Senin, Oktober 10, 2016
Jalan Lain ke Surga
Pernahkah kau menangis
berbungkus hujan? Tak semata demi menyembunyikan bulir air mata dari sesiapa. Namun
juga berharap rinainya menghanyutkan segala luka ke muara, seraya memohon agar rahmat
itu menjadi obat lara.
.
Dan begitulah diriku. Diantara
hiruk pikuk manusia yang berlarian mengelakkan basah, aku justru melangkah di
dalam gerimis yang semakin kerap. Tak gentar menantang petir menggelegar
pembuka simfoni hujan. Sebab, pernah kudengar yang lebih menyentakkan dari itu.
Ketika di penghujung malam dia berkata, lirih tetapi yakin, “Aku akan menikah
lagi.”
.
Berpuluh detik aku terpana
tanpa kata, sia-sia kuyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi di ujung malam. Namun
lelaki itu menatapku dengan pandangan yang kuterjemahkan sebagai permohonan.
Detik berikutnya pandanganku hanya tertuju padanya, hanya padanya. Mencoba
mengenali siapa lelaki di hadapanku, yang seketika itu seperti baru pertama kali
kujumpai.
.
Pernahkah kau berjalan di
taman cahaya yang menyambar menyilaukan pandangan? Rinai hujan makin lebat, menusuk
setiap inci tubuh lelahku yang menahan rasa. Awan tebal menghitam mengabarkan
bahwa langit akan mengucurkan banyak kubik air, cukup banyak untuk menghanyutkan
ingatan tentangnya.
.
Sepuluh tahun lalu sejak akadnya
mengguncang Lauhul Mahfudz, yang kutahu dia mencintaiku. Hanya aku. Dia pandai
mengukir senyum, piawai mengambil hati dengan sukarela meringankan pekerjaanku,
tiada hari berlalu kecuali kami telah kenyang dan senang. Ucapannya sejujur
perilakunya bahwa dia menyayangiku. Ketahuilah, aku jauh lebih menyayangi
dirinya. Kebahagiaan itu makin lengkap ketika lima tahun kemudian buah hati
kami lahir.
. .
Kini hujan telah benar-benar
menyimbah bumi tanpa ragu. Bukan hanya basah, tubuhku mulai menggigil. Satu-dua
orang menyuruh berteduh, sebagian besar menatap tak mengerti. Tapi, aku ingin
hujan tak berhenti.
.
Guntur yang berkejaran
menyamarkan teriakku. Mengapa? Kenapa? Bagamana bisa? Tetapi semua hanya tanya
tanpa jawab yang lenyap ditelan desau angin. Dia katakan, “Aku jatuh iba
padanya, lalu lambat laun tumbuh cinta sebagaimana aku cinta padamu.”
.
Larik-larik air mengalir di
pipiku yang memanas. Sering kudengar kabar lelaki mampu mencintai dua wanita,
tapi tak pernah kusangka salah satunya adalah dia, imamku. Dalam nanap kusanggupkan
bibir ini bertanya, “Adakah salahku padamu? Hingga kau berpikir untuk menduakan aku?“
Lelaki bermata teduh itu menggeleng, tatapannya
mengirimkan pesan, “Tak ada yang salah denganmu, bahkan kau begitu sempurna.“
“Lantas kenapa?”tanyaku dengan keheranan yang
sangat.
“Aku hanya lelaki biasa yang jatuh cinta. Dan aku
tak ingin berkubang dosa...”
.
Sekelebat kilat membuyarkan
ingatan akan malam itu. Waktu bergulir menghadirkan senja yang berbondong turun.
Derai hujan semakin asyik bercumbu dengan remang. Mereka bahkan tak peduli ada jiwa
yang butuh kawan.
“Gerangan siapa dia?” tanyaku dalam isak yang tak sengaja.
“Ia seorang kawan di masa lalu. Suaminya telah
tiada, meninggalkan seorang anak yang yatim. Aku ingin menolongnya, menjaganya
dari fitnah...”
Susah payah ku menata rasa agar tak meluap menjadi
rentetan serapah. Betapa tenang tutur katanya, seolah ia telah lama
merencanakannya.
“Haruskah kau menikahinya?”tanyaku dengan mata
membasah.
“Aku menghindari fitnah yang lebih besar jika
menolongnya tanpa ikatan.”jelasnya tanpa ragu.
“Lalu bagaimana denganku?”
Dia hanya menatapku, mengirimkan keyakinan bahwa
keputusannya sudah benar.
.
Berat kuhembuskan nafas, mengenyahkan
sesak. Jika kenangan masa lampaumu begitu indah akannya, tidakkah kenangan kita
bernilai? Lupakah kau akan seringai sakit menjelang kelahiran anakmu? Lolongan
menyayat saat buah hatimu menghirup udara dunia pertama kalinya? Banjir peluh
dan nafas yang keluar satu-satu saat membersihkan rumahmu, menggosok periuk
berjelagamu demi apa yang disebut baiti jannati? Serpihan kenangan kecil
tentang berkejaran dalam hujan, berpanas-panas demi pekerjaan mapan, atau
sekadar berdebat kecil tentang sambal mana yang paling sedap sebagai teman makan.
Tidakkah mozaik kenangan kita cukup indah dan berwarna meriah, tidakkah itu
cukup berharga untuk kau pertimbangkan?
.
Serupa pohon yang roboh disapu
deru angin, tubuh ini limbung tanpa kuperintah. Mataku nanar dan kosong,
darahku tersirap sampai tak kurasakan lagi tengkukku. Rebah di pangkuannya dalam
isak lirih dan derai air mata. Berulang kali bibirnya mengucap maaf, mencoba
berempati pada yang kurasakan, tapi tidak! Dia tak memahami yang kurasa. Aku
ingin bangkit berontak, tapi kekagetanku tak menyisakan sedikitpun daya.
.
Lalu dia melantunkan ayat
tentang surga, tentang ikhlas, tentang pemakluman Tuhan atas keputusannya. Aku
tak menolak apapun yang dia katakan, tapi saat itu aku hanya ingin sendiri. Lalu
aku tak sadar hingga menjelang pagi. ...
.
Gulungan awan mulai menipis
senja itu, menyisakan gerimis. Gelap semakin pekat menyambut malam. Tapi, aku
belum ingin beranjak dari hujan. Mengapa harus mereda, wahai hujan. Lukaku
belum luruh seluruhnya, mengapa tak kau bawa saja tubuh ini bersamamu menuju samudera.
.
Ibarat kematian mendadak tanpa
firasat, begitupun kabar keputusannya memeranjatkanku. Maka hari-hari
berikutnya bagai seorang yang dikutuk mati oleh kanker, menciptakan tanya,
mengapa harus aku? Menyisakan tangis diam-diam menjelang tidur, teriak dalam
doa panjang yang lebih mirip disebut unjuk rasa pada Tuhan.
.
Dia mendapatiku selalu tanpa
senyum, muka tak berona, dan mata kosong tak bergairah. Kebaikannya masih
seperti dulu, direngkuhnya aku dan ditenangkannya badai dalam hati. Tapi, bagaimana
dia menenangkan badai sedangkan dia adalah badai itu sendiri?
.
Kupinta waktu untuk berpisah
sekadar menenangkan diri, dalam kesadaran yang terbit sedikit-sedikit, aku
menyungkurkan diri dalam sujud panjang istikhoroh. Ingat bahwa bahkan nyawa pun
bukan kepunyaan kita. Sadar bahwa diri terlalu mencintaimu, tak akan sanggup
berbagi dengannya. Paham bahwa ada jalan lain ke surga selain dari keihklasan
dimadu. Dan inilah yang kupilih...
.
Kupilih
jalan lain ke surga, meski tanpanya. Bukan aku mendustakan sunnah Rasul-Nya, bukan pula aku tak cinta. Hanya takut cemburu mengalahkan iman dan logika,
sehingga ia menjadi panglima yang menyuruhku membantah perintahnya. Khawatir emosi
lebih berkuasa sehingga bibir tak mampu tersenyum, hati sulit berbaik sangka
dalam cinta segitiga.
.
Gerimis telah benar-benar
pergi, meninggalkanku dalam gelap pekat, sepi, basah dan beku. Ia benar-benar
telah membawa semua tangisku. Tapi tidak dengan luka yang semakin biru. Aku
mengutuk hujan, mengapa dia berlalu.
.
Sayup terdengar lantunan
panggilan untuk memuja Tuhan, membuatku terkesiap. Alunannya syahdu mengusik
kalbu, menyadarkan bahwa aku masih punya Tuhan. Dia yang tak pernah
meninggalkan, Dia yang tak melupakan. Kembali aku tergugu. Tidak...bukan karena
dia, tapi karena Dia. Kuyakin ada pelajaran atas semua takdir-Nya, meski aku tak
mampu meraba apa. Kupercaya pada akhirnya akan kudapatkan lagi bahagia dalam
bentuk yang berbeda. Kuimani bahwa tak ada selembar daun pun yang gugur kecuali atas
perkenan-Nya.
Sidoarjo,
10 Oktober 2016
21 komentar
Keren
BalasHapusMakasiih, mau krisan mau krisan! :)
BalasHapusTulisan ini mengundang truama. Ngeri..
BalasHapusKeren mbak.
Saya belajar dari mbak vinny, teimakasih mbak...
HapusKereeeen sangat mbak.. Aku terhanyut dlm cerita dan perasaan si tokoh utama..
BalasHapusJangan baper mbak ayo kasih saya krisan hehee...makasiih mba sitii:)
HapusBunda qosimmm iput blm nikah, tapi iput masyaAllah terharu bgt iput merinding baca ini, mungkin berlebihan, tapi ini serius bundaa, 😭😭
BalasHapusJangan trauma ya put, masih banyak yang setia pada satu hati eaaaa :p. Alhamdulillah kalau suka...:)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeren mba. Saat membaca, terbawa emosi.
BalasHapusMakasiih mba iffah, cocok ya buat musim hujan begini hehehe:)
HapusKeren, Mbak.
BalasHapusMakasiih mbak anik, ditunggu krisannya:)
BalasHapusTema yang sudah biasa dengan kemasan yang berbeda, keren kaa..
BalasHapusHehe...terimakasiih:) tema paling mellow buat perempuan :p
HapusKeren banget mba :-) dalem bngt maknanya.
BalasHapusAlhamdulillah kalau pesan ceritanya nyampe...terimakasih mbak sucii:)
HapusIni nich, saya paling bungkam kalau menemui tulisan beginian.
BalasHapusBetapa saya berlumur dosa.
"Kompor Gas!" kata Om Indro.
Keren mbk Mabruroh
Masyaallah matursuwuun mas heru, jenengan juga kueren polll, anomali dlm penokohan cerita, salut :) insyaallah mas heru ngga kaya tokoh dia dlm cerpen sy aamiin
Hapuskereen. Dalam ahir paragraf mengingatkan sy akan DIA
BalasHapusBanjiir mbaa.. Banjir air mata.. Bagus sekali tulisannya mb mabruroh.
BalasHapus