Rabu, November 09, 2016

                                                      www.musafirlonely.blogspot.co.id

MUTIARA SILAM

Panggung  kecil yang dipasang agak tinggi itu bertutupkan karung bekas menyimpan beras. Terdapat sebuah poros jagung kering yang dikaitkan pada sebilah kayu di tengahnya. Poros jagung itu berfungsi sebagai mikrofon imitasi yang sempurna untuk acara tabligh akbar pada hari itu.

“Assalaamualaikum warohmatullahi wabarokaatuuuh!”
Anak lelaki bertubuh jangkung kurus itu mulai menyapa para hadirin yang memadati area di depan panggung. Riuh rendah suara jamaah wanita menjawab salamnya dengan bersemangat. Dengan berapi-api layaknya kyai berceramah, anak lelaki itu mulai menyampaikan petuah-petuah.

Jamaah yang kebanyakan perempuan itu sudah menantikan kedatangan kyai kecil itu sejak pagi. Dengan selendang kecil yang diselempangkan sekenanya, mereka khusyu menyimak, sesekali cekikikan geli dengan tingkah mereka sendiri.

Ya, tentu saja mereka geli, karena yang mereka lakukan hanya pura-pura ala anak kecil atau istilah kerennya bermain role playing. Kyai kecil itu adalah teman mereka sendiri yag didaulat menjadi kyai, berpenampilan layaknya kyai. Berpeci tinggi, bersarung dan bersorban melilit leher. Sementara mereka berperan sebagai jamaah yang khusyu mendengarkan ceramah. Meksipun bercelana atau rok pendek dan kaos, tetapi tetap berkerudung selendang sebagai ciri khas ibu-ibu yang mengaji.

            Tak sampai sepuluh menit sang kyai berceramah, karena jamaah perempuan itu sudah mulai saling sikut bercanda sendiri, juga mulai melirik takir yang biasa dibagikan di pengajian. Maka setelah mengucap salam, acara berganti menjadi pembagian takir yang paling ditunggu.

            Takir yang sederhana, hanya dialasi daun pisang yang disemat lidi, kemudian diisi sekepal nasi, dengan lauk seadanya yang ada di rumah masing-masing, kemudian dikumpulkan. Ketika dibagikan, harus dipastikan bahwa setiap orang tidak menerima takir bawaanya sendiri. Dengan begitu, acara ini menjadi ajang mencicipi makanan rumah teman yang lain.

            Keseruan itu berlanjut ketika makan. Jangan bayangkan telur, ayam, atau daging yang mereka makan. Nasi itu hanya berteman oseng tempe atau ikan asin dan beberapa lembar sayur saja. Mereka makan dengan lahap, menikmati setiap suap dan gigitan dengan bersemangat. Diselingi gurau dan obrolan mau main apa setelah itu dengan teman sebelah, bukan main nikmatnya. Di sekeliling area panggung, para emak menikmati kebahagiaan anak-anak mereka yang tengah bermain dengan hati berbuncah.

      Kebahagiaan itu terasa lengkap, kedamaian dan ketenangan menyelimuti setiap yang menyaksikan momen berharga masa kecil itu. Tak ada kepuraan, tak ada dendam dan benci. Hanya senyum alami yang terus mengembang, mata yang berbinar, dan hati yang riang.

            Padahal, tak ada mainan canggih, tak ada gadget melenakan, tak ada tivi bertabur hiburan, tak ada kemewahan atau makanan aneh nan mahal. Tetapi, kebahagiaannya sempurna hingga lekat di ingatan dan sanggup mengukirkan senyum setiap kali mereka mengingatnya hari ini.

            Kenangan masa kecil yang sangat bahagia, meski tinggal di lereng gunung yang terpencil dari kota. Ia bagaikan mutiara dari masa silam, tertanam jauh di lubuk hati sebagai harta berharga yang tak bisa ditukar dengan apapun...

          Sayangnya, aku tak yakin, apakah kebahagiaan itu masih akan terpancar dari tempat yang sama seperti waktu itu, pada masa ini...

            


You Might Also Like

7 komentar

  1. Jadi inget masa kecilku huhuhu T.T sekarang sudah jarang main-main seperti itu di daerahku, mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sama mba anik, tergerus kemajuan jaman hehee

      Hapus
  2. Balasan
    1. Iyess mbak ...skrg dah jarang anak bahagia main ngebolang :D

      Hapus