Genie Cow Damn

Senin, September 11, 2017


"Sudah jam sebelas malam, aku harus pulang."
"Menginap saja di tempatku, banyak makanan di sini. Orang kampung mengirim kopi, tape, dan jajanan pasar tadi sore. Cukup untuk kita berdua." cegah Gen Drew, sahabatku.
"Tidak, aku sudah rindu dengan kamarku. Sudah seminggu lebih aku menggelandang gara-gara si Nyai tua itu datang. Dia berisik sekali, setiap malam mengaji!"
"Nyai tua itu masih di rumahmu, kan?"
"Aku tidak melihatnya hari ini, sepertinya sudah pulang."
"Baiklah, kapanpun kamu ingin, singgahlah!" kata Gen Drew menyerah.

Aku hanya mengangguk sebelum berlalu.
Rumahku tak jauh dari kediaman Gen Drew yang rimbun dengan pepohonan. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah yang sudah puluhan tahun kuhuni. Pemilik rumah ini, Nyai Dasih, memintaku untuk menjaganya sejak tiga puluh tahun yang lalu. Meski kini ia telah tenang di alam kubur, takkan mungkin kumeninggalkan rumah yang setiap inci sudutnya sudah sedemikian lekat di benak. Takkan kumenyerah pada penghuni baru itu. Tentu aku lebih berhak tinggal daripada mereka yang cuma mengontrak.

Rumah terlihat gelap. Baguslah, berarti hari ini tak ada orang mengaji. Mungkin nenek tua itu sudah kembali ke kampung setelah seminggu tinggal di rumah itu dalam rangka menengok cucu baru yang masih merah. Syukurlah, aku bisa kembali tidur di kamarku dengan tenang.

Ah, benar dugaanku. Kenyamanan rumah telah kembali. Kutembus pintu dan tembok tanpa kesulitan, kulewati manusia-manusia yang kelelahan setelah berjibaku dengan hidup seharian, bergeletakan di lantai dan kasur sekenanya. Mereka tidur tanpa perlindungan, sungguh waktu yang tepat untuk mengajak mereka bermain-main.

Aih, tapi bayi merah itu lebih menarik untuk diajak bercanda. Kuberbelok menuju kamarnya, terlihat sang bunda terlelap dengan dada terbuka selepas menyusui, si jabang bayi tertidur dengan tenang. Betapa menggemaskan!

Kugoyang kaki mungilnya beberapa kali sebelum akhirnya ia terbangun. Mata kecil itu mengerjap. Aku tersenyum dan berteriak 'Ciluk Baa!' Bayi suka bermain ciluk baa, biasanya mereka akan tertawa.
Tetapi jabang ini bukannya tertawa malah menangis sejadinya. Tiba-tiba melengking, memekakkan telinga. Mata tertutup, badan menegang. Ia histeris!

Aku menyeringai. Dasar bayi kecil, rutukku. Salahkan ibu yang tak meniupkan doa ke sekujur tubuhmu sebelum tidur.

Seketika rumah menjadi ramai. Ayah tergopoh-gopoh, kakak terbangun, bunda kebingungan. Dan aku, si Genie, menyelinap menuju kamarku. Merebah dengan tenang diiringi tatapan bergidik tikus-tikus nakal.

Sial! Belum sempat mata terpejam, kudengar lantunan ayat kursi sayup-sayup sampai. Sekujur tubuhku memanas, aku benci mendengar ayat-ayat Qur'an! Tidak! Aku harus bertahan! Ini rumahku, tak ada yang boleh menganggu.

Aku bangkit. Genderang perang telah ditabuh, mereka menyatakan perlawanan denganku. Ayah terus merapal ayat Quran hingga tubuhku memanas.

Aku takkan sudi pergi. Kita lihat saja siapa yang lebih kuat bertahan. Kamu yang seringkali lengah atau aku yang selalu siap mengajak bermain.

Baiklah, peperangan baru saja dimulai. Kan kubuat kalian menyesal karena menggangu ketenangan jin qodam penunggu rumah majikan.

You Might Also Like

2 komentar

  1. Cerpennya keren. Tersirat ada pembelajarannya juga, betapa seharusnya kita berdoa dalam kondisi apapun.
    Siip :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah dikunjungi mbak Nova lagi, makasih mbak cantik;)

      Hapus