Kamis, Oktober 13, 2016
Ruma dan
Henpon
“ Cuma segini?!“ tanya Ruma
sambil membeberkan lima lembar uang lima puluh ribuan di meja. Keningnya
berkerut, bibirnya cemberut. Andaikan mukanya dicelupkan ke dalam air, seketika
berubah asam lah air itu.
.
“Kau
tak ingat hari dan tanggal berapa sekarang? Kita berjualan di pasar, bukan di
mall. Tidak ada orang pergi ke pasar di hari Senin tanggal tua begini.” balasku
membela diri. Melayani pembeli sejak jam enam pagi di lapak panas bercampur bau
segala rupa ikan, sayur busuk, dan keringat kuli angkut membuatku sangat lelah
dan ingin segera memeluk mimpi. Tapi bukan Ruma kalau belum menguliti habis
diriku sepulang berjualan. Termasuk menginterogasi dengan siapa aku bersenda
gurau mengusir jenuh di tempat pengap itu.
.
“Kalau
begini terus, bisa gulung tikar kita, bah!” sungutnya. Kemudian, ia mulai mencatat di buku lusuhnya.
Aku hanya meliriknya sekilas sebelum mulai menyantap makan malam yang belum
berganti menu sejak tadi pagi. Atas nama penghematan, urusan selera pun harus
mengalah.
.
“Jaman
sekarang, orang tak perlu keluar rumah sekadar untuk beli baju. Onlin. Semua
serba onlin. Kau tau? Pake internet itu!” jelasku mencari alasan.
“Makin malas saja mausia sekarang, semua mau
dibelinya lewat henpon. Lama-lama dia beli terasi pun pake henpon.” sambutnya
sinis.
“Bah, sudah lama itu! Jangankan terasi, rumah pun
bisa dibeli dengn onlin.” kataku dengan semangat sampai nasiku muncrat.
.
Perempuan itu mencibir. Dia memasukkan
uang hasil berjualan hari ini ke dalam kotak tabungan. Kepalanya menggeleng-geleng,
takjub dengan merosotnya omset belakangan ini.
“Pantaslah makin banyak yang butuh obat
pelangsing. Macam si Maryati itu.” sindirnya seraya mengerling kepadaku. Aku
acuh tak acuh, berpura-pura menikmati makan.
“Kurasa, kita harus jualan pake onlin juga...” kataku
di sela-sela memamah. Kulirik istriku, menerka reaksinya. Dia menoleh padaku
sekilas, lalu kembali sibuk mencatat.
“Maksud kau itu apa? Kau minta henpon canggih
macam punya si Boni itu?”
.
Boni,
anak semata wayangku tiba-tiba bersuara “Henpon begini dibilang canggih? Yang Mamak
belikan ini sudah ngga suport aplikasi terbaru. Mak tahu tidak, habis aku
dibully kawan-kawan aku karena hapeku tak aptudet.” gerutunya.
“Masih bagus kau kubelikan henpon. Daripada kau
pake telepati untuk hubungi kawan-kawan kau!” sergah Ibunya cepat.
.
Boni menyeringai seraya
melirik ibunya gemas. Aku menahan ketawaku. Rupanya istriku melihat gelagatku,
maka selanjutnya aku lah yang disemprotnya.
“Kau, punya henpon lama saja, habis duit aku buat
kau telpon-telponan sama si Maryati, bagaimana kalau kukasih kau henpon
canggih? Bisa kau jual lapak aku buat kasih makan henponmu itu.”
.
Aku terbatuk, istriku masih saja
mengungkit kesalahanku yang pernah jadi tempat curhat janda muda itu. Hanya
curhat, tidak lebih, tapi karena curhatnya pakai henpon, jadi berkuranglah
setoran uang hasil jualan untuk beli pulsa.
“Kalau begitu, terima saja lah uang yang kukasih,
tak usah kau protes!” kilahku santai.
.
Istriku termenung. Jari tangannya
mencubiti bibir yang maju beberapa senti, keningnya berkerut, mungkin dia
sedang mempertimbangkan usulku. Dimiringkanya kepalanya ke kiri, lalu
ditegakkan lagi, kemudian menggeleng-geleng.
.
.
Aku mengunyah lambat-lambat
sambil mencuri pandang padanya. Berharap dia mendapat wangsit untuk meluluskan
proposalku.
5 komentar
Ahh...lagi lagi kereeeen...asikk bgt dibacanya
BalasHapusAhh...lagi lagi kereeeen...asikk bgt dibacanya
BalasHapusMemang jaman skrng penuh dg online...terkesan males..tapi itulah zaman skrang..dipenuhi dg serba praktis...
BalasHapusCerpennya gx jauh dr khidupan hari ini..nice cerpen mbak....
Lucu
BalasHapushehe,, istrinya pasti cemburu banget ya kak
BalasHapusSalam kenal ya Tran Ran - Inspirasi Hati