Selasa, Oktober 11, 2016

Di Balik Cerpen “Jalan Lain Ke Surga”

            Bagi seorang penulis, baik profesional maupun amatir, adalah kebahagiaan ketika tulisan kita diapresiasi, diterima, disukai, syukur-syukur dipuji. Termasuk saya yang amatir ini, mendapat pujian dari beberapa senior dan teman-teman seangkatan ODOP Bactch#3, dan dari pembaca di jagad fesbuk, menjadi kebahagiaan yang sangat berarti.  
            .
Bagaimana tidak, Bang Syaiha yang penulis novel “Sepotong Diam” dan “Masih Ada” mengatakan: “Saya suka tulisannya.”. Achmad Ikhtiar, seorang penulis senior di ODOP yang gaya berceritanya saya kagumi, berkomentar, “Canggih!” Ditambah apresiasi teman-teman yang mengatakan bahwa tulisan itu menyentuh, dahsyat, keren, diksinya indah, pesannya dalam dan nyampe ke hati pembaca, menyayat, pedih sekaligus indah. Sungguh, itu benar-benar di luar dugaan saya, sudah pasti girang hati saya.
.
Cerpen “Jalan Lain ke Surga” yang saya buat sebagai tulisan untuk One Day One Post kemarin adalah hasil try and error saya yang kedua setelah flash fiction “Dunia Kau dan Aku “. Saya katakan try and error, karena saya ngga pernah nulis cerpen dengan gaya bercerita seperti dua cerpen tersebut sebelumnya. Dan bagi saya yang tidak puitis dan miskin diksi, butuh perjuangan yang ngga mudah.
.
Diawali dari kebosanan bercerita dengan alur dan gaya yang begitu-begitu aja, saya mulai mencari dan membaca beberapa tulisan para senior di ODOP, salah satunya dalah Vinny Martina dan Achmad Ikhtiar. Saya baca sebagai pembaca, dan saya ulangi membaca sebagai penulis. Saya amati cara mereka bertutur, pilihan kata yang dipakai, hingga ide yang diambil untuk tulisan keren mereka. Saya terpesona dengan gaya bercerita mereka yang unik, diksi yang pas, cerdas sekaligus enak dibaca. Singkat kata saya mulai bereksperimen, dan jadilah “Dunia Kau dan Aku”.
.
            Cerpen uji coba pertama selesai dibuat, dan itu seperti menghancurkan mental blok saya yang tadinya mengatakan bahwa saya ngga akan bisa membuat yang serupa dengan itu. Rasa pede mulai tumbuh, dan saya terpikir untuk menulis dengan gaya yang sama untuk dibedah di ODOP. Satu ide yang muncul di kepala saya adalah tema paling sensitif di kalangan perempuan, tema yang juga debatable: poligami. Saya bertekad akan menulis sebaik mungkin, sebagus yang saya bisa. Maka saya mulai menyicil tulisan sejak tiga hari sebelum bedah tulisan.
            .          
Selanjutnya, selama kurun waktu tersebut saya mencuri-curi waktu menulis, sejam sehari, kadang lebih. Sebelum memulai menulis, saya ingat-ingat gaya Achmad Ikhtiar dan Vinny Martina mengawali paragraf. Juga pesan senior bahwa deskripsi harus kuat, dan saya tahu betul itulah kelemahan saya. Tapi, saya tetap mencoba.
.
Dimulai dari membayangkan seorang perempuan yang berdiri di tengah hujan sambil menangis. Saya membayangkan, dia mulai “bicara”, bercerita pada kita tentang laranya pada sang suami, dan muncullah kata: pernahkah kau menangis dalam hujan? Dari situ, cerita mulai mengalir. Saya membuat alur maju mundur tanpa saya sadari, bahkan saya ngga tahu bahwa itu disebut alur maju mundur. Yang jelas, pembaca diajak ke situasi dimana tokoh aku sedang berdiri di tengah hujan, kemudian diajak masuk ke kenangan si aku, kembali lagi ke latar si aku berhujan-hujanan, lalu ke kenangan si aku dst.
.
Setelah cerita si aku selesai, saya menutup laptop karena kepala mulai ngebul. Bukan hal mudah buat saya berpuitis ria. Tetapi, meski tidak menghadap laptop, otak tetap sesekali memikirkan, kira-kira enaknya si tokoh dia ini ngomong apa dan reaksi si aku ini gimana. Saya bayangkan dan coba rasakan emosinya, lalu mencari kata yang menggambarkan emosi tersebut. Setiap emosi saya praktekkan, saya hayati sampai ke tahap gimana kalau saya mengalami hal itu. Ini menjadi bekal menulis esoknya.
.
Esoknya, saya mencoba menyempurnakan tulisan mentah saya yang tentu saja masih berlepotan salah ketik, tanda baca dll. Saya abaikan itu semua, baca tulisan sekali lagi, dan jika ada ide baru langsung dituliskan. Ide yang sebelumnya terpikir saya tambahkan.
.
Hari berikutnya saya baca lagi dari awal, lalu mulai memoles dan mengedit tulisan. Saya buka EBI online dan situs sinonimkata untuk mencari diksi yang tepat. Ternyata kalau dicari, sinonim itu banyak banget dan itu sangat membantu untuk mencari diksi yang pas.
.
Tibalah di hari terakhir dimana malamnya tulisan saya akan dibedah. Hari itu saya hanya mengedit dan menyempurnakan, membaca lagi, edit lagi, poles lagi. Jujur mengedit ini butuh kesabaran dan waktu, juga ilmu tentang EBI. Syukurlah saya masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia , jadi tidak terlalu sulit. Hehe...
.
Dan setelah dirasa sempurna, saya posting tulisan try and error tersebut ke blog, dan saya copas-kan ke facebook. Di luar dugaan, satu persatu komentar dan reaksi mengapresiasi tulisan saya dan mengatakan: keren! Ulala!
.
Jujur, saya tak percaya bisa melakukannya, makanya sebelum lupa, saya perlu membuat catatan ini agar bisa dijadikan pedoman jika ingin menulis lagi yang serupa. Dan meskipun benar-benar lelah hanya demi 4 lembar cerpen tersebut, saya merasakan kepuasan batin ketika pesan yang saya titipkan pada cerpen itu bisa sampai tanpa distorsi.
.
            Ternyata, menulis itu mudah, sekaligus sulit. Dengan sedikit usaha dan waktu yang cukup, akan tercipta tulisan yang bagus. Itulah mengapa kita perlu menghargai tulisan seseorang, sebab banyak yang dikorbankan hingga tercipta tulisan yang bagus. Makanya, ketika Bang Syaiha mengumumkan PO novel barunya dibuka, saya langsung daftar. Hargai penulis dengan membeli buku aslinya, jangan bajakan. Ups!
                .
                Demikian.

                                                                         Catatan menjelang malam, sebelum lupa






You Might Also Like

3 komentar

  1. Cerpen kemarin emang beneran buat nyesek mba. Hikzhikz

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe...i feel u mbak rahma, thanks for visiting!:)

      Hapus
  2. Aduh aduh ...menari mari sambil menikmati tohokan kebenaran nih aku yang baca...

    BalasHapus