PULANG- part 5 habis

Rabu, Desember 21, 2016

Hingga hari ketiga, Rahma harus bersyukur karena pendengaran lelaki itu yang semakin berkurang, ia tak mendengar pembicaraan Rahma dan Ibu selama ia di rumah. Rahma tahu betul ia harus menjaga diri agar tak berisik, Ibu tahu ia harus pandai memanfaatkan setiap momen agar ayah tak menaruh curiga.
Kalau ibu tak memaksanya berpamitan, tentu Rahma tak akan menginjakkan kaki ke kamar yang bau obat itu. Ia dipanggil pulang karena lelaki itu, maka ia harus meneguhkan diri untuk bertemu dengannya meski batinnya berontak. Akan lebih baik jika ayah tak tahu bahwa ia telah bersamanya selama tiga hari ini.
            Tetapi, tak urung Rahma mengekori ibu dengan wajah datar.
“Ayah, lihat siapa yang datang...”
Datang? Mungin lebih tepatnya yang akan pergi. Ibu mengguncang bahu ayah untuk memfokuskan perhatiannya.
Lelaki yang terbaring lemah itu menoleh dengan susah payah. Matanya seketika berhenti berkedip ketika melihat sosok yang begitu dirindukannya berdiri tepat di depan mata.
“Rahma?! Anakku...”
Rahma mendekat dengan ragu, ia hembuskan napas dengan berat. Meski ia amat marah tetapi ia harus melakukannya. Maka, ia ambil tangan lelaki yang terbaring lemah itu, kemudian menciumnya. Ia bermaksud berpamitan.
Lelaki itu cukup tahu,  betapa putrinya masih menyimpan bara di dada. Maka ia tak berharap lebih dari sekedar kedatangannya. Hanya saja, ia akan pastikan bahawa dirinya harus meminta maaf. Dalam hati ia mengutuk kaki yang tak mampu bergerak sehingga tak kuasa berlari memeluk putrinya. Rambutmya telah menjadi abu-abu, kepongahan tak tampak lagi pada wajah tirus dan keriputnya. Rahma meneguk ludah. Sejujurnya, ia merasa iba.
“Rahma...maafkan ayah....” ujarnya tanpa melepaskan tangan Rahma. Air matanya menitik.
“Ayah hanya ingin dimaafkan, tidak lebih....” lanjutnya parau.
Rahma meneguk ludah. Ia hanya menekuri lantai dan membisu.
“Aku pamit, a...ayah.“ katanya dengan nada berat, “tentang itu...tolong beri aku waktu....”
Mata lelaki itu berkaca-kaca. Bibirnya mengulas senyum.
“Semoga ayah masih ada ketika waktu itu tiba, anakku. Tapi, bagi ayah, datangmu, meskipun kau akan pergi lagi, sudah lebih dari cukup...”
Rahma menahan deru di dadanya. Ia lihat ibu sibuk menghapus banjir di pipinya.
“Aku pamit ayah...”
Rahma bergegas memutar tubuhnya, berbalik menuju pintu. Ibu mengekorinya setelah sebelumnya meminta ijin pada ayah.
Di luar rumah, taksi bandara sudah menanti. Setelah selesai memasukkan barang bawaanya, Rahma berpamitan pada ibu.
“Ibu harap kamu tidak membuang waktu...” pesan wanita itu sambil menatap ke dalam bola mata Rahma.
Rahma menatapnya sejenak, lalu takzim mencium tangannya. “Doakan aku selalu Bu, agar bisa ikhlas seperti Ibu...”
Ibu memeluknya haru. Ia berusaha yakin pada doa-doanya.
#
Tiga bulan kemudian...
Seorang perempuan muda dengan tas travel di tangannya, datang tergopoh-gopoh menuju pintu rumah yang akrab di ingatan. Meski batinnya masih berseteru, ia mantap mengetuk pintu dan segera membukanya, kemudian menghambur ke dalam. Hatinya dipenuhi rindu pada sang bunda, juga seuntai kata maaf untuk sang ayah. Ia  sekaligus membawa berita gembira akan rencana sidang magisternya sebulan kemudian.
Rahma, sang perempuan muda itu, mencoba memaafkan diri, juga takdir dan nasib sebelum akhirnya menerima dan berdamai dengan ketiganya. Hatinya tergerak ketika menyaksikan betapa dunia semakin hari semakin dipenuhi oleh ironi dan kekejaman yang tak kenal nasab. Maka, ia merasa lebih beruntung dibanding mereka yang telah kehilangan orangtua, ia beruntung karena tetap hidup normal, bahkan cerdas dan berprestasi walaupun dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Justru, mungkin tempaan masa lalu itulah yang membentuknya menjadi seperti ini. Maka, ia patut berterima kasih pada lelaki itu, agar ia mampu mensyukuri sisi positif dari kehadirannya. Ia belajar memaafkan ayah dan mencari sisi baik yang mungkin masih tersisa dari dirinya.
Langkahnya terhenti di ambang sebuah kamar beraroma obat. Seorang lelaki tua tengah berdoa usai sholat dengan berbaring. Di sampingnya, seorang wanita bersimpuh khusyu sebagai makmum. Rahma terharu menyaksikan keikhlasan yang dicontohkan ibu padanya.
“Ibu...Ayah...”
Wanita itu menoleh, ia takjub demi melihat siapa yang datang. Ia tahu inilah saatnya, saat Rahma pulang tanpa diminta, sebab hatinya telah lapang memaafkan sang ayah. Maka ia mengguncang tubuh suaminya dengan gembira, menyadarkannya akan kenyataan di depan mata bahwa putrinya kembali lagi pada mereka.
“Ayah! Ayah! Lihat siapa yang datang!”
Ayah menoleh ke arah pintu. Meskipun tak menyangka, hatinya seketika membuncah bahagia. Ia lihat putrinya datang dengan tersenyum. Ia tahu inilah saatnya dan ia bersyukur saat itu tiba pada saat dirinya masih bernapas.
Rahma mendekati keduanya dengan perasaan campur aduk, ia melangkah dengan canggung. Ia merunduk, meraih tangan ibu, kemudian ayahnya.
Sambil tersenyum, ia berkata: “Ayah, Ibu...aku pulang!”

You Might Also Like

0 komentar