Selasa, Oktober 18, 2016
Menulis,
Kalajengking, dan Naif
Percaya ngga,
kalau menulis itu membuat kemampuan berbicara kita juga semakin terasah? Kawan saya
di ODOP, Rouf Al-Mahbangy, sudah membuktikan hal ini, dan ceritanya bisa dibaca
di wallnya ya hehe...
Kalau saya sih,
percaya banget. Buktinya hari ini, pas ada kejadian yang tak mengenakkan, tanpa
disadari saya mampu mengatakan dengan jelas dan terstruktur apa yang saya
rasakan, padahal sebelumnya, suka ngga jelas dan acak kalau bicara.
Lalu apa
hubungannya dengan kalajengking? Masih ingat, kemarin saya posting cerpen
tentang seseorang yang ucapannya menyakitkan, penuh keluhan, dan umpatan. Nah,
hari ini saya ditakdirkan Allah bertemu dengan orang yang menyakitkan hati
saya...( sibak jilbab )
Sebenarnya,
kejadian ini berhubungan langsung dengan sifat saya yang agak naif. Bagaimana ngga naif, di umur setua ini saya
masih percaya bahwa orang sama baiknya dengan kita, atau minimal berpikiran lurus
sama dengan kita.
Ceritanya begini...
Pagi hari, saya
membeli bubur untuk little Valya. Tiba-tiba, pas lagi nunggu bubur disiapkan,
saya terpikir untuk pergi beli sarapan ke pasar yang jaraknya lumayan jauh dari
situ, cukup jauh sampai saya merasa harus pakai helm. Kita kan gitu, pake helm
kalau jauh, kalau deket mah, ga usaah :p
( Kita? Elu aja
kaliii:P )
Karena saya ngga
bawa helm, saya dapat ide untuk pinjam Mas yang jual bubur. Saya pikir, pasti
dipinjamin lah, wong saya langganan buburnya. Di situlah letak begonya saya. Petama,
kok ya bisa keidean pinjem ke dia. Kedua, kok ya pede dia mau pinjemin.
Nah, di sinilah
sinetronnya dimulai. Tokohnya Saya ( S ), dan Mas Bubur ( M ).
S : “ Mas itu
helm siapa?” ( sambil nunjuk helm nganggur di motor. Ya iyalah masa nangkring
di kepalanya :p )
M : “ Helm saya.”
S : “Boleh ngga
saya pinjam sebentar untuk ke pasar, nanti saya kembalikan. Kan saya lewat sini lagi.”
Dia tercenung
sebentar sambil menuangkan bubur.
M : “Hemm gimana
ya, Bu...“ katanya agak ragu.
S : “Ke siitu
tok, Mas. Deket kok. Mau dipake, ya?” ( pede-maksa
)
M: “Engga sih, Bu.
” Lalu, dia diam sejenak. ”Masalahnya... temen saya kemarin kena hipnotis...”
Sontak saya terdiam,
butuh waktu bagi saya buat menangkap maksudnya, mungkin saking ngga nyangkanya.
Setelah beberapa kerjapan mata, saya tersadar maksudnya.
S : “Maksudnya? Mas nyangka saya mau hipnotis gitu?” saya menghela napas, tak percaya dengan prasangkanya. “Mas, saya bukan orang jahat...” saya melanjutkan dengan dada yang mulai sesak.
S : “Maksudnya? Mas nyangka saya mau hipnotis gitu?” saya menghela napas, tak percaya dengan prasangkanya. “Mas, saya bukan orang jahat...” saya melanjutkan dengan dada yang mulai sesak.
Dia tertawa
kecil, cengengesan sambil ngga enak gitu mukanya. “Ngga papa sih, Bu kalau mau
pinjam.”
Harga diri saya
tertohok, saya menghela napas panjang menenangkan diri. Tanpa sadar kepala menggeleng-geleng
saking tak terimanya. Saya menuju motor saya, lalu memutar balik, dan sebelum
berlalu saya mengatakan sesuatu yang saya pikir efek dari kebiasaan menulis
setiap hari, begini:
“Mas, saya
tersinggung dengan ucapan Mas yang menyangka saya mau hipnotis Mas. Apa saya
terlihat seperti orang jahat?”
Anak itu
menggeleng sambil nyengir salah tingkah, mungkin dia ngga enak sama saya. “Ngga
Bu, kan ibu juga gini ( penampilannya ) .”
Saya menghela napas
panjang lagi, lalu menyentakkan hembusannya.
“Saya bukan orang
jahat. Rumah saya di situ Mas, deket. Saya solat, saya ngaji, “ Saya diam
sejenak.
“ Lagipula Mas
ini hanya sebuah helm. Helm, Mas.”
Saya terdiam
lagi, menata rasa agar tak menjadi rentenan serapah #halah
“Mungkin saya
yang salah. Saya menganggap semua orang itu sama baiknya dengan saya, sehingga
kalau saya pinjam sesuatu akan dipinjamin, karena saya pun begitu sama orang
lain.”
“Maaf Mas, saya
tersinggung dengan ucapan Mas...”
Anak yang
kutaksir umurnya baru delapan belas tahunan itu tersenyum kecut. Lalu meminta
maaf.
“Ya udah Mas, mungkin
saya yang salah, sepurane yo.”
Langsung kutarik
gas motor dan melaju dengan hati yang terluka #hiks. Untunglah kata yang keluar
bukan diksi novel yang sulit dicerna, sehingga dia harus membuka kamus untuk
tahu artinya apa. #halah
Tetapi, tidak. Ketika
tengah melaju, hati kecil saya berkata: kenapa harus terpengaruh akan ucapannya,
yang memilih hati saya akan bahagia atau tidak, ya saya sendiri. Jadi saya
pilih untuk control-alt-del rasa sakit hati dan memilih mensyukuri bahwa saya
masih diberi peringatan oleh- Nya. Bahwa saya masih disadarkan dari sifat naif yang
akut.
Lebih bersyukur
lagi, ketika sampai di rumah, ada lelaki baik hati yang dadanya selalu tersedia
untuk saya menangis, telinganya siap untuk mendengar muntahan unek-unek yang
kalau dipikir-pikir: ah, cuma gitu aja, kok.
Tetapi, kadang
wanita hanya butuh didengarkan, tanpa disela, tanpa dihakimi ( syukur-syukur
kalau dapat pelukan dan puk puk puuk :p ).
Pokoknya, just listen! Itu akan membuat wanita merasa lebih baik, dan pada
akhirnya toh dia bisa menilai dengan adil. Karena merasa lebih baik itulah,
akhirnya saya bisa menuliskan ini untuk diambil hikmahnya oleh teman-teman. Anda
tak harus mengalami, cukup belajar dari pengalaman orang lain.
Pada akhirnya, kalau
dipikir-pikir, dia tidak salah. Adalah hak dia mau pinjamkan atau tidak. Tapi caranya
menolak dengan menyangka saya akan menghipnotis itu yang salah. Sebab, sebagian
prasangka itu dosa. Apalagi faktanya saya tidak seperti yang dipersangkakannya.
Ya, demikian lah
cerita saya...
3 komentar
Huaaaah.
BalasHapusKeren
Lain kalo jangan naif lagi y bu,
Xixixi
Iyaa kapook deh! :D
BalasHapusnyesek jadinya
BalasHapus