PULANG-part 1

Rabu, Desember 14, 2016

“Kau mau masuk?”
“Aku rasa tidak...”
“Tapi kau sudah di depan pintu.”
“Tak apa, aku akan selesaikan urusanku dan pergi.”
“Kau yakin? Bagaimana jika ibu menahanmu?”
“Tidak akan! Ibu tahu aku tidak suka rumah ini.”
“Kau tidak suka rumah ini atau tidak suka ayah di rumah ini?”
“Diamlah!”
“Kenapa? Aku berkata benar. Kau benci ayahmu kan?”
“Diam!”
“Aku sungguh kasian padamu...Kau.”
“Aarggh! Diaaam!”

Dengan kedua tangan terkepal, wajah perempuan itu tegang, mematung di ambang pintu rumah yang demikian akrab di ingatan. Sementara dua sisi batinnya berkelahi, teguh dengan prinsip masing-masing. Alih-alih mengetuk atau membuka pintu, ia malah memainkan buku jemari. Matanya menatap lurus, kosong, dan sendu. Sebuah tas travel tergeletak sekenanya di lantai.
“Bodoh! Kau menempuh ribuan kilometer dan hanya termangu di sini?” batinnya mencerca. Perempuan muda itu mendesah berat. Seharusnya dia tahu, kembali ke rumah ini tidak akan mudah. Sejak memutuskan takkan kembali tiga tahun yang lalu, ia telah berlatih mengikis rindu kepada ibu, adik dan kenangan masa kecilnya. Juga sekuat tenaga mengenyahkan mimpi buruk tentang sosok bernama ayah yang seharusnya ada dalam daftar orang yang ingin ditemuinya.
Kalau saja ibu tak memohon dengan hiasan tangis di telepon kemarin sore, ia tak akan berada di tempat paling ironis ini sekarang. Betapa tidak, rumah yang seharusnya menjadi tempat merenda tawa memintal cerita bahagia, tetapi yang diingatnya hanyalah tempat penuh untaian tangis, cacian, dan jalinan cerita haru.
“Kebodohan macam apa ini? Pergi saja cepat sebelum ibu melihat dan menahanmu di penjara ini.” hatinya menghasut lagi. “Lagipula, kau datang bukan untuk ibu, melainkan untuk lelaki tua sakit yang tak berkuasa itu. Ayah!”
Ada perih yang terasa ketika menyebut nama ayah. Perempuan itu menunduk dalam, keningnya bekerut menandakan keras usahanya untuk mengusir kenangan yang sialnya, meski dibantu gelengan kepala tetap enggan beranjak. Tentu saja, bagaimana mungkin mengenyahkan ingatan sementara ia berada di tempat yang merekam kejadian itu.
Di tengah kebimbangan, perempuan itu tak menyadari ketika sepasang tangan keriput menjulur ke bahunya. Ia terkesiap, serta merta menoleh ke arah sumber sentuhan.
“Rahma?! Kau sudah datang!” pekik pemilik tangan keriput itu.

Rahma meneguk ludah. Lidahnya kelu. Ibu...

You Might Also Like

4 komentar