PULANG-part 2

Kamis, Desember 15, 2016

Sungguh, betapa pun mahirnya Rahma mengikis rindu pada wanita yang mengaliri darahnya dengan air susu, ia tak kuasa menolak rentetan beragam rasa yang menyerang serempak ketika bersua dengan sang Bunda. Ternyata, ia tak pandai mengusir rindu, ia hanya pandai membohongi diri.

Wanita enam dasa warsa itu, tanpa ragu meraih tubuh Rahma ke dalam pelukan. Dadanya bergetar menahan sesak dan isak, air mata berkejaran di pipi, ia rengkuh anak perempuan pertamanya seakan tak ada lagi kesempatan kedua. Rahma, ia telah terbiasa menyembunyikan tangis, sejak menangis menjadi alasan untuk setiap pukulan di tubuh kecilnya dulu. Tubuhnya kaku, bibirnya bergetar menahan ledakan di kerongkongan agar tak pecah menjadi tangis. Hanya pelukannya yang mengerat menandakan betapa besar hasrat untuk bertemu wanita terkasihnya itu.

Rahma membawa ibu duduk di kursi kayu teras. Terasa benar bahwa tubuh tua itu kehilangan banyak lemak dan bergelambir karena tak terawat, terbungkus daster yang kebesaran. Aroma rempah bumbu dapur menggelitik penciuman. Ia tampak lelah dengan kantung mata yang menghitam, untunglah air wudhu menolong rona wajahnya agar tetap bersinar. Duh, Ibu...sejak dulu hingga kini, ia setia berdedikasi pada sang suami yang kerap membuat lara hati. Prinsip yang tak masuk akal menurut pandangan Rahma yang berjiwa pemberontak.

“Ibu senang akhirnya kamu pulang, Nak...”
Rahma melepaskan pelukannya, mengambil tangan kanan ibu dan menciumnya takzim. Mencium kedua pipi Ibu yang mulai ramai oleh garis.
“Tolong jangan berharap lebih, Bu. Lusa aku harus kembali...”
“Kamu bahkan belum masuk, tapi sudah bilang mau pergi lagi. “
Rahma merasa bersalah karena membuat wajah itu digelayuti mendung.
“Maafkan aku, Bu. Aku hanya cuti sehari...”

Ibu menunduk, matanya nanar menekuri lantai. Ia tak pernah menduga akan sedemikian besar kebencian putri yang paling mirip dengan ayahnya itu. Meski sering bertemu lewat suara di telepon, ia berharap putrinya meluangkan lebih banyak waktu bersamanya.
“Kamu tidak suka bertemu Ibu?”
Rahma menggeleng cepat. Digenggamnya tangan ibu erat-erat.
“Bukan begitu, Bu.Ibu tahu itu. Hanya saja....” ia menggantung ucapannya, “rumah ini menyegarkan ingatan tentang semua hal yang susah payah aku musnahkan. Dan, semua usahaku bisa dibilang sia-sia dengan pulang.”

Wanita senja itu mengulur napas panjang. Ia mengerti yang dirasakan putrinya, tetapi juga kasihan pada sang suami yang menanggung sesal dan rindu tak sampai.

“Akhir-akhir ini ia sering mengigau namamu. Mungkin dia rindu dan ingin berdamai denganmu.” ujarnya. Rahma menyeringai, setengah tak percaya.
“Aku masih si kepala batu dan susah diatur. Ayah hanya akan kecewa bertemu denganku.”
“Ibu kuatir ia belum bertemu denganmu sebelum...”
“Apa ayah tahu aku akan datang?”potong Rahma, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ibu menggeleng. “Dia bahkan tidak bisa mendengar dengan jelas sekarang, jadi, jangan kuatir, ayahmu takkan menyadari kamu ada di sini.”
Rahma menggeleng.
“Aku akan menginap di hotel.”
Wanita itu hanya mengelus kepala Rahma yang terbalut jilbab.
“Masa, setelah tiga tahun tak pulang, dan hanya pulang selama tiga hari, kamu melewatkan masa bersama dengan orang tuamu sendiri? Bagaimana jika ini kali terakhir kamu melihat kami?”
“Iya..tapi, semua masa lalu itu menjadi seperti baru terjadi kemarin sore...” bantahnya memohon pengertian.
“Terserah kamu saja. Kepulanganmu sangat berharga, Ibu takkan mengotorinya dengan berdebat.” ujarnya sambil tersenyum. Tatapannya lekat meneliti setiap senti wajah Rahma. Di usianya yang makin matang, ia terlihat mirip dengan suaminya, pun sifat keras kepalanya.

Rahma tahu Ibu menyindirnya. Akhirnya, meski berat hati, ia menyanggupi permintaan Ibu untuk tidur di kamar masa kecilnya. Walaupun dibayangi resiko terburuk akan terluka lagi oleh kenangan masa lalu.
“Ini tidak mudah, tapi pasti bisa aku lalui dan pasti berlalu. Ayolah, hanya kurang dari tiga hari, lakukan demi Ibu dan setelah itu semua akan berjalan seperti biasanya.” batinnya menguatkan.


Ibu tak henti bersyukur dan mengucap terima kasih atas kedewasaan Rahma. Palung hatinya meminta dengan sangat pada sang pemilik hati, semoga akan ada keajaiban antara anak dan ayah yang sejatinya saling menyayangi.

You Might Also Like

1 komentar