PENGHUJUNG SUBUH
Selasa, Maret 07, 2017
Surau tua menggemakan petuah dan kisah. Takzim, emak mendengarkan ceramah,
sesekali matanya basah. Kata-kata kiai dari pengeras suara langgar mengganggu
hatinya. Jika seseorang mati, terputuslah semua perkara kecuali tiga: anak
soleh yang mendoakan orang tuanya, sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat.
Subuh telah berlalu sejak sejam lalu. Ceramah di surau membangunkannya dari
tidur yang tiba-tiba menjadi begitu lelap menjelang subuh. Ia terjaga setelah
tidur sebatang kara di gubuk yang hampir rubuh, berselimut kekhawatiran akan
anaknya yang menggelandang kala malam.
Ia takut anaknya yang gelap mata dan tak mampu menalar karena mabuk, akan
berbuat di luar akal manusia. Membunuh, merampok, memperkosa. Siapa dapat
mengira? Lebih takut lagi, ketika nanti ia tiada, anaknya tak mampu berdoa.
Bagaimana ia akan berharap doa dari sang anak yang hanya tahu mabuk dan
bersenang-senang?
Wanita itu telah uzur, namun masih juga sulit untuk menyungkur ke
haribaan Tuhan. Hidupnya susah, sehari- hari sibuk mencari penghidupan. Itu
pun, hasilnya tak seberapa mapan. Bagi pembuat sapu ijuk seperti dirinya, harga
yang tak seberapa pun masih harus rela ditawar.
Emak beringsut menuju dapur yang sebenarnya masih satu ruangan dengan
kamar. Selembar tirai dijadikan sekat agar tak terlihat seperti tidur di
dapur atau memasak di tepi kasur.
Benar saja, tak ada siapa pun di rumah ini selain dirinya. Anak lelakinya
mungkin tertidur di jalanan. Atau jangan-jangan telah mati ditembak polisi?
Emak menepis pikiran buruk. Ia membuka koran yang menutup makanan di meja dan menemukan makanannya telah menjadi remah.
“Tikus tak tahu adat.” keluhnya. Padahal, ia sangat lapar. Terduduk, ia
memilih melanjutkan mendengarkan ceramah.
Anak soleh yang mendoakan orang tua. Kata-kata itu terngiang kembali di telinga.
“Mak, minta duit!”
Sayangnya hanya itu suara yang dia ingat dari sang anak berusia dua puluh
tahun itu selama ini. Ucapan itu pula yang menjadi bahan pembicaraannya dengan
sang ibu. Meminta uang, menyumpah bila tak ada, lalu pergi dengan
membanting pintu. Tanpa terima kasih, tanpa bertanya keadaannya.
Sejak merasa dewasa, lenyap sudah sosok bocah kecil yang dulu diayun-dibuainya
dengan sayang. Ia marah ketika lapar, mengamuk jika tak ada makanan, tetapi seperti
tak tahu bahwa makanan berasal dari uang. Menyalahkan nasib yang hanya
beribukan wanita tua penjual sapu. Ia malu sekaligus benci karena tak berpendidikan
agar bisa mencari rejeki.
Emak ingin berontak, namun mulutnya tercekat. Ia ingin memberi petuah,
namun anak lelakinya tak pernah betah di rumah. Apalagi semua nasihatnya berbalas
amarah, membuat emak surut langkah. Ia memang salah, tak berilmu sekedar mengajari
anaknya melafal bismillah. Merasa kehabisan waktu karena bergelut dengan hidup yang susah. Tak heran anaknya tak tentu arah.
“Wak, pagi-pagi sudah melamun.”
Keponakannya mengunjungi setiap pagi, membawakan sarapan sekedarnya. Emak
menyeka mata.
“Kenapa menangis, Wak? Si Peleng belum pulang?”
Emak menggeleng. “Makananku digondol tikus....” kilahnya.
Rumini, si keponakan, tak percaya
begitu saja. Satu-satunya yang membuat uwaknya menangis adalah kelakuan sang
anak. Ia telah hafal perangai keduanya sebab rumahnya hanya sepelemparan batu
dari gubuk itu.
“Tikus jangan dikasih ampun, Wak. Pasang perangkap atau kasih racun tikus!”
Emak hanya diam terpekur.
“Rumini punya satu bungkus di rumah, nanti kubawa ke sini ya, Wak?”
Emak mengangguk kecil. Wajahnya masih mendung.
“Wak, sampai kapan Uwak mau begini? Si Peleng harus dikasih pelajaran,
dia sudah terlalu.”
“Uwak harus gimana? Baru mau nasihatin, dia marah. Bawa pisau, matanya
merah, nyumpahin Uwak.”
“Si Peleng minta duit lagi? Jadi, duit yang kemarin dikasih Pak Haji
Rochim dikasihkan ke Peleng?”
Emak mengangguk.
“Uwak udah tua, harusnya udah ngga nyari duit buat hidup. Punya anak
bujang sehat, cari kerja apa aja pasti bisa. Tinggal dia mau apa engga.”
Emak membuka makanan yang dibawa keponakannya, malas menanggapi sesuatu
yang tak berujung pangkal. Sementara Rumini nyerocos.
“Uwak pengin mati aja, Min. Udah ngga kuat hidup susah, ditambah ngelihat
anak yang cuma nambah beban.”
Rumini mendesah. “Ngga boleh ngomong begitu, Wak. Mati udah diatur sama Tuhan,
ngga usah diminta juga entar dia dateng sendiri.”
Emak meneguk ludah. Rumini tak punya anak. Ia tak tahu rasanya
dipecundangi anak yang dilahirkan dari rahim sendiri. Jangankan dibentak,
dimarahi, disumpahi. Anak membantah sedikit saja sudah membuat masygul. Apa
yang dilakukan Peleng, sudah lebih dari cukup untuk membuatnya digelari
durhaka. Maka, sakit apa lagi yang lebih sakit dari melihat anak yang semacam
itu. Bahkan lebih sakit dari ketika melahirkannya dulu.
Rumini takkan mengerti mengapa
emak ingin mati saja. Daripada menanggung susah hati beranakkan berandal yang
tak tahu caranya bicara dengan manusia.
##
Pintu kayu yang hampir copot dari engselnya itu dibanting. Membuat
dinding kayu bergetar beberapa jenak. Sesosok lelaki ceking dengan balutan
celana dan jaket jins kumal berlalu sambil membanting ingus sekenanya ke tanah.
Kamu lagi, Peleng!
Aku jijik melihatmu dari balik jendela kamarku. Selalu. Sebab, kamu bukan
hanya tak enak dilihat, kelakuanmu pun bangsat. Emakmu yang melarat dibiarkan
terlantar, berpeluh mengais rupiah, sementara kamu ongkang kaki menjadi
pengangguran. Hanya tahu makan, tidur, menyulut rokok dan minum tuak. Pergi ketika
orang berangkat ke surau dan pulang ketika orang berangkat ke ladang. Lantas,
tidur seharian seperti beruang.
Dulu, kamu teman sekolahku. Ya, kamu sekolah sekedar agar tak mati
sebagai buta huruf. Kamu tak pernah belajar. Yang kamu tahu hanya main dan
jajan. Membangkang bila disuruh mengaji, apalagi sembahyang lima kali sehari. Emak
yang lemah mengasuh anak seorang diri, tak kuasa mengarahkan tingkahmu. Maka
tak heran, selepas sekolah dasar, kamu putus sekolah dan menjadi bedebah.
Sayangnya, orang tuaku pun sama miskinnya dengan uwak. Bapakku beranak
banyak dan penghasilannya menggarap sawah hanya cukup untuk hidup kami berenam.
Maka, aku pun tak sekolah selepas SMP, bekerja sebentar, lantas menikah.
Untunglah suamiku memberiku ijin untuk mengurus emakmu yang terlantar, sekedar
memastikan ia tak kelaparan. Lebih dari itu, aku pun tak punya kesanggupan.
Ketika kamu melintasi jendela kamar, sengaja kulongokkan kepala. Aku ingin menegur. Tetapi, kamu bahkan tak menoleh. Kupandangi
dirimu hingga lenyap di balik kelokan.
Meski jijik, aku ingin melihatmu hingga hilang ditelan jarak. Sungguh, aku pun
tak tahu mengapa. Mungkin, nanti malam kamu mati digilas truk, siapa tahu?
##
Subuh baru saja terbit ketika kulihat sosok itu duduk di tepi perapian.
Tergopoh aku mendekatinya. Tak salah lagi, Kang Madi, ia datang untuk
menemuiku. Ia nyata, aku tak mungkin salah. Bahkan aroma tubuhnya dapat
kuhirup. Masih seperti dua puluh tahun lalu ketika dia meninggalkanku
selamanya.
“Kang Madi?”
Mataku mungkin rabun, tapi aku kenal betul raut muka itu milik suamiku.
“Saatnya telah tiba, Dasih. Ikutlah denganku.”
“Anak kita, bagaimana dengan dia?”
Dia terdiam sejenak.
“Dia menyusahkan hatimu, tinggalkan saja!”
“Tapi, dia tetap anakku, Kang. Kalau aku pergi, siapa yang akan
mengurusnya?”
“Dia bisa mengurus dirinya sendiri.”
“Tapi, Kang, tak ada yang peduli padanya.”
Kang Madi bergeming. Fajar yang mulai beranjak membuat ruangan itu
sedikit terang. Tak lama, sosok itu menjelma samar, lantas hilang
Surau mulai menggemakan petuah ba’da subuh. Aku terhuyung mencari
suamiku.
Tetapi, yang kutemui hanya anak lelakiku dari balik pintu. Sempoyongan dengan
botol di tangan yang telah kosong. Bau arak menguar dari mulutnya.
“Mak...minta duit!”
“Gusti, Peleeng! Kamu melek aja ngga mampu udah minta duit aja. Malu sama
tetangga! Jam segini orang pada salat, kamu malah mabuk!”
Ia terduduk di kursi. Menenggak botolnya yang kosong.
“Eh, nenek-nenek! Jangan ceramahin gue!”
“Ya Allah Peleng, orang lain mah, umur segini pada kerja. Lah kamu?
Kerjaanmu mabuk ngabisin duit Emak.”
“Coba Emak dulu sekolahin gue, gue ngga susah cari kerja.“ ia meracau.
“Kalau sekolahmu bener pasti Emak biayain sampai tamat.” kataku terbata.
Ia malah nyalang memandang. Tajam menusuk penuh benci. Seperti penuh
kesumat yang sangat.
“Alah, udahlah! Gue lapar. Gue mau makan! Oya, buatin minum juga!”
Aku mengelus dada yang sesak.
“Minuuum!” bentaknya sambil melempar botol.
Mataku basah bersimbah air mata. Sungguh, rasa sakit ketika melahirkan tak
seberapa dibanding perih melihat anak yang tak tahu adat.
Rasanya ingin mati saja....
Aku teringat Kang Madi.
Aku melihat Kang Madi. Ia melambai padaku.
Madi yang telah mati...
Mati....
Masih kudengar petuah dari surau tua ketika aku menyeret langkah. katanya, hanya doa yang mampu mengubah takdir. Tetapi, Kang Madi
datang, bukankah itu petunjuk bahwa waktunya telah tiba? Jika anak itu akan
membuatku khawatir dari balik kubur, biarlah ia kubawa serta.
Maafkan aku Tuhan, yang kukenal hanya sekedar nama, jika harus kuakhiri
derita dengan cara ini....
Sebungkus racun tikus larut sempurna dalam racikan kopi dan gula, ini
akan membuat getirnya tak terasa. Setidaknya kecapan terakhir di penghujung
hidup harus memanjakan lidah, meski setelah itu sekujur tubuh akan meronta, seluruh
indera menderita, melawan nyeri dan kejang. Kemudian, meregang nyawa menuju
baka....
Tanganku gemetar saat membagi minuman ke dalam dua gelas sama
banyak.
Sehingga akhirnya...
Selesai.
1 komentar
Berakhir tragis ya, Mbak Mab. Sedih :(
BalasHapus