SEKALI SAJA-BAG. 2 ( HABIS )

Kamis, Desember 01, 2016


demi siapapun penghuni langit
gue kira yang bening itu selalu telaga
ternyata, itu hanya matanya
mata telaga

Keningku berkerut merut membaca barisan kata di buku biru beraroma lavender milik...abang? Yang benar saja!
Ini menarik. Bagaimana seorang yg telah lima tahun putus sekolah dan tak tahu adat bisa tunduk di haribaan buku biru beraroma perempuan semacam ini? Jangan-jangan kehidupan bebas bersama teman-teman minumnya telah membuatnya berpindah orientasi.
Aku bergegas menutup pintu kamar yang penuh baju bekas pakai bergelantungan. Aroma  lembap kasur bantat dan sisa makanan basi menguar mengganggu napas. Kalau tak ada hal menarik yang perlu kucari tahu, diupah pun aku tak sudi barang lima menit di ruangan ini. Ada beberapa lembar kertas biru yang ternoda oleh tangan kasarnya, dan itu lebih menggoda.

Demi pencipta langit
Dia itu hantu atau dewi?
Kenapa bayanganya ada di mata gue
Setiap detik setiap tempat
Gue salah sama dia, tapi gue terpaksa
Mata telaga

Duhai, siapa mata telaga yang dia maksud? Dia sudah hidup bersama Asih, Agus dan Robert beberapa bulan ke belakang ini. Kalau dia suka Asih, dia bisa langsung bilang tanpa harus mengajari jarinya menari di atas kertas. Tetapi, mata Asih bukanlah telaga, melainkan elang.

Hari ketujuh
Wahai penguasa lautan, jika Kau sanggup membalik lautan
Mengapa Kau tak lakukan itu pada hati gue
Balikin hati gue
Ke masa sebelum bertemu si mata telaga
Dia hantu paling manis yang pernah gue lihat
Semacam penampakan paling bersih dari noda yang pernah gue temui
Gue nyesel kenapa harus melihat mata itu
Mata telaga
Gue tenggelam
Gue benci
Aku membekap mulut yang menganga. Siapapun pemilik mata telaga itu, pasti sangat berkesan untuk abang semata wayangku. Sepanjang sejarahnya menjalin hubungan dengan puluhan gadis, tak pernah sekali pun mampu membuatnya tunduk mengungkapkan isi hati pada seseorang, apalagi sampai bersusah payah menulis di selembar kertas.  
            Apa sebenarnya yang telah dilakukan si mata telaga? Kutelusuri lagi halaman demi halaman yang semakin membuatku terheran-heran akan perubahan lelaki kasar yang sangat pandai menyumpah itu. Terhitung lima belas halaman penuh telah ia kotori dengan kata-kata indah yang tak dapat kutebak dari mana dia mendapatkannya.
            Aku rasa, akan lebih banyak puisi berserakan di buku biru ini esok. Aku akan menunggu tulisan esok dan esoknya lagi...
****
Telah satu purnama lebih sehari
Apakah yang lebih menyesakkan selain dari mencintai tanpa memiliki
Jangankan memiliki, menampakkan diri pun tak berani
Tuhan, bukankah cinta indah tak terperi
Tapi kenapa bagiku bagai sembilu mengiris hati

Menyusuri deretan kata penuh rasa di buku biru itu tak ayal membuat mulutku lagi-lagi terbuka tanpa kuperintah. Aku masih takjub pada pekerjaan cinta yang sanggup mengubah seorang yang tak pernah membaca buku menjadi penulis bertabur kata puitis. Ia bahkan telah melenyapkan kata tak senonoh dari sebuah puisi: gue. Pun ia fasih mengeja nama Tuhan. Amboi!
Jika yang menulis bukan Bogel, aku tak akan terperangah heran. Ia yang akrab dengan kerasnya hidup di jalanan, bertaruh nyawa demi beberapa lembar uang seratus ribuan, dengan kehidupan bebas seperti ayam, mampu menulis bait-bait penuh rasa. Gerangan seperti apa gadis bermata telaga itu? Di mana dan siapa dia? Sayangnya, hingga hari ketiga puluh, belum juga temukan petunjuk tentangnya.

            “Hei, ngapain lo di sini?!”
Aku terkesiap. Terlalu asyik menekuri curahan batin, mengasingkanku dari dunia. Sampai tak sadar sang pemilik ruangan datang.
“Ee...enggak gue cuma lagi cari eerr...gunting, iya gunting.” kilahku sambil berusaha menyembunyikan buku biru itu.
“Lu kira gue bego apa? Balikin buku gue!”
Aku diam tak berkutik. Kurasa, dia malu rahasia terdalamnya diketahui orang lain. Kuangsurkan buku itu sambil bersiap mendapatkan umpatan.
“Pergi lu!” usirnya dengan muka tertunduk. Buku biru itu, dilempar begitu saja di  kasur.
“Maafin gue Bang. Tapi, lu bisa percaya sama gue.” kataku meyakinkannya, sambil takut-takut dia akan menolak.
Dia menunduk semakin dalam. Agak mengherankan mengingat dia orang paling cuek yang kukenal. Setelah beberapa menit terkurung diam, akhirnya dia menemukan suaranya.
“Gue rasa, Tuhan mulai hukum gue.“ katanya tercekat, tanpa kuduga.
“Maksud lo, Bang?”
Dia menarik napas panjang, lalu menghentakkannya seolah ingin melepas beban berat.
“Jalan hidup gue salah, Wi. Gue pengin kembali, tapi gue ngga tau harus mulai dari mana.”
Aku terpekur mendengar nada penyesalan dari mulutnya. Mulutnya terbiasa berserapah, tetiba mengucap kata yang benar setelah lima tahun lamanya asal bicara.
“Gue jatuh cinta, Wi...”
Aku mengerenyit melihat lelaki yang gemar menantang maut itu kini tampak tanpa kuasa. Bahwa dia jatuh cinta, aku sudah tahu. Tapi, apa hubunganya dengan penyesalannya?
“Terus?”
“Tapi, dia jelas ngga mungkin gue dapetin. Lu inget sebulan lalu gue berhasil rampas motor?” tanyanya sambil memandangku.
Aku mengangguk sambil berusaha mengingat.
“Itu motor seorang mahasiswi yang gue buntutin dari kampus ke kosannya. “
Otakku mulai bekerja, mengambil file ingatan peristiwa sebulan yang lalu. Membuka rekaman tentang keberhasilan Bang Bogel membegal motor untuk ketujuh kalinya. Keberhasilan yang dirayakan dengan minum dan mabuk hingga pagi di kontrakan Bang Miun, senior mereka. Aku diundang untuk makan-makan dan baru pulang menjelang subuh. Kuingat waktu itu Bang Bogel banyak tercenung disela pesta.
“Lu tau Wi, waktu gue pepetin motornya terus gue paksa dia turun, dia ngga melawan sama sekali. Dia turun, terus ngasih kunci sambil liatin mata gue. Saat itu gue sadar, dia bukan lawan gue. Waktu itu gue bareng si Robert. Kalau gue ngga ambil motor itu, gue bisa dikatain banci.” paparnya sambil menelanjangi langit-langit kamar.
“Gue belum pernah lihat mata sebening itu, menatap gue tanpa takut. Dia tenang banget. Sekarang gue sadar, dia emang ngga ngelawan, tapi ternyata matanya menghukum gue sampai hari ini. Gue ngerasa dosa, sekaligus...jatuh cinta.”
Aku bernapas sepelan mungkin agar tak mengusik ceritanya.
“Lebih baik gue mati ditembus pelor atau dipenjara. Daripada gue nanggung cinta ngga kesampaian kaya gini. Gue nyesel, Wi. Kalau gue orang baik, mungkin gue ga akan kesiksa kaya gini. Setidaknya gue bisa ungkapin perasaan gue ke dia. Tapi, gue penjahat di matanya. Mana dia mau ngeliat gue?  Boro-boro cinta,  dilaporin polisi, iya!”
“Gue bisa ngerti perasaan lo Bang...” aku berusaha simpati.
Dia mendengus. Seolah ingin mengenyahkan sosok melankolis lemah yang baru saja menguasai diri, ia menggeleng kuat. Menghadirkan lagi sosok dirinya yang tak berperasaan.
“Besok gue ada misi, gue bareng si Doyok ke daerah Tangerang. “
Aku terdiam. Sosok Bogel, pembegal yang tak segan membunuh korbannya itu kembali merasuki tubuh legamnya.
“Lu udah tau semua tentang cewek mata telaga itu. Kalau besok gue ngga balik, lu datengi rumah dia, kasih semua tulisan gue ke dia.”
“Bang!” hardikku.
Aku tahu, setiap aksi begal selalu dibayangi resiko terburuk yang harus siap mereka tanggung. Tetapi, sebejat apapun dia tetap abang yang akan kutunggu pulang. Ia memang bedebah, tetapi juga pahlawan untukku dan emak yang tua dan sakit.
“Gue mau sekali aja lu ketemu dia, supaya lu bisa ceritain ke gue, kalau-kalau gue ngga bisa lihat dia lagi selamanya...”
“Bang! Jangan ngomong jelek napa?! Mendingan lu siapin besok! ”kataku sambil berlalu.
“Wi, alamatnya ada di buku yang ungu, itu bukunya yang ketinggalan di bagasi motornya.”katanya sambil menunjukkan buku di atas lemari.
Tanpa menghiraukannya lagi, aku pergi dengan membanting pintu. Entah kenapa, sebentuk rasa asing menyusup ke hatiku. Aku takut...
****
Barisan air mata makin deras menyimbah wajah seiring kenangan akan abang yang terpampang satu-satu di benakku. Aku melaju makin jauh, jauh meninggalkan seorang perempuan bermata telaga yang Tuhan kirimkan untuk menghukum abang dengan caranya. Ketenangan mata telaga itu serupa tetes air memahat cekungan di hati yang batu, meninggalkan jejak abadi yang indah sekaligus menyakitkan. Cekungan bernama cinta itu menghukumnya perlahan, menyisakan penyesalan terdalam dan sakit karena hasrat tak sampai. Dia lumpuh karenanya. Dia bahagia sekaligus sengsara.
Hidup  tak berjiwa, ada tapi tiada. Tertawa, tetapi menangis. Rindu, tetapi menyesal pernah bertemu. Cinta, tetapi takut.
Gundah hati membuat dia larut dalam lamunan. Seluruh tubuh lunglai tak bergairah. Cinta dan rindu melenakan kesigapan refleks dan indera, sehingga ia lengah dalam misi terakhirnya.
Tuhan benar-benar menghukumnya. Melalui tangan-tangan manusia beringas yang lama gemas dengan aksi para pembegal ganas. Para lelaki haus darah yang lama memendam amarah, untuk menumpahkan darah bedebah sebagai bayaran setimpal atas kejahatan mereka yang mewabah. Ketika cinta melumpuhkan jiwa raganya, ia sejatinya telah mati, sehingga ketika dua lelaki sasaran misinya kali ini lebih waspada dan sigap atas bahaya, sejatinya hanya raganya yang tersisa. Beruntung, kawannya masih sanggup melawan dan lari dari kepungan manusia yang datang bak air bah.
Bogel sang pembegal buronan polisi, mati diamuk massa. Ia mati membawa cinta yang memenjara hati, di tangan manusia-manusia yang merasa berhak mengadili.
Dadaku terguncang-guncang menahan sesak, mengingat nasibnya di akhir usia yang baru dua puluh tahun, mati dengan badan penuh luka, memar, lebam dan darah. Isakku tak tertahan mengingat emak memeluk anak yang tak alpa mengiriminya uang untuk makan, dengan jerit tangis dan ceracau menggugat Tuhan. Dan, aku yang pilu di tepi pusara tanpa nama, sebab tak ada yang sudi mengabadikan seorang penjahat.

Hari ini, tepat seminggu setelah kepergiannya, aku akan pergi ke makamnya setelah bertemu si mata telaga sekali saja. Akan kukabarkan bahwa dia baik-baik saja dan tengah membaca puisi-puisi tentangnya. Supaya si mata telaga tahu setidaknya sekali saja, bahwa dia mencintainya. Cinta yang sebenarnya, cinta selamanya...

You Might Also Like

5 komentar