Minggu, Agustus 13, 2017
Lingkaran
Rindu
Gerimis mengantar sore untuk bertukar rupa menjadi senja. Matahari enggan
pulang meski pelangi yang memudar telah lelah membias sinar. Mungkin, ia
simpati pada seraut wajah yang termenung menekuri bukunya. Tak yakin apakah dia
membaca atau berpura-pura membaca. Semacam pengalihan perhatian agar tak
terlihat mengenaskan duduk di cafe tanpa seorang pun kawan.
Kawan atau kekasih? Seharusnya ya, kekasih. Sudah bukan masanya membunuh
waktu dengan kawan di usia matang. Kalaupun dengan kawan, tentulah kawan dengan
anak yang merengek minta es krim. Bukan kawan seperti dirinya, sendiri.
Ia mengenyahkan ironi dengan membuang napas berat. Padahal, ia bisa saja
membuka halaman bukunya. Tetapi, ia tak berminat. Pikirannya berkelana
menyusuri rimba kenangan ketika sepuluh tahun yang lalu ia bersama dua kawannya
tergelak karena lelucon. Di meja ini, di sore menjelang senja seperti sekarang.
Saat ini, dua kawannya mungkin tengah tergelak pula, tetapi dengan
keluarga kecil mereka. Menertawakan bayi mungil yang terjatuh karena belajar
berjalan atau menertawakan suami yang tertukar makan saos sambel yang dikira
saos tomat. Betapa membahagiakan!
Sedangkan ia, dunialah yang tergelak kepadanya. Sungguh menggelikan! Di
usia hampir kepala empat, dengan wajah cantik dan penampilan menarik, ditambah
embel-embel gelar berderet di belakang namanya, tetapi masih saja sulit baginya
memilih satu diantara puluhan lelaki untuk menjadi suami.
Perempuan itu terpekur. Ia mengakui, seandainya memilih itu mudah, ia
takkan sesulit ini. Rindu menyergap hati kepada kawan (tidak, sebenarnya bukan
kawan, tetapi, ibu. Ia rindu pada sang ibu). Menemuinya bukan perkara sulit di
era ketika ujung jari bisa mengkoneksi jarak yang terpencil sekalipun. Tetapi,
menjadi begitu sukar karena keduanya berbeda nalar akan jodoh.
Ibu menganggapnya pemilih, ia merasa hanya sedikit hati-hati. Ibu merasa
ia banyak tuntutan, ia pikir hanya ingin lelaki idaman. Ibu berpendapat cinta
akan datang setelah menikah, ia berprinsip sebaliknya. Ibu pikir di usia matang
seharusnya wanita telah menimang bayi, ia berprinsip manusia punya takdir
sendiri.
Batin perempuan itu teguh pada pendirian bahwa manusia lahir membawa
takdirnya sendiri, mengapa harus diseragamkan dengan yang lain? Jika ia
terlambat menikah karena mematuhi takdir, apakah itu sebuah salah? Apakah ada
kata terlambat atau terlalu cepat di mata pemilik takdir? Semua hal berjalan sesuai
masa dan takaran.
Ia mengusap layar telepon genggamnya. Sebuah nama terpampang dengan
tombol telepon yang pasrah ditekan sekehendaknya: Suryanti, sang ibu. Perempuan
itu hanya ingin mendengar suaranya, rindu pada berondongan tanya akan
kesehatannya, sudah makan atau belum, uang bulanan, dan pelajaran. Lebih lagi,
ia kangen usapan tangan pada rambut dan bahunya.
Ternyata, cinta ibunda bisa berubah, setidaknya itulah yang terjadi sejak
ia seringkali menolak pinangan. Ia merasa asing dengan wanita yang pada
tatapannya telah tertambah rasa sedih, kesal, marah, selain cinta yang tak
terperi. Tentu bukan karena maunya ia menjadi berbeda, melainkan karena lidah
tetangga yang tajam melukai hati. Terkadang, tuntutan sekeliling menyebabkan
kita menjadi orang lain seperti yang mereka ingin, bukan?
Ia dan sang ibu, terasa jauh terpisah. Ia rindu, tetapi segan bertemu. Ia
ingin dipeluk-disambut sebagai anak, hanya anak. Tanpa gelar anak perawan yang
terlambat menikah atau anak yang tak patuh nasihat.
Di kota ini, ia sendiri. Ia hanya punya dua kawan untuk berbagi. Setiap rindu,
ia datang kemari, berbagi renjana dengan kawan. Tetapi, itu tinggal kenangan. Sang
kawan makin jarang bertandang.
Di sini, ia terkenang kawan, kawan mengingatkannya akan bunda.
Ia rindu, pada sang bunda, pada dua kawan.
3 komentar
Ah, aku merasa menjadi bagian dari wanita itu.
BalasHapusOMG!!
BalasHapusHmmm...
BalasHapusDilema