Senin, Oktober 17, 2016
KALAJENGKING
“Sial betul! Ban motor bocor,
uang tak terbawa! Huh, kota apa pula ini! Bukan main panasnya!”
Datang tanpa salam, kemudian kau
mencerca ciptaan Tuhan. Sepertinya pagimu berantakan, hingga menyapa kerumunan
kawan dengan keluhan. Oh, tetapi, tidak...Seperti hari kemarin, tiada yang
indah dalam penglihatanmu, kau selalu dapat menemukan cela pada apapun.
.
Lalu,
alih-alih merasa kasihan, kurasa mereka malah senang dengan kemalanganmu.
“Aku
ada kuliah. Sampai ketemu nanti sore, ya?!”
Tak butuh waktu lama untuk
membubarkan satu demi satu kawan. Sepertinya, mereka telah menyiapkan alasan
untuk berpamitan, meninggalkan aku yang terperangkap dengan manusia langka ini.
Sayangnya, kau tak pandai membaca isyarat bahwa tiada seorangpun sudi
berlama-lama denganmu.
.
Bagaimana tidak, sebab kau
serupa kalajengking. Dengan segala kata serapah berbisa dari mulutmu, kau
menakutkan, menyengat siapapun tanpa pandang bulu. Kau tak kenal sesuatu yang bernama
sakit hati, dan alpa bahwa manusia punya emosi. Jika sadar akan dirimu saja
tidak, bagaimana bisa berharap kau meminta maaf pada hati yang tersayat.
.
“Sial! Teriknya matahari hari
ini, sampai mataku sakit!” rungutmu kesal.
Sakit? Tidak, kamu tak tahu rasanya sakit. Apa pernah
kau mengambil waktu untuk berpikir akan ucapanmu kala itu? “Kau ini pinjam,
atau minta? Tak bosankah jadi orang miskin?”
Kalimat yang membuatku mendendam pada nasib. Juga,
padamu.
.
“Hei, sepagi ini sudah melamun!”
Tidak, jangan sebut aku
melamun. Aku tengah berpikir apa balasan sepadan untuk mala seperti dirimu.
“Jangan kau pergi kuliah dengan galau di jiwamu.” Kau
tertawa mengejek. Seolah kau orang paling bijak di muka bumi.
“Makanya, jangan boros. Supaya kau tak kehabisan
uang di tengah bulan begini.” tambahmu. Tanpa jawab, kau masih berkata-kata. Duhai,
betapa kau telah kehilangan kepekaan. Kau tahu? Kini kau bahkan berbakat
menjadi paranormal yang mampu menerka.
.
Lalu, kau mulai memamah
sarapanmu. Aku mulai menghitung, dalam detik ketiga kau pasti akan menyumpah.
“Fyuh, asin! Pantas nasibnya tak berubah, gorengan
asin begini dia jual, siapa yang mau beli?!”
Kau merepet tanpa jeda. Betul, kan? Aku tak pernah
salah mengira dirimu.
“Orang ini, mau uangnya saja. Tapi, miskin
inovasi, ikut-ikutan. Masa jualan gorengan dari dulu sampai jaman mau kiamat
masih begini. Tak kreatif.”
.
Telingaku mulai panas. Ada
hangat yang menjalar pelan menggerayangi badanku. Sepertinya, energi negatif
yang dihembuskan kata-katanya mulai merasukiku. Aku memutar otak, mencari cara
melarikan diri dari lelaki pengumpat ini.
.
Aku beringsut sambil membenahi
buku, kemudian bangkit. Tak ada gunanya mendengarkan seorang yang ucapannya bak
comberan.
.
“Hei, mau kemana? “sergahmu
sambil menarik tanganku.
Kutolehkan kepala, tanpa sadar
kutangkap matamu. Untuk pertama kalinya, kulihat sesuatu yang kosong tanpa
kuasa. Aku tertegun menyaksikan kepongahan sekaligus kelemahan berpadu dalam
pandangan yang meminta. Ada sesuatu di balik matamu, yang entah bernama apa.
.
“Tolong jangan pergi, aku tak
ada kawan.” pintamu seraya menundukkan kepala. Serupa anak kecil yang ketahuan
mencuri mangga, kau terlihat salah tingkah.
.
Kulepaskan tanganmu perlahan.
Lalu, duduk menjejerinya. Entah dari mana datangnya, sejak menatapnya, sebentuk
iba menyerbu relung batinku. Ada sisi hati yang berkata: beri dia waktu,
kenalilah dia. Mungkin kau akan mafhum mengapa dia jadi serupa binatang yang kau
sebut itu. Sebab, selalu ada alasan untuk sebuah tindakan.
.
Baiklah, kumaafkan kau kali ini, demi
menguak sisi baik yang mungkin masih tersisa. Karena sebenarnya, manusia selalu
punya dua sosok dalam dirinya. Tak pernah selalu sempurna, pun mustahil selalu
alpa.
.
Sambil mengunyah gorengan asinmu, aku berkata, "Ceritakan padaku tentang ban bocor itu...”
Sambil mengunyah gorengan asinmu, aku berkata, "Ceritakan padaku tentang ban bocor itu...”
2 komentar
Wah keren Mb, bisa panjang ceritanya
BalasHapusIni keren imajinasinya. hehe
BalasHapus