KEMBANG TUJUH RUPA

Kamis, November 24, 2016

                                                         www.blogbojonegoro.com

Senja baru saja beranjak meninggalkan berupa-rupa manusia yang kelelahan berkelahi dengan nasib seharian. Pun wanita tua itu, telah lama mengakui kebengisan nasib yang menjajah tubuh rentanya, yang hingga sesore ini masih di jalanan menggelar dagangan. Kalau saja harga diri tak dipeluknya erat, niscaya ia telah pulang sejak adzan Ashar tadi dengan recehan hasil belas kasih orang. Tetapi, ia berpantang menadahkan tangan meski tak sedikit yang menganggapnya pantas untuk diberi dengan cuma-cuma.

            Sepuluh kantong kembang tujuh rupa dagangannya, dimasukkan kembali ke bakul usangnya. Ia akan menabur bunga di makam kucing tetangganya yang mati digilas mobil. Mungkin, aroma magis kembang tujuh rupa akan mengusir kutukan liang kubur dari roh binatang yang disayang nabi itu, supaya pemilik mobil tak terkena bala.

Dalam hati kecilnya, wanita itu mengutuk manusia akhir jaman yang makin pongah. Mereka berkata dengan tertawa: manusia mati tak butuh kembang. Mereka butuh doa anak cucunya. Makin hari makin banyak yang berkeyakinan demikian, sehingga wanita jompo itu terpaksa pulang dengan berkantong-kantong kembang.

 Alasan serupa untuk tak mengunjungi makam bapak-ibu serta kerabatnya. Padahal, ia rasa karena dunia telalu nikmat untuk dijeda sekejap saja dengan mengingat pemutus kesenangan. Bahkan manusia berlomba menghias makam agar lenyap kesan tetang betapa mengerikan dunia dibalik gundukan tanah yang teriakannya hanya didengar oleh binatang. Lihatlah, ada makam begitu megah mewah serupa istana untuk para pemilik harta, dengan harga yang mereka pikir cukup untuk tawar menawar dengan Munkar-Nakir, agar tak ditanya beragam ujian.

            Azan maghrib mengiringi langkahnya yang tertatih. Ia menyusuri sisi jalan yang padat manusia dan kendaraan-kendaraan yang mereka banggakan. Jalan dimana dulu dia pernah berkejaran dengan kawan sebayanya yang telah lama mati karena usia. Gedung pertokoan bertingkat yang angkuh dengan aneka rupa dagangan, tetap melambai merayu uang-uang pengunjung hingga tandas, bahkan ketika panggilan Tuhan menggema.

Darahnya berdesir ketika melewati sebuah toko kelontong. Dulu, toko itu milik bapaknya, yang ironisnya tak merasa perlu mencerdaskannya dengan ilmu.  Lalu, perselingkuhan antara kebodohan dan kapitalisme, merenggut satu demi satu milik penduduk asli, termasuk bapaknya, yang tak pandai berdagang dengan pendatang yang mahir berniaga. Hingga ia terdampar di hari tuanya di jalanan menjajakan sekantong kembang untuk orang mati.

            Rak kenangan menghadirkan bayangan seorang anak lelaki yang seharusnya ada bersamanya. Namun, ia memilih pergi menjadi bedebah. Manalah mungkin ia sanggup menanggung takdir beribukan seorang renta penjual kembang. Hatinya teriris setiap benaknya memutar ingatan akan anak lelaki tak tahu balas budi itu.  Ia resah karena sebentar lagi ia akan mati. Bahkan berkantong kembang ia rangkai setiap hari. Tetapi, bahkan anaknya tak ada di sisi, apatah lagi dia akan mengaji.

Wanita renta penjual kembang, tertatih dengan derai tangis. Untunglah hatinya masih sanggup merapal doa: allahumma innii as’aluka khusnul khotimah, Ya Allah betapa pun busuk diri ini, matikanlah aku dengan akhir yang baik...Amin.


            

You Might Also Like

2 komentar