PULANG

Senin, Desember 12, 2016

                                                     www.gardenphotos.com

Lelaki senja berambut putih, duduk termangu di taman penuh bebungaan. Wajahnya datar, tetapi matanya jujur mengakui betapa banyak yang ingin dia ceritakan padaku. Dengan tangan bertumpu pada tongkat kayu yang setia menanggung beban tubuh rentanya, ia menatap lurus ke padaku, tersenyum samar, lalu mulai bercerita.
“Sebentar lagi musim liburan, semua orang pergi berlibur...” ia memulai ceritanya.
“Pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi. Bersenang-senang bersama keluarga dan teman, menghabiskan waktu dan uang di tempat wisata...” lanjutnya.
Ia tersenyum kecil padaku, sepertinya dia teringat indahnya tempat-tempat yang pernah dikunjungi.
“Dulu, aku pun begitu. Liburan adalah saat yang ditunggu untuk sejenak melepas penat.”
Ia menerawang, garis kerut merut yang terpahat jelas di wajah tuanya mengisyaratkan telah banyak rotasi peristiwa dalam hidup. Juga puluhan atau bahkan ratusan slide tentang masa-masa liburan yang menyenangkan, berkelebatan di kepala.
“Waktu liburan sama berharganya dengan hari kerja untuk menghasilkan uang. Bedanya, liburan menghabiskan uang yang dikumpulkan dengan bekerja.”
“Bagaimanapun, berlibur itu penting agar tak cepat tua karena stress...” lanjutnya.
Ia menyandarkan punggung ke kursi. Memejamkan mata dan mulai menghirup aroma udara pagi yang mulai menghangat.
“Aku sering berlibur ketempat-tempat baru, tetapi lalai mengunjungi tempat lama yang paling merindukanku...”
Matanya menekuri setiap senti tanah lembab tempatnya berpijak. Ia gerakkan tongkatnya menggambar sebuah rumah. Lalu, orang-orangan, tak lupa seekor burung kecil dalam sangkar.
“Tempat itu, hidup oleh cinta dan hangat kasih orangtua. Ramai oleh celoteh juga teriakan lima saudaraku. Gaduh karena suara ibu memasak dan memberi petuah, juga semarak karena suara ayah ditingkahi burung-burung yang hanya pandai bercericit.”
“Itu simfoni terindah yang pernah kudengar dan lekat di ingatan hingga kini.”
Ia menatap lekat gambarnya seolah film tentang keluarganya tengah diputar. Bibirnya kembali mengulas senyum.
“Tempat itu luas tetapi tidak begitu luas, tak megah sebagaimana hotel yang kusewa ketika berlibur, tetapi kehangatannya memikat setiap yang pernah singgah untuk kembali dan kembali lagi...”
“Ia juga tempat paling nyaman untuk berlindung...”tambahnya dengan senyum mengembang. Tetapi, kemudian senyumnya memudar.
“Meski begitu, aku begitu gegabah. Ketika aku telah merasa dewasa, aku jarang kembali...” ia terpekur. Menggeleng-geleng pelan, mungkin dia heran dengan dirinya sendiri. Air menggenang di pelupuk matanya.
“Sekarang, jangankan kembali, melihatnya pun tak bisa lagi. “
Lelaki tua itu menyeka sudut matanya yang membasah. “Kau tahu, kita selalu butuh tempat pulang...” katanya lirih. Lenyap dihembus angin pagi. Anggukan bunga-bunga yang tertiup angin seolah mengamini ucapannya.
“Kau tahu apa yang paling sakit?“ tanyanya yang hanya berjawab sepi. “...mengetahui bahwa kau salah setelah tak mungkin lagi memperbaiki” ia menjawab sendiri pertanyaannya.
“aku sangat jarang pulang, meskipun ada uang, waktu dan kesempatan. Hanya sekali setahun ketika lebaran, padahal ada bapak dan ibu yang menanti dengan sabar dan sangat...” tutunya lagi.
“Sekarang Tuhan membuatku merasakan, kerinduan yang sama dengan yang mereka derita, bertahun-tahun menanti anak-anaknya datang menengok dan berbagi cerita. Tak sekedar berlembar uang dan kabar bahkan suara di ujung telpon.”
Dilepaskannya napas dengan perlahan, mengenyahkan sedikit demi sedikit sakit rindu yang diidapnya. Tangan keriputnya mengusap kepala tongkat pelan.
“Kau tahu, ini musim liburan. Tapi, lihatlah...rumah ini tetap sepi seperti kuburan...”
Sambil menahan sakit sendi yang bergemelutukan ketika bergerak, lelaki berambut putih itu bangkit perlahan. Berpegangan pada tongkat tuanya, ia memungut sekeping beling dari tanah lembap.
Ia mendekatiku perlahan, lalu meletakkan tangan kirinya di badanku. Menyandarkan tongkat di bahunya, kemudian mulai menggerakkan beling di atas tubuhku. Ia menggores dengan kuat, membuat satu turus di samping 1074 turus yang telah terpahat sebelumnya. Ya, telah 1075 hari ia menanti tiga anaknya kembali, namun hingga hari ini, ia hanya sekedar mimpi.
Lelaki senja berambut putih itu terisak lirih. Aku ikut menangis, bukan karena sakit tubuhku yang tergores, tetapi karena aku tahu betapa sakitnya sebuah sepi. Hanya ia yang bersedia bicara denganku di antara sekian banyak makhluk Tuhan di taman ini. Ia menjadikanku kawan sejak istrinya tiada, meskipun aku hanya sebatang pohon di halaman rumah. Ia dan aku, sama-sama tua dan sunyi, sama sama sepi.

You Might Also Like

1 komentar