PULANG part 4
Rabu, Desember 21, 2016
Mengingat semua memori itu,
membuat Rahma merasakan nyeri di ulu hati. Napasnya memburu menahan kesal, marah,
sedih dan benci pada lelaki yang memakai sapu lidi itu untuk melampiaskan
marahnya. Matanya memanas, tanpa sadar berkaca-kaca. Ia merapal istighfar, berjuang
meredam emosi agar tak tumpah. Dengan tangan terkepal dan kepala yang
menggelang-geleng, ia menahan luapan rasa, yang tiba-tiba semakin bertambah
kerana ingatan kejadian demi kejadian buruk tentang lelaki itu beruntun
menyerangnya.
Rahma merasa kepalanya seperti
disulut bara. Ia bangkit, berputar tak tentu arah sambil memegangi kepala,
matanya nanar dan kosong, ia merasa ada sesuatu yang hendak masuk ke dalam
dirinya.
“Tidak!” batin Rahma berontak.
“Pergi!” teriaknya tertahan.
Oh, tolong! seseorang harus menolongnya! Lihatlah, bertahun dia belajar
menghapus ingatan buruk, kini semua sia-sia karena ia berada di rumah ini lagi.
Rahma tak tahan lagi.
Perempuan itu berlari ke arah pintu, melesat mencari ibu. Ia harus bicara
dengannya.
“Ibu!”
teriak Rahma begitu melihat wanita itu di ruang tamu. Untunglah kamar ayah ada
di belakang, sehingga Rahma tak perlu khawatir ia akan melihatnya.
Ibu
terhenyak, melihat Rahma yang seperti orang dikejar setan, keningnya berkerut.
“Sudah kubilang, Bu. Aku tidak
bisa di rumah ini!” katanya dengan napas memburu. Keringat membanjiri dahinya.
Ia menatap nyalang ke sekeliling, mulutnya seperti hendak menumpahkan semua
rasa di dada, hanya saja ia memilih menahan.
Ibu merengkuhnya, membawanya
pada ketenangan dalam pelukan. Tangan tuanya mengelus rambut legam Rahma.
“Tenanglah Nak, Ibu di sini
bersamamu...” hiburnya.
Rahma tak mampu lagi menahan
diri. Butiran bening di pelupuk matanya jatuh berturutan.
“Kenapa Ibu membuat aku
mengingat semuanya, seperti aku baru saja mengalaminya lagi...”
“Rahma, dengar!” Ibu
mengguncang badannya,”tolong, jangan lari! Hadapilah hidupmu, kenyataanmu.
Bagaimana pun, ini rumah yang harus kamu datangi dan ayah adalah orang tua yang
dipilih Allah untukmu.” ujarnya dengan terbata.
“Aku tidak minta dilahirkan,
aku tidak minta ayah menjadi ayahku!” Rahma tergugu. Ibu mengelus punggung
menenangkannya.
“Rahma, Ibu tahu ini berat
bagimu, bahkan bagi Ibu. Tapi, takdir membuat kita harus menerima meskipun
pahit. Kita hampir tidak punya pilihan!”
“Apa yang Ibu mau dariku? Jika
Ibu ingin aku memaafkan dia, aku maafkan Bu, tanpa harus ke sini. Tapi, tolong
jangan menuntut seperti tidak pernah terjadi apa-apa....”
Pipi perempuan itu bersimbah
air mata.
“Rahma...” ibu
menggeleng-geleng tak mengerti ”mungkin kamu harus menikah dan punya anak agar
bisa memahami yang kami rasakan...”
“Menikah, Bu? Dengan cinta dan
pernikahan seperti yang kalian contohkan, apa menurut Ibu aku masih punya nyali
untuk menikah?”
Mata ibu membasah. Bibirnya
bergetar.
“Ibu, berhentilah membohongi
diri. Bukankah Ibu lelah dan jenuh merawat Ayah? Aku pernah mendengar ibu
mengeluh pada saudara Ayah. Apa yang Ibu cari? Ibu bahkan bekerja untuk
menghidupi Ayah.”
“Ibu hanya manusia biasa yang
bisa lelah dan bosan Rahma, tetapi itu tidak berarti ibu tak mau lagi mengurus
ayahmu.” Ibu membantah.
“Kenapa, Bu? Ibu bisa meninggalkan
dia kalau Ibu mau, tinggal bersamaku, tanpa harus menua dan tak terawat seperti
ini karena mengurus ayah yang semena-mena ketika masih berkuasa.”
Ibu hanya menjawab dengan
derai air mata
“Ibu terlalu mencintai ayah,
aku benar-benar tidak habis pikir.“
“Bukan..sama sekali bukan! “ wanita
itu menggeleng kuat.
“Kalau begitu, tinggalkan ayah
dan ikut bersamaku!”
Ibu terdiam. Tangannya
membekap mulut yang hampir kehilangan kontrol meneriakkan tangis. Ia ijinkan
wajahnya basah oleh air mata, ia menikmati tangisannya. Melepaskan semua lelah,
sakit, kesal, cemburu juga marah yang terkubur lama di batin yang lugu.
“Rahma, betapapun salahnya ia
pada Ibu, tak bolehkah Ibu memilih tetap menjadi baik? Biarkan itu menjadi
tabungan amal Ibu kelak, dan biarkan Allah saja yang memberikan keadilan
padanya...”
Rahma menatap perempuan
terkasihnya itu tak percaya. Setelah semua kesakitan yang dideritanya selama
betahun-tahun, di saat dia punya kesempatan untuk lari dari segala beban dan
lara, dia memilih bertahan. Rahma benar-benar tak paham. Duhai, kekuatan apa
ini? Yang membuat wanita sanggup berbuat baik pada orang yang jelas menyakiti?
Jika bukan cinta, lalu apa?
“Aku tak percaya, aku tak mengerti...”
Rahma menggeleng.
“Aku rasa kita berbeda
prinsip, Bu. Maafkan aku!” katanya seraya berbalik, meninggalkan ibu yang
tersedu.
0 komentar