HADIAH TERINDAH

Kamis, November 17, 2016


                                                  www.batiksarimbit.net.id

“Happy anniversary, sayang?!”
Perempuan itu menghambur ke punggungku yang belum tegak benar setelah terbangun menjelang subuh. Ia masih mengenakan mukenanya, dan mata yang masih basah sehabis munajat dalam tahajud panjangnya. Ia memalingkan mukaku ke belakang, lalu menghujaninya dengan ciuman di pipi. Wajahnya berhias senyum, lalu tertawa-tawa melihatku yang menyungkur karena malu dicium dalam keadaan masih bau penguk.
“Jangan lakukan lagi, aku malu!” kataku seraya menutup muka.
Tawanya berderai yang bagiku terdengar seperti simfoni yang indah. Dinda, istri yang kunikahi tiga belas tahun yang lalu itu, makin semangat menggodaku dengan memainkan hidungku.
“Makanya mandi, gih! Aku tunggu buat solat jamaah di mushola.”
Ia melompat ke kursi di samping kasur, meraih mushaf Al-Qur’an dan mulai mengaji. Kutatap dirinya dengan beragam rasa yang sukar kudefinisikan, yang pasti bibirku mengulum senyum karenanya.
Sungguh, aku tak tahu apakah perasaan yang sama akan aku rasakan jika yang berada di kursi itu adalah Syifa ...
****************
“Apa? Lo mau lamar Syifa?”
Lelaki berkacamata minus itu sampai melompat kaget mendengar rencanaku. Sebagai teman sekamarku selama dua tahun ini, aku selalu bertukar pikiran tentang rencana apapun dengannya. Termasuk keputusanku untuk melamar Syifa, tetangga kos yang kukenal dari seorang kawan.
Alisku menaik, heran.
“Kenapa Bro? Ada yang salah?”
Arif menepuk dahinya. Lalu menggeleng pelan
“Telat Broo, Syifa udah dikhitbah sama Kang Adiar, kakak tingkat Syifa di kampus.”
Bagai mendengar berita duka, seluruh sendiku melemas. Berharap yang kudengar hanyalah candaannya yang tak lucu.
“Kok lo tau? Terus, kok lo ga ngomong sama gue?”
“Yaelah Bro, baru juga kemaren kejadiannya. Temen sekosannya yang bilang. Gue belum sempet cerita sama lo, banyak banget urusan gue minggu ini.”
Aku menelan ludah. Bagaikan dipukul gada, kepalaku pening. Kabar itu terlalu mengagetkanku. Skenario yang kukarang sendiri tentang senyum manis Syifa saat aku memintanya menjadi istri tiba-tiba menguap. Pun segala gerak tubuh, mimik muka,  dan rangkaian kata yang telah kususun tiba-tiba mengucap selamat tinggal.
            Melihat rupaku yang seperti tanaman layu, Arif menghentikan pekerjaannya mengetik bahan skripsi.
“Sori Bro, gue tau lo suka Syifa. Tapi gue ngga sangka lo niat jadiin dia istri...”
Kuhembuskan napas untuk mengenyahkan kecewa.
“Elo ngga salah, Rif.“ ujarku pasrah.
            Kusandarkan punggung yang tiba-tiba terasa berat ke dinding kamar kos kami. Tubuhku lunglai terasa tak bertulang. Andai tak ada Arif ingin rasanya menangis sejadinya.
            Syifa...mengeja namanya membuat dadaku sesak. Ia yang manis, pintar dan menyenangkan diajak diskusi tentang apa saja. Meski sibuk dengan organisasi, yang kudengar ia tetap mampu mengukir IPK tiga koma di lembar KHS- nya. Sebuah buku tentang politik islam mengantarkanku mengenalnya lebih dekat, setelah sekian lama hanya melihatnya hilir mudik kampus-kost-an.
            Syifa, sebuah nama yang menggaung siang dan malam di ruang hati, memberi keyakinan pada diri dialah sosok yang akan aku minta menjadi pendamping selamanya. Bahkan awan melukis jelas wajahnya ketika kumelamun di malam yang senyap. Alam seperti mendukung niat muliaku padanya, tetapi yang kudengar barusan membuat semuanya mentah tak berarti
“Bro, lo baik-baik aja?” Suara Arif terdengar khawatir.
Tentu saja aku tak baik-baik saja. Memandangku yang memegangi kepala dengan tatapan kosong, membuatnya berempati. Ditepuknya pundakku sambil memantraiku dengan nasihat.
“Bro, saran gue, elo ambil wudhu, terus solat. Lo doa sama Allah, kalau dia jodoh lo, minta dideketin. kalau bukan jodoh, minta ganti yang lebih baik, segera! ” pungkasnya.
            Meski lesu, aku bangkit menuju kamar mandi untuk berwudhu. Mungkin solat dan doa panjang akan menjadi alasan yang paling tidak memalukan untuk menangis.

Dua minggu berselang...
            Setelah tahu Syifa dilamar orang lain, aku tak bersemangat melakukan apapun. Dua minggu ini aku hanya berdiam diri di kosan, menyelesaikan pekerjaan freelance sekenanya, makan, tidur, kerja sedapatnya, begitu seterusnya. Bahkan untuk melongok ke jendela, berharap melihat Syifa berangkat kuliah pun tidak. Melihatnya hanya membuat nyeri di dada. Mengingat aku hanya akan bisa memandangnya, tapi tak bisa memilikinya.
            Arif hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku bertingkah seperti beruang malas. Ia merasa bersalah karena tidak mampu membantu dalam situasi ini.
Tetapi, siapa yang patut dipersalahkan? Salah Arif? Dia tak pernah kunobatkan sebagai jubirku sehingga tak perlu bicara apapun pada Syifa.
Atau Syifa? Huh, Ia bahkan tak tahu kalau aku menyimpan cinta untuknya.
Bisa jadi Adiar? Hemm, bukankah hak dia untuk melamar, sebab Syifa bukan istri dan tidak sedang dilamar siapapun. Lagipula, bukankan dia sudah siap dan punya penghasilan, dan yang terpenting, dia bertindak cepat dengan mendatangi orang tuanya.
Mungkinkah aku yang salah? Aku mengangguk-angguk sendiri, entah kenapa hatiku sepakat berkata jujur: ya, aku yang salah karena kurang cepat bertindak. Tapi, masa iya aku langsung melamar pada orangtuanya tanpa yakin dengan jawaban Syifa sebelumnya? Kusimpulkan, kalau begitu, mungkin Adiar lebih dulu menyatakan niatnya pda Syifa, dan Syifa setuju sehingga dia berani maju ke tahap melamar pada orangtuanya. Itu artinya, Syifa tak ada hati untukku?
Kalau begitu, salah siapa? Jangan-jangan takdir? Fyuh, Memikirkannya membuatku bertambah kalut.
                                          **************
“Bro, gue denger Dinda udah siap nikah loh..” ujar Arif di suatu malam. Jarinya tetap asyik mengetikkan kalimat di keyboard.
Kucoba memutar rekaman memori tentang Dinda, tetangga kos yang sekampus dengan Arif. Hemm, Dinda yang imut dan suka memakai celak, hanya itu yang kuingat. Kutahu itu karena garis matanya lebih tajam jika dibanding mata gadis yang lain.
“Terus?“ tanyaku sekedar menanggapi.
“Ya, kan lo lagi cari istri. Kenapa ngga lo coba lamar aja dia?”
Aku mendengus. Dia kira mengalihkan perasaan semudah menggeser layar ponsel.
“Lo perhatiin deh. Dia emang imut, tapi sebenarnya dewasa banget loh. Cocok banget sama lo.”
“Lo mau bilang kalau gue tua gitu?”
Arif tergelak. Kulempar bantal kumal ke mukanya.
“Gue serius nih,” katanya setelah tawanya reda,”dia itu keibuan, solehah, murah senyum, dan yang paling penting dia anak Tata Boga Bro, cocok buat elo yang banyak makan!”
Aku mendelik. Sialan!
“Ya, memang sih, masih cantikan Syifa. Tapi kata emak gue, ntar kalo udah nikah kecantikan itu ngga berarti Bro, kalau hati sama kelakuannya buruk...”
“Sok bijak!“ ledekku sinis.
“Dia juga bisa jahit baju. Bayangin kalo lo jadi suaminya, irit Bro! “
Makin ngelantur ini bocah.
“Kayanya lo tau banyak tentang dia, kenapa ngga lo aja yang lamar dia?”
Skak mat. Tapi dia malah cengengesan.
“Gue kan masih skripsi. Lagian, kan, lo tau siapa yang gue taksir.” katanya sambil nyengir.
“Kata Ustadz Hammam, yang terpenting dari seorang perempuan adalah agamanya Bro. Sebab dia yang akan didik anak-anak elo. Jangan lupa, yang penting dia mau taat ngga? Udah itu aja.”
“Gue ngga tertarik sama tawaran lo. Kalau lo mau, elo lamar aja dia!”kataku sambil berbalik memunggunginya.
“Hati lo ketutup sama cinta buta Bro, padahal Syifa bisa jadi bukan jodoh lo. Gue saranin, lo pertimbangin saran gue.”

Tapi ocehannya hanya buaian yang membuat kantukku makin dalam.
**************
Roda waktu berputar hingga tak terasa telah sebulan berlalu setelah kejadian itu. Aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa Syifa mungkin bukan jodohku, apalagi kudengar bahwa tanggal pernikahannya sudah ditentukan. Meski sangat sedih dan kecewa, aku merasa tak seharusnya terus menerus dalam hibernasi. Walaupun penuh tanya pada Tuhan, aku masih ingat cara berdoa, dan ajaibnya itu menenangkanku bahwa Dia punya rencana lain setelahnya.
Dalam doa panjang usai solat aku memohon agar diberi pengganti yang lebih baik, dan kalau bisa segera...
Sampai di suatu pagi...
Sesuatu berwarna mencolok jatuh dari lemari ketika aku mengambil baju yang akan kupakai hari itu. Selembar kain batik pemberian ibuku yang belum sempat kujahitkan.
Melihat kain itu teronggok di lantai begitu saja, tiba-tiba otakku teringat sebaris  nama: Dinda. Sebuah rasa yang asing merayap lembut dalam hatiku. Lalu entah dari mana datangnya, sebuah ide konyol ( atau jenius ) muncul dibenakku. Ide yang membuatku tanpa ragu bergegas sambil membawa kain batik itu ke satu tujuan:  tempat kost Dinda.
“Saya ngga yakin bisa melakukannya, Kang...” ucap gadis berdarah Sunda itu sambil mengamati kain yang kuberikan.
“Kalau ngga jadi pun ngga apa-apa. Yang pasti, saya janji, kalau teteh bisa selesaikan baju itu dalam semalam, saya akan kasih hadiah buat teteh...”
Gadis itu tampak ragu. Tetapi herannya, dia tetap menerima kain dan baju contoh yang kubawa.
‘Baiklah, saya akan coba. Akan saya kabari kalau sudah selesai.”
Entah siapa yang tengah berdiri di depan gadis berkerudung biru itu, dengan senyum mengembang dan keyakinan akan rencananya. Aku bahkan asing dengan diriku.
                         ***************
Sudah tiga belas tahun berlalu, dan di sinilah dia sekarang. Dinda, gadis berkerudung biru yang bercelak itu setia bersamaku sebagai makmum dalam perjalanan hidup rumah tangga. Setelah tiga belas tahun yang lalu dia berhasil menyelesaikan tugas yang kuminta, menjahitkan kain batik menjadi baju dalam semalam saja. Sebagai lelaki sejati, aku tepati janjinya dengan memberinya hadiah terindah: khitbah.
Satu hal yang kupikirkan saat itu, jika dia bisa menurut pada perintahku untuk membuatkan baju, maka aku yakin itu adalah tanda bahwa dia bisa menaati aku sebagai suaminya untuk selamanya. Dan hingga detik ini, keyakinanku terbukti.
Rupanya Allah menjawab doaku segera dan memberi isyarat melalu secarik kain batik. Dia pula yang memberiku ide, keyakinan dan rasa yang asing itu sebagai tanda bahwa belahan jiwaku telah ada, dekat saja denganku. Dia memberiku ganti yang lebih baik dari Syifa, menurut-Nya.
Sadar ada yang memandanginya sambil tersenyum macam orang gila, istriku menyudahi bacaanya.
“Hei, aku menunggumu ke mushola!” katanya sambil menimpuk kepalaku dengan bantal.
Aku terkesiap. Sadar dari kenangan tentangnya, tentang wanita yang selalu menaatiku, dari selembar kain batik...





You Might Also Like

4 komentar