BINGUNG

Jumat, Maret 31, 2017



                                               pic source:  www.123RF.com

Di suatu ketika dalam perjalanan menuju sekolah yang terburu-buru, Rusmini bicara kepada anaknya yang masih kelas lima sekolah dasar.  
“Besok-besok ngga boleh bangun terlambat lagi!” katanya gusar.
“Mau jadi apa kamu kalau kamu kesiangan terus!” lanjutnya.
“Untung kamu diantar Mama ke sekolah, coba kalau harus jalan kaki, bisa-bisa dijemur tiap hari kamu di lapangan!”
Sang anak, Farhan, mendengarkan lamat-lamat sambil menahan kantuk yang tersisa. Omelan ibunya seperti lagu nina bobo yang melenakan. Deru motor yang bersahutan bak irama lagu pengantar tidurnya yang terjeda.
“Dulu, Mama berjalan kaki ke sekolah, bareng teman-teman. Jauh, tapi rasanya senang, tak terasa capeknya.”
“Pagi sekali sudah ke kali untuk mandi, udara dingin tak dirasa. Nggak kaya kamu mandi harus air hangat, padahal mandi jam setengah tujuh.”  
Farhan mendengarkan di sela malas yang belum beranjak dari tubuh mungilnya. Badannya terguncang-guncang ketika motor yang dikendarai ibunya melalui gundukan.
“Tapi, Mama tak pernah malas ke sekolah, karena mama ingin jadi dokter.” sambung Rusmini dengan semangat.
Meski mengantuk, tapi Farhan dapat mengingat bahwa ibunya bukan dokter. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang pernah bekerja sebagai karyawati bank dan sekarang sibuk berjualan di rumah.
“Tapi, Mama tidak jadi dokter....” sanggah Farhan.
Sang mama rupanya sudah menyangka akan disangkal anaknya. Maka dia menjawab dengan tegas ”Sebab Mama takut melihat darah. Jadi dokter tidak boleh takut, sama hantu sekali pun!” kilahnya cepat.
“Terus, Mama sekolah apa?”
“Mama sekolah di perbankan.”
“Mama ngga kerja di bank lagi? Kan, enak di bank banyak uangnya, Mama tinggal ambil dari brankas.”
“Heeh?! Itu uang orang, kali! Mama kurang suka kerja di bank, membosankan.”
“Terus apa yang mama suka?”
“Mama sukanya keluar, jualan, ketemu sama orang, dapet duit. Enak, kan?”
Dahi Farhan berkerut. Ingin jadi dokter, tapi kuliah di perbankan, kemudian menjadi pedagang. Kenapa jadi begitu membingungkan?
“Nah, kamu mumpung masih kecil, harus punya cita-cita yang tinggi.” nasihat sang mama.
“Apa cita-citamu, heh?”
Farhan terdiam. Ia tak tahu pasti. Yang jelas, sering yang ia dengar adalah menjadi dokter, arsitek, pengusaha, guru, pilot.... Tetapi, sampai detik ini ia tak tahu harus memilih yang mana.
“Aku tidak tahu, Mama....”
“Heh? Kamu belum punya cita-cita? Wah, gawat ini! Terus mau buat apa kamu sekolah, heh?”
Ibunya masih meracau. Farhan merasa bersalah karena menjawab demikian.
“Mama sama Ayah kerja keras buat kamu sekolah. Kamu yang disekolahin, bingung!”
Farhan meneguk ludah.
“Kalau mama ngga suka kerja di bank, kenapa Mama kuliah perbankan?”
Alih-alih menjawab, ia malah menyelidiki sang mama.
“Ya, karena Mama pikir, kerja di bank itu keren, banyak uang.”
“Ternyata nggak keren ya, Mama?”
“Bukan nggak keren, tapi Mama yang ngga suka di dalam ruangan terus menerus dari pagi sampai sore di depan komputer.”
“Ooh....”
"Apa sekarang Mama senang menjadi pedagang?"
Rusmini terdiam beberapa jenak. Dahinya berkerut.
"Hemm, sepertinya begitu. Mama senang menjadi pedagang...." kalimatnya menggantung.
Otak Farhan mencoba mencerna. Berarti cita-cita boleh diganti walaupun karena alasan yang sederhana. Hanya karena tidak suka di depan komputer. Berarti ia boleh menjadi apa saja meskipun tidak sesuai dengan yang dipelajarinya di sekolah, asalkan dia senang menjalaninya.
“Kalau begitu, Farhan akan bercita-cita kalau sudah besar saja.” Farhan menyimpulkan.
Motor yang dikendarai ibunya masuk ke pelataran sekolah. Sang mama menghentikan laju motornya dan memarkir kendaraannya, kemudian Farhan turun dengan cekatan.
“Kamu sudah terlambat masuk kelas, tapi dengarkan ini, kamu tidak boleh bercita-cita NANTI, kamu harus tentukan dari SEKARANG!”
Sambil membenahi tasnya, Farhan menjawab, ”Aku tidak mau seperti Mama yang kebingungan. Ingin jadi dokter, tapi kuliah di perbankan, lalu sekarang menajdi pedagang. Kalau aku bercita-cita sejak aku besar, aku tidak akan bingung seperti Mama!”
Sang anak mengambil tangan ibunya, menciumnya takzim, kemudian berlari menuju kelas. Meninggalkan Rusmini yang ternganga. Mukanya memerah, hatinya tertohok.
Jika ia yang telah berumur saja masih bingung, apalagi anaknya yang masih bau kencur?
Sang mama berlalu dari sekolah anaknya sambil berpikir. Terus berpikir....

You Might Also Like

6 komentar

  1. Cerpennya bagus...pesanan tersiratnya dapet

    BalasHapus
  2. Wistimewah namun tetap bersahaja. Suka.

    BalasHapus
  3. saya punya sebuah kesimpulan,bapak si anak pasti orang yang cerdas🙆🙆🙆

    BalasHapus
  4. Anaknya pinter ya. Nggak semua anak kecil bisa langsung mikir seperti itu.

    BalasHapus