bukti justru pada saat suaminya tengah bangkrut. Rekan bisnis menipu Mahdi, membawa kabur semua modal termasuk pinjaman hutang dari bank atas nama Mahdi. Mahdi menanggung hutang besar tanpa sepeserpun uang di tangan.

"Maafkan aku, Mas. Ini tidak mudah kulalui. Tetapi, jangan kuatir, aku bukan seorang yang ingkar janji." hibur May lirih. Mahdi memeluk bahu May penuh haru. Ia tak menyangka keadaan begitu kontras sejak pertama kali menikah hingga ia tertipu rekan bisnisnya beberapa waktu yang lalu. Dari yang serba ada, kini bahkan mereka tak tahu harus menyambung hidup dengan apa. Meski May menawarkan tabungannya selama bekerja, Mahdi tak yakin sampai kapan mereka akan bertahan.

"Kau yakin tidak akan meminta bantuan Bapak? Atau saudaramu, Mas?"
Mahdi menggeleng yakin. Mahdi sudah sering merepotkan mereka. Keputusannya ekspansi bisnis sebenarnya belum matang, tetapi ia tergiur proposal kerjasama bisnis yang ditawarkan teman lamanya sehingga ia tetap meneken kontrak meskipun ayah dan saudaranya melarang. Bukan kesatria kalau tak mampu bertanggungjawab atas tindakannya.

"Kalau begitu, aku akan mendukungmu. Berjanjilah padaku, kita akan pulang dengan kebanggaan!"
Mahdi menatap mata bundar May yang sendu menahan luapan rasa. Mahdi berpikir sakit hati May pada rekan sekantornya sangat kuat sehingga ia merasa sanggup memulai hidup baru di Jakarta, padahal May tak mengenal kata kepayahan dalam hidupnya. Mahdi bergidik membayangkan bara yang membakar hati May.
"Aku janji, May. Kesusahan ini tidak akan lama, aku janji!"

May tersenyum kecut. Benaknya memutar pemandangan jalan berkelok yang terjal dengan jurang di kanan kirinya. Ia melihat dirinya di sana, tertatih di belakang sang suami. Di belakang May, tiga anak mereka yang masih kecil mengekor.

Ini tidak mudah, tapi bukan tak mungkin untuk dilakukan, tepisnya yakin. May bangkit, saatnya menyerahkan surat resign dan menantang kehidupan setelah itu.
#
Hidup seperti roller coaster yang menegangkan. Naik-turun, berbelok dengan cepat sebelum kita menyadarinya. Begitu menghentak hingga May tertegun mendapati kehidupannya kini begitu kontras dengan beberapa bulan sebelumnya. Ketika ia di puncak pencapaian, populer, eksis di dunia maya, cantik, berkelas, hidup cukup bahkan berlebih dengan suami yang melimpahinya cinta dan materi yang begitu besar. Ia semakin percaya diri dengan pekerjaan mapan di sebuah bank terkenal di negeri ini. Begitu banyak mata yang iri pada posisinya saat itu.

May tak terlalu yakin apakah mereka masih cemburu pada kepadanya saat ini. Suami tak punya pekerjaan tetap, bisnisnya hancur, bahkan kini mereka terasing di sebuah tempat yang tak diketahui siapapun. May tak lagi bekerja, ia kini hanya mengurus ketiga buah hatinya. Bertahan hidup dengan tabungan yang kian menipis. May tak lagi eksis, ia malu dan menutup diri dari teman-temannya meskipun di dunia maya.

May mengasingkan diri...
Sungguh dunia yang bukan dirinya. Ia tak seharusnya berada di sini. Hati May berontak di tengah rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga yang tak ada habisnya. Harga dirinya tercabik, koyak moyak.
Sementara Mahdi tak menyerah pada nasib. Siang malam bekerja membangun bisnis barunya di kota yang bengis. Ia tak lagi sempat berlama-lama berkumpul dengan keluarganya.

May sepi, terasing dan kosong. Di tengah kegalauan, terkadang godaan datang. Seorang nasabahnya yang kaya raya menanyakan kabar lewat SMS. Awalnya dia simpati pada musibah yang dialami May. Tetapi, tetap saja lelaki yang kerap merayunya itu ternyata punya tujuan lain. Ia menggerogoti keteguhan May pada suaminya dengan iming-iming kehidupan berlimpah materi. Lelaki itu, tak jauh beda usia dengan May, di usia kepala tiga tentu sedang panas-panasnya.

May tak memungkiri, lelaki itu begitu memikat. Sialnya tidak hanya satu, melainkan banyak. May yang tinggi semampai, dengan wajah cantik seperti keturunan Arab, ditambah keramahan yang terlatih sebagai teller bertahun - tahun cukup untuk membuat lelaki berpenyakit hati jatuh cinta padanya. Berangan memperistrinya padahal ia sudah bersuami. Bukan lelaki kalau menyerah, di saat Mahdi bangkrut mereka datang bak pahlawan, dengan misi menyelamatkan hidup sejahtera May.

May di antara kegalauan yang rumit. Mahdi yang sibuk hampir tak punya waktu untuknya, ia yang kelelahan mengurus keluarga dalam kekurangan materi, kebat kebit mengendalikan lintasan hati agar tak menyalahi sumpah setianya pada sang suami di tengah rayuan lelaki muda nan mapan.

Ia berjalan terseok sendiri. Setan tak rela ia hanya kepayahan sampai di situ saja. Ia meniupkan api dendam pada nasib dan kecewa pada takdir karirnya. Ingin May berteriak sejadinya pada dunia, ia layak untuk penghargaan yang jauh lebih baik.

May merapuh....
Ia tenggelam dalam sesal, kecewa, marah, benci, sedih dan angan-angan akan kejayaan masa silam. Ia sibuk mencari bahagia dengan hiburan dari dunia maya. Video, lagu, film, apapun.

Sampai  suatu ketika, saat berseluncur di dunia maya, lewat perantara sebuah ceramah dari Ust. Yusuf Mansur, May menemukan telaga yang membasuh kering hatinya. Menyirami jiwa yang gersang, mengobati galau dan luka dalam sanubari. Untuk pertama kalinya, May tergugu dalam sesal. Betapa ia begitu jauh dari Allah, hidup bukan dalam aturan-Nya.
#
Sejak mengikuti ceramah ustadz di chanel pribadi sang ustadz, May mulai belajar membenahi diri. Meski ia sebelumnya telah berjilbab, namun masih belum sempurna menutup lekuk tubuhnya. Pun gaya hidupnya yang gaul, mengikuti tren mode, bahkan ia bekerja dan mendapat penghasilan dari institusi riba.

May mulai menyadari kesalahannya. Ia bersungguh-sungguh mengamalkan nasihat sang ustadz dengan amalan utama seperti solat di awal waktu, Dhuha, tahajud, puasa Daud, dan sedekah. Ia menata hatinya agar tetap kukuh pada kesetiaan.

Ajaib, May menemukan damai dan ketenangan luar biasa setelah menjalani riyadhah yang dianjurkan ustadz. May merasakan kebahagian menyelimuti hati, ia tak lagi gundah dan takut akan masa depan. Ia yakin dan pasrah akan ketentuan Allah atas dirinya.

Keyakinan yang berbuah pada ikhtiar untuk membuka usaha gamis syar'i. Allah seperti memberinya jalan dan petunjuk untuk memilih usaha tersebut untuk digelutinya. May yang modis dan stylish menemukan passion di fashion muslim. Sejalan dengan hijrahnya menjadi muslimah berpenampilan tertutup nan syar'i.
#
"Jadi, sekarang aku sedang bicara dengan seorang desainer dan owner butik yang omsetnya jutaan, nih?" Sarah menggoda. May terbahak. Ia menggeleng.

"Tidak, lah. Aku baru merintis. Belum seattle, tapi alhamdulillah lancar dan berkembang terus."
"Bagaimana dengan Mahdi?"
"Oh, Alhamdulillah bisnisnya berjalan lancar. Sedikit demi sedikit bangkit."
Sarah tersenyum lega. May yang gaul, kekinian, modis stylish, populer, cantik dan kaya, kini berubah layaknya kupu-kupu setelah kepompong. Tak hanya busananya, pemikiran dan ucapannya sejuk, penuh petuah kebaikan, dan makin lurus.

"Terkadang kita harus menelan pil pahit agar sembuh dari sakit. Aku bersyukur pernah diberi pil pahit oleh Allah agar aku sembuh dari penyakit, baik hati maupun jasadku.. "
"Alhamdulillah, aku sungguh senang mendengarnya, May."
"Takdir tak pernah salah. Aku bersyukur Allah menyayangiku dengan memberi cobaan yang membuatku terangkat dari kubangan  riba. Kalau tidak hijrah ke Jakarta, aku tidak tahu apakah bisa menemukan hidayah atau malah terpuruk dalam dosa. "

Pelayan cafe membawakan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Aromanya menggelitik penciuman keduanya. May dan Sarah meneguk kopi dengan antusias.
"May, bolehkah aku menuliskan kisahmu?"
Mau tertegun beberapa jenak. "Tentu saja boleh. Tapi, tidak ada yang istimewa."
"Itu menurutmu, tapi tidak untukku yang mengenalmu sebelum ini."
May tersenyum lebar, kemudian mengangguk.

Hijrah adalah tentang berubah menuju Allah, mencari ridha-Nya, mengharap jannah-Nya.
#
Sidoarjo, Juli 2017
Ditulis untuk memenuhi tantangan bertema hijrah. Cerita ini disarikan dari kisah nyata.


You Might Also Like

6 komentar