Minggu, Oktober 23, 2016

Hal Absurd Itu Bernama Ngidam

Apa hal paling absurd yang pernah kau lakukan dalam hidup? Tidak ada? Hah, kurasa kamu harus jatuh cinta dulu, sebab cinta akan membuatmu bisa melakukan hal yang tak masuk akal sekalipun.
            .
            Cinta membuat seorang lelaki kekar tak malu menenteng tas milik perempuannya. Atau merelakan sisa uang dua puluh ribu untuk membeli pulsa ketimbang makan siangnya, karena kekasih minta ditelepon. Begitupun denganku, kalau bukan atas nama cinta, mustahil aku berada di kerumunan ibu-ibu yang menawar jengkol.
            .
            Tapi, itu sudah lewat tiga hari yang lalu. Setidaknya, tiga bulan ke depan banyak hal tak masuk akal yang masih akan kulakukan demi cinta pada jabang bayi, agar tak ngiler ketika besar nanti. Hal absurd itu bernama: ngidam.
            .
Lekat kupandangi wajah istriku yang terlelap. Tenang, napasnya teratur, dan khusyuk. Raut mukanya lembut, berpadu dengan dua alis tebal tanpa sulam, dan sebentuk hidung bangir. Ia begitu cantik meski tanpa polesan make up dan sentuhan alat salon. Benar kata Kang Kabayan, kecantikan asli wanita terlihat pada saat dia tidur.
.
Hampir saja kuulurkan tangan ke rambutnya kalau tak ingat peristiwa tadi pagi, ketika dia menolakku mentah-mentah gara-gara kucium keningnya sebelum berangkat kerja. Ia mendorong dadaku hingga terjengkang, keningnya berkerut, dan tangan menutup dua lubang hidung dengan sempurna.
“Kamu bau! Jangan dekat-dekat!”
Sungguh, aku melompong bengong. Bau? Betul bahwa dulu aku sering berangkat kuliah tanpa mandi, tapi berangkat kerja tanpa mandi? Bisa-bisa aku tak gajian.
.
Sisa kepayahan karena mengandung anak pertamaku terlihat dari pulas tidurnya. Tanpa sesuap pun makanan masuk ke tubuh, wajar dia butuh terlelap agar tak merasa lapar. Ia tidur seperti bayi, damai, tak terusik apapun. Tak tega rasanya  membangunkan dia demi sebungkus asinan di tanganku.
.
Kutatap asinan itu sambil mengeleng-geleng, sisa napas yang menderu membuktikan betapa keras perjuangan mendapatkan makanan yang jelas bukan kesukaannya. Tetapi, atas nama ngidam, tiba-tiba ia menjelma menjadi makanan paling dipujanya hingga dia merasa harus menelponku sejak baru sampai kantor.
“Aku mau asinan yang di Rawamangun itu!”
“Harus yang itu, kalau ngga aku ngga mau makan.”
“Aku ngga peduli kamu pulang jam berapa, pokoknya bawain!”
.
Kata-katanya adalah perintah. Kupikir, setidaknya vitamin dan mineral dalam irisan buah dan sayur akan mencukupi nutrisi untuk calon anakku, daripada hanya dikasih air jahe hangat setiap saat. Jadi meskipun harus berjibaku dengan macet dalam lapar dan lelah, aku rela berebut asinan dengan ibu-ibu yang mengantri sejak maghrib.
.
Dan, perjuanganku dibayar lunas dengan pemandangan istriku yang terlelap. Ini hari Jum’at, aku harus menyelesaikan semua pekerjaan meski harus lembur. Dan kemacetan Jakarta mendadak akut. Sepertinya semua orang bernafsu memulai weekend dengan menyerbu pusat hiburan, sehingga ketika malam sudah kasip, aku baru sampai di rumah.
.
Hormon progesteron membuat wajah istriku makin mempesona. Walaupun dengan ekspresi tanpa dosa khas orang tidur alias melongo pun dia serupa bidadari. Antara ragu dan ingin, aku beranikan mengguncang pelan bahunya.
“Sayang, bangun. Kubawakan asinan, nih?!”
Ia hanya melenguh pendek. Kemudian berganti posisi memunggungiku. Aku rasa dia bukan tak ingin asinan, dia hanya lelah. Jadi, kuputuskan untuk makan dan menonton laga sepak bola di televisi.
.
Buatku yang lahir di kerumunan enam saudara laki-laki, mengenali makhluk bernama wanita saja sudah pe-er tersendiri. Ia seperti wujud dari teori ketidakpastian Heisenberg. Tak mungkin bisa mengukur dua besaran, misalnya posisi dan kecepatan suatu partikel, dalam waktu bersamaan. Begitupun, tak mungkin bisa mengira maksud perkataan dengan isi hati wanita dalam waktu bersamaan.
.
Coba saja kau tanya wanita yang menangis. Jika dia menjawab tidak ada apa-apa, maka sebenarnya ada apa-apa. Jika dia marah padamu dan menyuruh pergi, maka sebaliknya dia butuh kamu ada di sisinya dengan pelukan. Memusingkan!
.
Dan peerku bertambah ketika wanitaku hamil. Bagaikan rumus kimia anorganik yang tak kupahami bahkan sampai aku diwisuda. Tidak hanya panjang, rumit, penuh variabel dan simbol. Kalaupun variabelnya diketahui, butuh kemampuan kalkulus tingkat advance dan waktu untuk memecahkan misteri.
.
Pada saat dia bilang ingin mangga, jangan percaya bahwa yang dimaksud adalah mangga yang mana saja. Itu bisa jadi mangga dengan variabel tertentu yang harus kau tanyakan dengan detail. Dan ini akan memerlukan pembicaraan panjang, karena kau pasti akan menolak jika yang diminta adalah mangga dengan variabel: bulat, diameter sepuluh senti, hijau kekuningan, dan manis. Ditambah variabel kunci: harus dari pohonnya Bu Tono, yang mungkin tak kau kenal. Rumit!
.
“Mas, bangun. Sudah subuh, Mas!”
Susah payah aku mengerjapkan mata. Badan terasa kaku dan berat bagai ditimpa bersak-sak semen. Samar kulihat sebilah tongkat tepat di depan mukaku. Sontak aku melompat bangun.
.
Istriku dengan tongkat di tangannya, menyeringai tanpa dosa. Sejak kapan dia punya alat bantu untuk membuatku terjaga?
“Apa ini?”
“Kamu bau! Aku ngga mau pegang “
Oh, again!
“ Mana asinanku?”
Dalam kesadaran yang belum lengkap, aku coba mengingat. Seketika badanku meriang. Asinan itu, entah dimana aku meletakkannya semalam. Yang pasti bukan di kulkas. Matilah aku kalau sampai hilang!
.
Aku menepuk dahiku. My God, kenapa lelaki tak Kau berikan kemampuan multitasking, agar bisa makan sambil nonton bola tanpa lupa menyimpan asinan di kulkas?
“Aku mau asinanku.”
Kata-katanya adalah perintah. Kucoba membuka file memori semalam ketika memutuskan makan. Dari kamar aku berjalan menuju dapur, slow motion adegan ketika di dapur, lalu blank. Aku tak ingat dimana tepatnya kusimpan asinan itu. Yang kuingat, kreseknya berwarna hitam.
.
Secepat kilat aku menghambur ke dapur. Sempurna! Dapur telah bersih dari segala yang dianggap sampah. Tak ada kresek hitam itu di meja atau di setiap sudut manapun. Istriku memang rajin!
.
“Dimana keresek hitam? Ada asinan di dalamnya...”ceracauku sambil mencari tak tentu arah.
Dia mengerti kebingunganku. Lalu, seperti Natrium yang meletup terkena air, tiba-tiba tangisnya pecah.
“ Jadi, yang di keresek itu asinan? Huwaaaa!!!”
“ Kenapa Beib?” tanyaku berlagak bodoh.
“Aku buaang, aku kira sampah.” teriaknya di sela tangis.
“Dibuang? Ya ampuun beeeib, aku susah payah dapetin itu.” kataku setengah putus asa. Aku terduduk, menggelosor di lantai dengan nelangsa, teringat kompetisi semalam melawan seorang ibu demi asinan stok terakhir. Atas nama solidaritas wanita, ibu itu mengalah.
.
Tiba–tiba tangisnya reda. Matanya tajam melirikku yang apatis. Alisnya bertemu, bibirnya maju, membentuk emotikon senyum terbalik.
.
“Kamu taruh keresek di lantai. Kamu tahu semua yang ditaruh di lantai dianggap sampah.”
.
Aku tak merasakan darahku. Lemas seketika.
“Pokoknya aku mau asinanku!”
Meski cinta itu absurd, tak mungkin aku mencari asinan itu di antara tumpukan sampah. Itu artinya, aku harus membelah belantara Jakarta demi asinan.
.
Tiba-tiba, aku tak ingat apa-apa...

You Might Also Like

4 komentar