Senin, Juli 10, 2017

Untuk Mereka Yang Pergi

                    Pic: pinterest.com

"Maaf, aku harus pergi...."
Lagi? Rasanya baru kemarin kulepas seorang adik dan dua orang sepupu. Kini, engkau pun hendak berlalu. Seorang kakak....

"Ada apa gerangan?" tanyaku.
"Tak apa, aku hanya butuh sendiri. Rumah ini terlalu sesak, berisik, dan banyak percakapan yang tak bisa kuikuti. Aku perlu ketenangan agar bisa berkarya."
"Selama ini kau berkarya dari dalam rumah ini, kau bohong! Bukan itu alasannya!" tukasku. Ia membalas dengan tatapan dalam.

"Aku hanya merasa asing. Itu saja." katanya kemudian.
Aku tertegun sekian detik lamanya. Asing?
"Untuk seorang kakak yang selalu menyapa setiap pagi dan menasehati kami dengan petuah kebaikan, asing adalah kata yang aneh..." bantahku, "kau ada di tengah kami. Ya, mungkin kau tidak terlibat obrolan seru kami, tapi jelas kau ada."

Ia tersenyum kecil.
"Aku sudah coba bertahan dengan ragam sifat dan obrolan kalian yang aneka rupa itu, tapi tetap aku semakin merasa terasing, sendiri dan...sepi."
"Apa pergi adalah solusi?"
"Bisa iya, bisa juga tidak." katamu sangsi.
"Kau mau kemana? Rumah baru kah?"
"Aku selalu ada di sekelilingmu. Jangan khawatir. Kita masih bisa bertemu, masih bisa ngobrol, dan tentu saja, aku akan selalu menunggu karyamu. Jika bukumu terbit, aku yang akan pertama kali membelinya!" ujarnya seraya menepuk bahuku.

"Jangan pergi, kumohon!" pintaku, meski sepertinya mustahil mencegahnya di saat ia sudah berkemas.
"Kudengar ayah dan ibu akan membuatkan rumah untuk anak asuh yang baru, bergembiralah! Saudara baru akan datang meramaikan keluarga kita!"
"Kau mengalihkan pembicaraan!"
Ia tertawa kecil. Lalu, mengacak rambutku gemas.
"Sudahlah, pertemuan dan perpisahan itu pasti dalam hidup. Kau harus membiasakan diri."
"Kau akan tetap menulis?" tanyaku.
"Kau bercanda! Menulis adalah hidupku."
"Kau tega!"

Ia menarik nafas panjang. Menghembuskannya perlahan.
"Aku sayang kalian, tapi, maaf, aku harus pergi!" ucapnya lirih, sambil menenteng tasnya tanpa menoleh lagi padaku.
"Maukah kau berjanji padaku?" tanyanya.
"Apa?"
"Berjanjilah kau akan tetap menulis."
"Di rumah kita atau dimana pun dirimu, tetap menulislah. Menulis dari hati, karena panggilan jiwa. Menulis dimana pun kapan pun, meski seorang diri!" sambungnya bersemangat.

Bulir bening bersusulan menyusuri pipi. Aku pernah merasa ini akan terjadi. Tapi tak pernah menyangka akan benar terjadi.
"Kakak!"
Ia melambaikan tangan kanannya, tanpa menoleh lagi.
"Aku akan merindukan kalian!" teriaknya parau.
Malam kesepian tanpa bintang. Pun hatiku.

Kuberjanji, ini akan jadi perpisahan terakhir. Takkan ada lagi selamat tinggal dan kehilangan. Bismillah, Insyallah.

You Might Also Like

0 komentar