PULANG -part 3

Rabu, Desember 21, 2016


Pandangan Rahma berkeliling memeriksa setiap sudut kamarnya. Kamar yang seumur dengannya, tiga puluh tahun, sehari-hari dihiasi sunyi. Tetapi, ibu tak luput untuk membersihkan kamar bercat hijau muda itu setiap hari, sehingga kamar berukuran 2x3 itu tak berdebu. Isinya masih sama seperti waktu dulu ia meninggalkannya: sebuah dipan yang hanya muat untuknya, lemari susun plastik dan sebuah sapu lidi untuk membersihkan kasur.
Dada Rahma mendadak sesak. Sapu lidi itu, apakah ibu terlalu sayang sehingga tak mau membuangnya? Apakah ibu lupa, bahwa ia bukan sekedar sapu lidi? Ia sekaligus juga alat pemukul jika Rahma membangkang dan menangis. Ia yang kerap mengenai tubuh kecil Rahma di punggung, paha dan kaki, dengan kekuatan tenaga lelaki dewasa yang marah. Maka bukan hanya merah, tetapi lebam dan perih. Mengapa ia masih di sini, menghadirkan memori mengerikan yang kerap menghiasi mimpinya?
Rahma bahkan masih ingat dengan seksama salah satu kejadian itu. Kejadian ketika ia memeluk lutut dengan wajah dibenamkan ke pangkuan sehingga rambutnya tergerai membentuk selubung hitam yang sempurna. Tubuh kecilnya bergetar menahan sisa senggukan setelah setengah jam lalu menangis. Orang-orangan yang terbuat dari kertas berserakan di sekelilingnya.
Rafi, sang adik, memandang kakaknya dengan perasaan tak mengerti. Naluri menggerakan tangan kecilnya mengusap-usap puggung sang kakak. Ia tak paham apa yang menimpa kakaknya, juga rangkaian kejadian yang disaksikannya tiga puluh menit yang lalu. Ia hanya tahu, sang kakak yang kerap menghiburnya, kini berduka. Juga ibu, tempatnya mencari pelukan ketika takut, pun tengah sembab dan diam.
Sejam yang lalu ketika itu, Rahma, si kecil berumur enam tahun, tengah bermain dengan riang di teras ketika lelaki yang ia panggil ayah datang. Ayah   mengelus rambutnya sebentar, kemudian masuk ke rumah. Rahma mengekorinya hingga ke balik pintu, namun ia tak berani mendekat.
Lelaki itu, ia tak paham mengapa kadang ada, lebih sering tiada. Tak seperti anak lainnya, Rahma jarang menemukan ayah di rumah untuk diajak bermain atau sekedar menggelayut manja. Ibu bilang, ayah bekerja di tempat yang jauh sehingga jarang pulang.
Rahma mendengar lelaki itu bicara dengan ibu, agak keras. Dari balik pintu depan, si rambut legam itu mengintip ingin tahu. Ayah jarang pulang, tetapi setiap pulang Rahma tak merasakan luapan kerinduan dari lelaki itu. Ia  hanya mendengar lelaki itu banyak memerintah, lalu ada amarah yang meledak, disusul dengan pertengkaran.
Ia melihat semuanya, ketika ibu yang tak siap belum menyiapkan makan, lelaki itu murka. Ia membanting semua yang di depannya. Piring, gelas, apapun yang terlihat. Melayang megenai pelipis perempuan yang sudah lelah karena bekerja. Ayah  menyebutnya tak pandai mengurus rumah dan keluarga.
Rahma mendengar semuanya, tentang uang, waktu dan nama seorang perempuan. Entah siapa yang mereka maksud, tetapi sepertinya ia terlalu menyakitkan hati ibu, kerena ibu berurai air mata ketika mengatakannya. Ayah semakin murka dan itu menjadi alasannya untuk pergi lagi.
Pemandangan itu, Rahma tak tahu sejak kapan mulai terjadi, yang pasti sejak pandai menalar, ia telah terbiasa dengan peristiwa-peristiwa yang membuat mereka menyesal pernah bertemu sosok ayah. Tak cukup sampai di situ, lelaki itu tak puas hanya membuat ibu menangis.
Waktu melihat Rahma bermain orang-orangan dengan adiknya, ia melihat rumah berantakan, penuh guntingan kertas. Ia tak senang dan menyuruh Rahma membereskan mainannya. Dengan takut-takut, Rahma menolak. Ia baru saja membuat orang-orangan ketiga dari sepuluh yang direncanakannya. Ia menyempatkan membuat mainan sebagai imbalan membantu ibu menjaga adik dan mencuci piring. Maka, baginya kesempatan itu langka.
Lelaki itu tak terima sabdanya dimentahkan. Maka, dia muntab, merapikan semua mainan Rahma dengan kasar lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia suruh Rahma menyapu. Rahma, si pemberontak itu, tentu menolak. Naas baginya karena itu hanyalah alasan untuk sebuah pukulan di paha, menyisakan lebam. Tangisnya pecah, tetapi bukannya iba, ayah malah menjadi. Dipukulnya lagi di betis agar Rahma diam. Rahma kecil sekuat tenaga menahan tangis sebab menangis berarti pukulan berikutnya.
Si kecil Rafi hanya melihat dengan mata polos penuh tanya.
Kejadian serupa terjadi setiap dia datang dengan alasan yang berbeda, meski hanya sekedar silap menumpahkan segelas air, semua akan dibayar dengan pukulan ditingkahi sumpah serapah dan umpatan. Dalam tangis diam-diamnya, Rahma berharap lelaki itu tak pernah datang.
Rahma ingat, ketika ia semakin dewasa, ia tahu ibu bekerja untuk menafkahinya dan adik. Ayah jarang memberi ibu uang, sebab uangnya habis untuk si perempuan. Ayah jarang pulang, sebab ia bekerja di luar kota dan tak selalu pulang ke rumah, melainkan ke rumah perempuan yang dicintainya selain ibu. Ah, Rahma merasa lelaki itu sebenarnya tak mencintai ibu. Apakah bisa dikatakan cinta jika tega memukul, menelantarkan, melarai hati dengan menduakan, juga membiarkan ibu berjibaku mengurus dua anak sendiri hingga menjelang remaja?
Hingga suatu hari, mungkin Tuhan sedang murka atau justru sayang pada lelaki itu. Sebuah kecelakaan melumpuhkan kedua kakinya. Ia yang semula perkasa, berangsur kehilangan kekuasaannya. Tentu saja, tanpa uang dan sakit, perempuan itu tak sudi menerima ayah. Maka, ayah datang kepada ibu dengan diantar kerabat, dengan malu dan sesal yang terlambat, juga badan yang tak sehat.
Ibu, menerimanya dengan ribuan rasa tanpa definisi. Pun Rahma yang menginjak usia delapan belas, terpaksa menerima kenyataan bahwa lelaki itu ada di dalam rumah yang damai tanpanya dan menjadi neraka karena kehadirannya. Setiap melihat lelaki itu, yang ada hanya benci dan marah yang tak sampai. Bertahun antara ada dan tiada, kemudian selalu ada, tetapi menjadi benalu. Meskipun lelaki itu mulai menyesali masa lalunya, bagi Rahma itu bukan karena kesadaran. Tetapi, kerana ketidakberdayaannya melawan nasib.
Bencinya semakin memuncak ketika lelaki itu merasa berhak mengatur hidup Rahma. Ketika datang kesempatan kuliah S-2 di Jepang, seorang lelaki baik datang melamar. Ayah merasa lebih baik Rahma menikah supaya beban ibu berkurang, karena akan ada yang bertanggungjawab terhadap dirinya. Rahma mentah-mentah menolak ide itu. Ia sangat mencintai ilmu, betapa pun susah kehidupannya. Kesempatan itu tidak mungkin disiakan. Maka, dia memilih untuk melanjutkan studi dan pergi, ketimbang harus menikah dan masih bertemu dengan ayah yang tetiba merasa berhak itu.

Tiga tahun lalu, ia pergi setelah bertengkar hebat dengan ayah. Ia pergi, membawa cita tentang hidup yang lebih baik demi ibu dan adik. Meski ia harus mengorbankan waktu untuk berpisah sementara dengan mereka. 

You Might Also Like

0 komentar